Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak 23 Mei lalu, sebuah rumah di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, menjadi ramai, riuh-rendah, penuh pengunjung yang datang tak putus-putus. Rumah di Jalan Jenggala II itu digunakan sebagai posko pemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Setiap hari ada saja orang atau kelompok masyarakat yang mendeklarasikan dukungan kepada peserta pemilu presiden nomor urut 2 itu. "Mereka ikhlas datang, tidak ada yang merekayasa. Ini gerakan rakyat yang menginginkan pasangan ini," kata Iskandar Mandji, Ketua Jenggala Center, di ruangannya di lantai atas rumah besar itu.
Menjadi punggawa tim sukses Jusuf Kalla bukan suatu hal yang baru bagi Iskandar Mandji. Pada 2009, ketika Partai Golkar dan Partai Hati Nurani Rakyat mengusung Jusuf Kalla dan Wiranto sebagai calon presiden dan calon wakil presiden, Iskandar menjabat sekretaris tim sukses. "Sekarang jauh lebih baik, jadi saya tidak susah payah. Dulu orang mendukung kami sembunyi-sembunyi, sekarang tidak perlu," ujar anggota DPR/MPR 1992-1997 ini.
Untuk kegiatan operasional posko Jenggala Center, Iskandar mengandalkan sumbangan teman-teman tim sukses. Menurut dia, para relawan membiayai sendiri kegiatannya, sehingga posko tidak memberi uang, tapi logistik. "Namanya juga relawan. Kalau mau cari duit bukan di sini," ujarnya. Iskandar mengakui beberapa perusahaan memberikan bantuan. "Bukan uang, tapi baju kaus, spanduk, baliho, dan stiker," katanya tanpa merinci nama perusahaan yang menyumbang.
Iskandar tegas membantah tuduhan adanya transaksi uang dalam kubu Jusuf Kalla, apalagi soal isu adanya mahar Rp 10 triliun kepada PDI Perjuangan. "Itu tidak benar. Pak JK mengatakan kalau ada Rp 10 triliun buat apa menjadi cawapres, lebih baik didepositokan saja," kata Iskandar.
Iskandar Mandji, kini 59 tahun, dekat dengan Jusuf Kalla sejak 1977, ketika sama-sama menjadi kader Golkar Sulawesi Selatan dan sama-sama peduli pada persoalan kepemudaan. Saat itu Jusuf Kalla, yang menjabat Direktur Utama NV Hadji Kalla, dianggap lebih senior daripada Iskandar, yang aktif sebagai pengurus Angkatan Muda Pembaruan Indonesia dan Komite Nasional Pemuda Indonesia Sulawesi Selatan. Karena itulah Iskandar kerap mengunjunginya untuk bertanya, berdiskusi, dan meminta saran.
Diskusi keduanya berkembang ke pembangunan wilayah. Terlebih saat Iskandar menjadi anggota DPRD Tingkat II Kota Madya Ujungpandang (1977-1982) dan selanjutnya menjadi anggota DPRD Tingkat I Sulawesi Selatan, sementara Jusuf menjabat Ketua Bidang Pengusaha DPD Golkar Sulawesi Selatan dan Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah. Diskusi dan sinergi dengan pemerintah daerah di bawah Gubernur Amiruddin itu menghasilkan kerja sama.
"Kami membuat rayonisasi potensi setiap daerah yang tidak tergantung pendekatan teritorial, tapi pendekatan sumber daya alam," kata Iskandar. "Pak JK salah seorang yang menyusun konsep yang dirasakan masyarakat Sulawesi Selatan sampai saat ini, dengan hasil pertanian, perkebunan, dan kelautan."
Iskandar kembali bertemu dengan Jusuf Kalla di Jakarta ketika Jusuf menjadi anggota Fraksi Utusan Daerah dan Badan Pekerja MPR. Tapi Iskandar tidak terpilih lagi sebagai legislator periode 1997-2002. Setelah reformasi, Jusuf Kalla menjabat Menteri Perdagangan kabinet Abdurrahman Wahid. Posisi Jusuf di MPR yang ditinggalkan lantas diisi oleh Iskandar.
