INI wajah Bali yang lain. Di bagian utara pulau ini, sekitar 10 km di tenggara Singaraja, di sebuah desa seluas hampir 1.600 ha, bau Bali yang lazim nyaris tak tercium. Tidak ada pura tempat persembahyangan. Tidak ada asap, bau dupa, maupun sesajen. Di mulut masuk ke desa memang ada candi bentar - gapura khas Bali yang terbelah dua. Tapi candi bentar itu pun kecil, dibuat dari bahan cetakan, bukan diukir tangan - dan dipasang semata menuruti kehendak orang luar. Pegayaman, demikian desa itu disebut, berada di wilayah Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Menempati lembah yang dikelilingi bukit, Desa ini seolah sengaja bersembunyi dari pergaulan masyarakat sekeliling. Apalagi sebelum ada jalan aspal masuk ke desa, praktis kawasan ini terpencil. Kini memang ada jalan masuk ke desa, diaspal licin. Warga desa itu pun sudah banyak yang merantau meninggalkan desanya, malah keluar Bali. Toh, desa ini tetap bertahan - tanpa sesaji, bau dupa, atau bunyi gamelan Bali yang ramai itu. Bahkan warga desa itu tetap enggan disebut orang Bali. Bagi mereka orang Bali adalah orang-orang pemeluk agama Hindu. Orang Pegayaman lebih senang disebut sebagai nyama selam - nama yang sesungguhnya diberikan oleh masyarakat di luar desa itu . Nyama selam, bahasa Bali, artinya warga Islam. Memang, inilah satu-satunya desa Islam di pulau Hindu seluas 5.170 km2. Tak berarti tak ada pemeluk Islam di luar desa itu di Bali. Tapi mereka tinggal di kota-kota, atau di pinggir pantai sebagai nelayan, dan biasanya pendatang. Sementara itu, Pegayaman bukanlah dihuni oleh para pendatang. Mereka sementara menolak disebut orang Bali - menyebut diri penduduk asli Pulau Bali, setidak-tidaknya telah "tujuh turunan lebih kami bermukim di kawasan ini," seperti yang diceritakan seorang tetua di sana. Pegayaman memang sebuah masyarakat eksklusif. Tetapi sejarah Bali tampaknya melupakan desa ini. Tak ada catatan kapan sebenarnya Pegayaman terbentuk dan dengan cara bagaimana. Jejak nenek moyang Pegayaman untuk sementara hanya tersimpan dalam kepala orang-orang tua di sana. Inilah, misalnya. Di awal abad ke-15, ketika Ki Panji Sakti mengangkat diri menjadi Raja Buleleng, Raja Gelgel yang ketika itu menjadi maharaja di Bali berang benar. Karena Ki Panji sebenarnya hanyalah pepatih Gelgel yang diminta menanamkan pengaruh di Bali utara. Raja Gelgel akhirnya mengirim pasukan untuk menghukum pepatih yang membelot itu. Tetapi Ki Panji Sakti cukup cerdik. Ia segera meminta bantuan ke Blambangan, di ujung timur Jawa Timur. Dari kerajaan di Jawa yang telah memeluk Islam inilah dikirimkan bala bantuan. Bagaimana peperangan itu sendiri berlangsung, tak diceritakan. Tapi kira-kira Ki Panji Sakti tidak kalah. Sebab dialah, menurut catatan sejarah, yang membangun Singaraja, ibu kota Kerajaan (kini kabupaten) Buleleng. Selanjutnya, orang tua Pegayaman itu meneruskan ceritanya, tentara Blambangan tidak dipulangkan, dengan sebab yang tidak dikatakan. Sebagian menetap di kota dan kini perkampungannya disebut Banjar Jawa. Sebagian lagi diberi hak menetap di pedalaman. Dan sebagaimana yang terjadi lazimnya di zaman itu, raja memberi karunia kepada yang berjasa, salah seorang putri Ki Panji Sakti dikawinkan dengan pimpinan tentara Blambangan. Keturunan para prajurit yang kemudian menikah dengan wanita setempat itulah yang kini menjadi warga Desa Pegayaman. Ada cerita lain. Pada abad ke-15 itu, seorang raja Jawa, disebut-sebut bergelar Senopati Ing Alogo Sayidin Panatagama, mengirimkan pasukan perdamaian ke Kerajaan Buleleng beserta seekor gajah. Adapun maksud raja itu - mengingat namanya tentulah ini Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram - agar para prajuritnya menjadi tindih, yakni pasukan pengawal. Agar, Kerajaan Buleleng yang masih muda terjaga dari serangan raja-raja lain di Bali. Para tindih ini kemudian diletakkan terpencar, antara lain di Pegayaman . "Semua cerita itu sulit dibuktikan sebagai rekonstruksi sejarah," kata I Ketut Soewidja, Ketua Yayasan Gedong Kirtya, Singaraja, tempat tersimpannya berbagai lontar dan babad sejarah Bali. Dari berpuluh-puluh lontar di Gedong Kirtya itu, memang ada yang menyebut soal Pegayaman. Singkat saja. Yakni, Raja Solo (raja Mataram, tentu maksudnya) menghadiahkan gajah kepada Panji Sakti pada abad ke-15. Gajah ditempatkan di Peguyangan, sedang tiga orang pengasuhnya ditempatkan di sebuah kawasan yang banyak pohon gayamnya. Orang pun lalu menyimpulkan, tempat bermukimnya para pengasuh gajah ini kemudian berkembang menjadi perkampungan, dan disebut Pegayaman. Tapi mengapa gajah? "Pada zaman itu hadiah berupa binatang tidak mengandung maksud lain kecuali sebagai tanda jalinan persahabatan. Lain halnya bila hadiah berupa keris, yang berarti penerima keris berada di bawah pengaruh yang memberi hadiah," kata Ketut Soewidja pula. Ada catatan di dalam lontar Babad Buleleng. Pada tahun 1850, pada masa pemerintahan I Gusti Ketut Jelantik, diceritakan sekelompok imigran terdampar di pantai Buleleng. Oleh Raja Buleleng, imigran itu ditempatkan di Pegayaman, karena pertim bangan dua hal. Pertama, imigran itu beragama Islam. Kedua, daerah Pegayaman merupakan daerah pertanian yang subur dan tidak terkena bencana dahsyat yang pernah menimpa Buleleng. Bencana itu, dalam catatan sejarah, seperti yang dikemukakan I Ketut Soewidja, terjadi pada 21 November 1815, ketika dataran rendah di Bali utara dilanda banjir besar. Disebutkan dalam catatan di lontar-lontar, Danau Buyan di atas Bedugul meluap. Tidak tercatat mengapa danau ini meluap. Juga tak ada rekaman dari mana imigran itu datang, dan mengapa diberi tempat di Pegayaman. * * * Pegayaman sebuah desa yang teduh dan subur. Diapit tiga gunung di sisi barat, timur, dan selatan, mengesankan sebagai sebuah lembah peristirahatan yang terisolasi. Kebudayaan mereka seperti campur aduk, ada bau Jawa, Bugis, dan Bali - yang paling dominan. Logat bahasa Bali mereka mirip bahasa Bali di Lombok Barat. Adapun jenis bahasa yang dipakai sehari-hari adalah bahasa Bali menengah. Di masjid, atau bila orang muda berbicara kepada orang tua, digunakan bahasa Bali halus. Dibandingkan dengan desa-desa lain di sekitarnya, tata bahasa Bali mereka terasa lebih tinggi dan formal. Ada beberapa kata khas, yang di Bali lainnya tidak dipakai. Misalnya bania, yang berarti tidak. Orang Pegayaman pun tetap memakai nama urut (yang menunjukkan anak nomor berapa) seperti umumnya di Bali. Yang mereka pilih adalah kelompok urut: Wayan, Nengah, Nyoman, dan Ketut. Mereka tidak memakai Putu dan Made, sebagai variasi Wayan dan Nengah. Di sini juga menganut sistem tidak ada pengulangan nomor urut - suatu sistem yang banyak dipakai juga di Bali timur. Kalau jumlah anak itu lebih dari empat orang, nama urut anak keempat dan seterusnya tetap Ketut. Tidak kembali ke Wayan dan seterusnya. Maka, di Pegayaman banyak sekali orang yang dipanggil Ketut. Soalnya, keluarga berencana di sini tergolong tidak sukses - banyak menemui hambatan karena masalah adat dan tradisi. Walau mereka memakai nama urut khas Bali, yang menyusul di belakang Wayan, Nengah, Nyoman, atau Ketut adalah nama khas Islam. Misalnya Ketut Sulaeman, Nyoman Ali Akbar, Nengah Saleh Yusuf, dan Wayan Ibrahim. Atau kalau perempuan Ketut Muflia, Wayan Siti Fatimah. Sebutan Kiai tidak lazim di sini. Yang digunakan adalah sebutan Guru - seperti umumnya masyarakat Bali menyebut guru untuk tokoh yang dihormati. * * * Bila Anda berjalan-jalan di Desa Pegayaman dan Anda tidak punya kenalan di sana, bersiaplah untuk lapar. Di desa ini tidak ada warung yang menjual nasi, kopi, teh, dan sebagainya. Beras juga tak dijual di warung-warung. Begitulah tradisi sejak dulu. Warung di Pegayaman hanyalah menjual sandal jepit, kopiah, dan minyak tanah. Mengapa begitu, tak seorang Pegayaman pun yang bisa menjelaskan. Yang sangat khas, transaksi jual beli di antara warga desa selalu disertai pernyataan akad, untuk sahnya jual beli itu. Seumpama seorang Pegayaman hendak membeli kopiah di sebuah warung. Pertama-tama ia akan menemui pemilik warung, dan sebelum menyentuh barangnya, ia akan berkata begini: Tiang mebelanja, nggih. (Saya berbelanja, ya). Pemilik warung menjawab: Nggih, tiang madolan (Ya, saya berjualan). Barulah si pembeli boleh mengambil barang yang hendak dibelinya, untuk dipilih-pilih. Bila seseorang main pegang barang sebelum ada pernyataan itu, ia dianggap berniat busuk, perbuatannya dinilai sama dengan mencuri. Dan sebagaimana lazimnya jual-beli, bila pembeli tak jadi mengambil barang, pun tak jadi soal . Di desa ini tidak ada pasar. Itu tabu sejak dulu. "Turun-temurun di sini tak ada pasar. Kalau kami perlu barang yang tak ada di warung, pergi ke Pabean," kata Guru Nyoman Ali Akbar, salah seorang ulama di desa ini. Pabean adalah Singaraja dan begitulah semua orang Pegayaman menyebut kota itu. Menurut ulama ini, pasar akan menyebabkan gadis-gadis remaja dan ibu-ibu rumah tangga beramai-ramai belanja. Padahal, di Pegayaman perempuan tabu berkeliaran di jalan-jalan desa. Dan ke pasar lewat mana lagi kalau tak lewat jalan desa. Perempuan hanya keluar kalau penting benar dan terpaksa, dan tak boleh setelah lewat isya. Bagi para gadis remaja, mereka hanya boleh keluar rumah dengan kawalan ibunya, atau nenek, atau siapa saja wanita dewasa yang dipercayai oleh keluarganya. "Wanita yang sudah akil balig pantang hukumnya bersentuhan dengan lelaki yang bukan muhrimnya," kata Guru Nyoman Ali. "Dengan tetangga pun, wanita yang berusia diatas tujuh tahun tak boleh bersalaman tangan." Lalu bagaimana orang Pegayaman memperoleh kebutuhan sehari-hari? Sebentar, setelah azan subuh berkumandang, akan tampak pemandangan ini. Perempuan-perempuan tanpa kerudung, menjunjung bakul, keluar-masuk lorong-lorong, singgah di setiap pintu rumah. Mereka bukan warga Pegayaman, tapi orang Bali Hindu yang menyuplai kebutuhan rumah tangga Pegayaman. Para bakul itu menjual tahu, tempe, ikan asin, lombok. Di depan pintu rumah mereka disambut perempuan berkerudung. Yang Hindu - menyesuaikan diri dengan adat setempat - lalu berucap: Tiang madolan, nggih. Barulah yang berkerudung membalas: Tiang metumbasan, nggih. Belanjaan pun dipilih-pilih dan ditawar-tawar. (Metumbasan bahasa lebih halus dari mebelanja yang artinya berbelanja. Warga Pegayaman memakai bahasa Bali lebih halus untuk berhadapan dengan warga desa lain). * * * Boleh dikata Pegayaman adalah desa kerudung dan kopiah. Semua perempuan - kecuali anak-anak berkerudung. Lelakinya, tanpa kecuali, berkopiah. "Kopiah memang diwajibkan, untuk memudahkan mengenali apakah dia Islam atau tidak," kata Guru Wayan Rasyid, seorang ulama yang dikenal sebagai ahli Quran di sini. Seorang lelaki Pegayaman keluar rumah tanpa kopiah akan diejek sebagai orang pasek (berasal dari kata fasiq - tidak pernah menaati perintah Allah). Dan bila Anda datang ke Pegayaman memakai kopiah, Anda adalah tamu terhormat. Sambutan ramah-tamah, tegur sapa dari sana-sini akan Anda peroleh. Dan dengan hormatnya pula mereka akan mempersilakan singgah. Begitu Anda singgah, pasti segera keluar suguhan segelas kopi dan beberapa potong dodol buatan Pegayaman. Desa ini memang penghasil kopi. Tiap rumah tangga di sini punya persediaan serbuk kopi - buatan sendiri. Mereka akan tersinggung kalau Anda tidak meminum suguhan itu. Di luar Pegayaman orang desa ini sendiri tak pernah tersinggung bila diolok-olok. Misalnya di Kota Singaraja (atau Pabean kata orang Pegayaman), mereka dipanggil dengan sebutan maman. Di Desa Pegayaman sendiri sebutan maman itu umum, untuk lelaki yang lebih tua. Kata maman berasal dari paman. Tetapi di Singaraja, sebutan maman diucapkan pelan, selalu disertai dengan tawa dan olok-olok. Di kota pelabuhan Bali bagian utara ini, lelaki Pegayaman memang gampang dlkenali dari sarung, kopiah, dan logat Balinya. Sebagaimana lazimnya masyarakat yang homogen dan unik, hubungan kekerabatan setiap warga di Pegayaman sangat erat. Menengok orang sakit, pergi mengaji, merupakan lalu lintas yang ramai di lorong-lorong jalan menjelang petang. Jika seseorang sakit, untuk mengetahui sejauh mana parahnya si sakit, ia akan ditanya begini: Kari nyidaang sembahyang (Masih bisa sembahyang?). Kalau jawabnya, ya, maka itu pertanda penyakit tidak parah benar. Menjelang petang, kentara sekali penghuni desa yang dingin ini lebih banyak anak-anaknya. Dari 3.860 orang penduduk Pegayaman, 2.361 orang berusia di bawah 20 tahun. Anak laki-laki bergerombol di sekitar Masjid Jami Safinatussalam, masjid tertua di Kabupaten Buleleng (dan mungkin di Bali). Masjid itu kini sedang dipugar dengan dana bantuan presiden. Anak-anak berebut naik menara, sebagian berebut memukul beduk azan magrib. Anak-anak ini bermain-main, berkejaran di lorong-lorong sambil saling tanya, di mana giliran pengajian untuk mereka malam itu. Banyaknya anak-anak membuktikan bahwa angka pertumbuhan penduduk cukup pesat. Pada umumnya keluarga Pegayaman mempunyai anak lebih dari lima orang, meski angka kematian balita di sini tinggi. Jangan kaget, misalnya, bila mendengar data keluarga Guru Nyoman Ali. Ia punya 35 anak dari tiga istri. Istri pertama meninggal dunia setelah melahirkan seorang anak. Istri kedua dan ketiga masing-masing melahirkan 17 anak. Tapi ketujuh belas anak dari istri kedua itu semuanya meninggal dunia, kebanyakan pada usia 1 sampai 2 tahun. Sedangkan 17 anak dari istri ketiga, 13 orang meninggal. Jumlah anak tampaknya memang jadi kebanggaan. Dengan perasaan bangga seorang bapak Pegayaman akan bilang begini. "Anak saya empat belas, meninggal sembilan orang," - tanpa ada nada sedih. Lalu mengapa anak-anak itu meninggal? Jawaban yang umum diberikan adalah mereka sakit panas. Agaknya, kesehatan lingkungan sebelum 1985 - buruk sekali. Ketika itu air minum diambil dari kali yang ditampung dalam bak - sekaligus juga dijadikan tempat mandi dan cuci. Pelayanan kesehatan di sini pun kurang, karena ketatnya adat. Baru pada 1985, terutama setelah jalan ke desa diaspal, lingkungan Pegayaman menjadi lebih bersih. Apalagi ketika Desa Islam ini terpilih dijadikan "proyek" untuk mewakili Kecamatan Sukasada dalam lomba desa. Air minum diambil dari mata air di bukit disalurkan lewat pipa-pipa ke desa. Sebuah puskesmas pembantu dibangun - baru bangunan fisik saja. Di tahun-tahun sebelumnya niat membangun puskesmas selalu ditentang oleh para pemuka di sini, karena dianggap "jadi propaganda program KB". KB atau keluarga berencana tampaknya jadi momok di Pegayaman . Rata-rata warga desa segan diajak bicara soal KB. Bagi mereka membicarakan spiral atau kondom sama seperti membicarakan daging babi. "KB boleh saja, sekiranya tidak membahayakan," ini kata Guru Nyoman Ali. Tetapi kemudian ia mengakui, anggota pengajiannya - yang sebagian besar terdiri dari para ibu-ibu - hampir tidak ada yang ber-KB. Dari Guru Wayan Abdul Wasyid Karim bisa diperoleh "fatwa" lebih tegas. Imam Masjid Safinatussalam ini dengan tegas menyebutkan, perempuan yang memakai alat spiral (IUD), biarpun mereka taat menjalankan ibadat, termasuk bersembahyang lima waktu, ibadatnya tidak sah. Guru Wayan - demikian panggilannya - memberikan alasan. Spiral itu tentu dilelehi darah jika si pemakai sedang haid. "Nah, itu berarti sudah menjadi najis. Karena najis itu tetap melekat di dalam tubuh, ya, semua ibadatnya batal," kata Guru Wayan. Lalu bagaimana dengan kondom, Guru? "Yang ini boleh. Tapi 'kan menjijikkan," katanya seraya tertawa. Tubektom atau vasektomi? "Itu dilarang keras," kata Guru Wayan pula. Lantas apa sarana KB yang disarankan? "Pil boleh, suntikan boleh," jawabnya. Dengan suntik, tentu saja bagi warga Pegayaman rumit urusannya, karena harus dilakukan oleh juru suntik perempuan, sementara tenaga medis di Kecamatan Sukasada kebanyakan lelaki. Adapun KB dengan sarana pil, pada akhirnya, tidak begitu mempan menurunkan angka kelahiran. Cara ber-KB terakhir ini sangat tergantung kesadaran pribadi, dan sikap para tetua Pegayaman tentulah menjadikan para ibu cenderung melupakannya saja. Sistem kontrol bersama - umpamanya dengan membunyikan kentongan sebentar setelah masuk isya, seperti dilakukan di sebuah desa dekat Pegayaman - tak dijalankan di desa Guru Wayan Rasyid. * * * Menjelang malam, jalan-jalan desa pun sunyi. Satu-dua rumah di pinggir jalan utama menghidupkan televisi dengan bantuan aki. Gambar yang muncul di layar sangat remang-remang. Di luar rumah, desa gelap. Hanya sekitar 80 km di utara Denpasar, Pegayaman ternyata belum terjamah aliran listrik. Kebiasaan membangun rumah dengan tidak banyak jendela, juga jarangnya jendela kaca, menambah keelapan - sinar lampu tempel di dalam tak bisa menembus halaman. Di malam terang bulan kesunyian dipecahkan oleh suara pengajian yang dilakukan oleh sekelompok lelaki dewasa, yang tergabung dalam sekeha wirid. Pada malam itu pula muncul sosok-sosok berkopiah, berselimut sarung, mengendap-endap masuk pekarangan rumah, mendekati sebuah jendela kamar. Beberapa sosok melengkapi kostum mereka dengan rokok menyala di mulut. Lalu, tok . . . tok . . . tok . . . mereka mengetuk jendela kamar itu. Inilah cara remaja Pegayaman berpacaran. Jika ada sahutan dari dalam, maka komunikasi pun lancar. Nah, mulailah pembicaraan dua remaja di tengah malam, yang lelaki di luar rumah, yang perempuan di dalam rumah. Jendela tetap tak boleh dibuka, untuk menghindari pertemuan langsung demikianlah tradisi mengharuskan. Inilah yang disebut magesah. Nyoman Ibrahim, seorang pemuda Pegayaman, menuturkan praktek magesah yang ia lakukan suatu saat. Di suatu larut malam ia mendatangi rumah kekasihnya, Wayan Nurlela (Ibrahim tak mem berikan nama sebenarnya idaman hatinya itu, mungkin malu). Sialnya, di bawah jendela kamar gadisnya sudah menempel pemuda lain. Nyoman Ibrahim dengan sabar menunggu di pekarangan, mengambil jarak sekitar tiga meter. Ketika kesabarannya mulai hilang, ia mendehem, memberi tanda supaya pemuda yang asyik berbicara dengan Wayan Nurlela itu tahu diri. Rupanya, si pemuda itu masih juga setia menempelkan kupingnya di jendela. "Saya 'kan tak sabar, ya, saya mendekat," kata Nyoman Ibrahim. Ia langsung saja mengetuk jendela, tak peduli lelaki saingannya masih ada. Mendengar bunyi ketukan itu, langsung Wayan Nurlela mengenali. Lho, kok tahu? "Saya punya kode ketukan, 'kan sudah sering," ujar Nyoman Ibrahim. "Assalamualaikum beli Nyoman," ujar Wayan Nur dari dalam (beli = kakak, untuk lelaki). "Tiang kari magesah sareng Ketut Abbas." (Saya masih magesah dengan Ketut Abbas). Mendengar jawaban itu, Nengah Ibrahim menyingkir lagi. Tak lama, pemuda yang bernama Ketut Abbas itu meninggalkan jendela, dan Nyoman Ibrahim pun menggantikan posisi lelaki yang pergi itu. "Yang saya tanyakan pertama kali apakah Wayan Nur itu mencintai Ketut Abbas. Jawabannya tidak, dan saya pun melanjutkan magesah," tutur Nyoman Ibrahim tersenyum-senyum. Bagaimana kalau Nur juga cinta? "Ya, rebutan, bagaimana nasib nanti, tergantung emas kawin." Seorang gadis di Pegayaman bisa dicintai atau mencinta dua pemuda, dan itu namanya mebarungan. Persoalan begini biasanya diselesaikan orang tua. "Dulu bisa terjadi percekcokan antarkeluarga bila ada urusan begini," kata Guru Nyoman Ali. Pertemuan muda-mudi di saat lain adalah ketika gadis-gadis Pegayaman mandi ke Batu Gending, pemandian di ujung desa itu. Itu menjelang petang. Di siang hari jarang gadis keluar tanpa dikawal. Para pemuda juga mandi di situ. Tentu saja tempat mandi pria dan wanita dibatasi tembok tinggi. Mereka hanya bisa saling mendengar, dan rayuan gombal-gombalan dilemparkan. Pacaran di sini sifatnya penjajakan saja, lebih banyak bergurau atau dalam tingkat naksir. Tingkat selanjutnya, itu tadi, magesah . Perkawinan suatu hal yang paling merepotkan di Desa Pegayaman. Bayangkan, bila keluarga si gadis menuntut emas kawin yang tidak kecil: kebun kopi atau sawah. Jangan pula kaget bila luas kebun yang diminta hektaran. Tapi, ada saja jalan tawar-menawar yang cukup seru antara kedua belah pihak. Bila tawar-menawar macet, sang pemuda tak mampu memberikan emas kawin yang diminta oleh keluarga si gadis, sementara sang gadis juga mencintai pemuda itu, ditempuhlah cara jantan. Calon mempelai lelaki mengumpulkan sanak famili dan mengatur siasat melarikan si jantung hati. Tentu, gadis yang dilarikan itu sudah diberi tahu, supaya mencari alasan keluar menjelang magrib. Cara ini disebut merangkat. Dan merangkat adalah cara praktis untuk kawin yang penuh ketegangan. Setelah si gadis dilarikan dan berada dalam pengawasan keluarga lelaki, beberapa orang ditugasi mejati, yakni memberi tahu ke rumah keluarga gadis. Adakalanya orangtua si gadis tidak bisa menerima perlakuan seperti itu. Dalam hal seperti ini, perkelahian tak jarang terjadi. Tapi kini tampaknya perkelahian dihindarkan sedapat mungkin. Dalam perkawinan merangkat, keluarga mempelai lelaki biasanya menghubungi terlebih dahulu para pemuka agama. Mereka inilah yang akan menjadi penengah kalau sampai kemelut memuncak. Yang kini lebih sering terjadi, kemelut itu dipendam oleh keluarga si gadis. "Sakit hati"-nya disimpan bertahun-tahun. Kalau tak bisa hilang juga, pihak keluarga si gadis akan membuat perhitungan di kemudian hari. Misalnya, memaksa anaknya bercerai. Dalam masa memendam sakit hati ini, biasanya pasangan pengantin berusaha terus membujuk, mendinginkan hati orangtua. Perkawinan dengan cara merangkat di Pegayaman diakui sah adanya, karena akad nikah diselenggarakan dengan saksi wali hakim. "Dilihat dari undang-undang pemerintah hal itu sah," kata Guru Wayan Rasyid, seorang ulama yang sering menjadi saksi perkawinan merangkat. Dan dalam perkawinan merangkat pun diadakan resepsi, cuma caranya agak lain. Bukannya warga desa yang datang ke resepsi perkawinan, tetapi pengantin itu mendatangi rumah demi rumah warga desa. Adat ini disebut ngunya. Pengantin dihias sedemikian rupa, yang laki bercelana, memakai jas, berkopiah yang perempuan berkebaya lengkap dengan kerudung yang dipasang agak ke depan sehingga menutup seluruh muka. Diiringi kerabat keluarga, pengantin ini mendatangi rumah demi rumah. Tentu, semua warga desa sudah tahu sebelumnya. Di tiap-tiap rumah mereka bersalaman, meminta doa, dan pengantin menyerahkan senampan kue pengantin. Isinya, cerorot, bantal, apem, dodol, dan kuekue khas Bali yang lain. Dalam beberapa hal, perkawinan jenis merangkat sama dengan perkawinan melegandang di banyak tempat lain di Bali. Keduanya kawin lari. Hanya saja, kawin lari versi Bali (Hindu), mulai tidak mendapat pengakuan dan dinyatakan tidak sah menurut undang-undang perkawinan. Sebab, tidak ada sistem akad nikahnya. Camat yang bertugas mencatat perkawinan umat Hindu di Bali tidak akan melaksanakan tugasnya kalau tidak dihadiri orangtua kedua mempelai atau wakil mereka. Sistem wali, ini bedanya dengan merangkat, tidak dikenal. * * * Ada dua jenis kesenian yang selalu memeriahkan resepsi pernikahan dan upacara lain - misalnya Maulid Nabi - di desa yang dikelilingi kebun kopi ini. Keduanya bernapaskan padang pasir dan lagu-lagunya adalah pujaan untuk Nabi Muhammad saw. Burdah, yang lebih tua, muncul di desa ini pada tahun 1886. Tidak jelas dari mana diperoleh angka