Ketika Jusuf Kalla menjadi wakil presiden, Iskandar diminta membantunya di arena politik. Musyawarah Nasional Golkar memberi mandat kepada Jusuf Kalla menjadi ketua umum, sedangkan Iskandar menjadi wakil sekretaris jenderal. Selama kepemimpinan Jusuf, menurut Iskandar, partainya tak pernah terseret kasus hukum. "Perintahnya jelas: partai tidak boleh jadi bunker koruptor dan anggota DPR tidak boleh menyumbang kepada partai," katanya.
Kini, dalam pemilihan umum kali ini, Partai Golkar tidak berada di belakang langkah mereka. Menurut Iskandar, mereka tidak mau menyentuh Golkar. "Pak JK mengatakan ia tidak mau membuat Golkar pecah," kata Iskandar. Namun dia membuktikan banyak kader Golkar di daerah yang tidak puas terhadap posisi partainya. "Mereka mengatakan diam-diam mendukung Pak JK. Kalau solid, tidak akan begitu, kan?"
Berbeda dengan Iskandar yang terbuka menyatakan tim sukses, Sofjan Wanandi mengaku hanya ada di belakang tim Jusuf Kalla. Bagi Sofjan, 73 tahun, sudah waktunya generasi muda yang masuk struktur tim sukses resmi. "Kalau mau membantu, saya datang saja. Kami para pengusaha ini tak usah resmi," ujar pemilik grup usaha Gemala yang menjadi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia ini.
Sejak awal, Sofjan mempromosikan Jusuf Kalla menjadi calon wakil presiden untuk Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Waktu itu nama Joko Widodo belum muncul. Dalam satu kesempatan perbincangan dengan Megawati, ia bertanya kemungkinan Presiden RI kelima itu mencalonkan diri lagi. Menurut Sofjan, Megawati menjawab, "Sofjan, saya sudah kalah dua kali. Di Indonesia ini tidak menerima perempuan jadi presiden, pandangan mayoritas partai Islam seperti itu."
Sebagai teman yang telah menjalin hubungan hampir lima dasawarsa, Sofjan berpesan kepada Jusuf Kalla untuk tidak terlalu resah seandainya mereka kalah dalam kompetisi ini. "Pak JK mengatakan dia akan baik-baik saja," kata Sofjan.
Pertemanan Sofjan dengan Jusuf Kalla bermula pada periode aksi mahasiswa pada 1966. Waktu itu Sofjan menjadi Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia dan Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Jakarta Raya. Sedangkan Jusuf Kalla menjabat Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Ujungpandang dan Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Sulawesi Selatan. Jusuf kerap datang ke Jakarta untuk berkoordinasi dengan KAMI Pusat. Dalam rapat-rapat itulah mereka bertemu.
Setelah masa aksi mahasiswa berlalu, Sofjan menjadi anggota DPR Gotong Royong, sementara Jusuf Kalla menjalankan usaha keluarganya di Ujungpandang. Sofjan dan Jusuf bertemu kembali ketika mereka sama-sama menjadi pengurus Kamar Dagang dan Industri. "Pak JK di Kadin Sulawesi Selatan, saya di Dewan Pimpinan Pusat. Kami sering menjadi delegasi Kadin yang pergi ke luar negeri," kata Sofjan.
Di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, hubungan Sofjan yang menjabat Ketua Komisi Pemulihan Ekonomi Nasional semakin dekat dengan Jusuf Kalla, yang diangkat sebagai Menteri Perdagangan. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, keduanya semakin sering bertemu karena Jusuf Kalla menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. "Paling tidak sebulan sekali bertemu membicarakan masalah ekonomi," kata pria kelahiran Sawahlunto ini.
"Kami banyak ngomong, bertukar pikiran, karena sama-sama mengerti politik, sama-sama aktivis, sama-sama pengusaha. Kami sudah seperti famili saja," kata Sofjan. l
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo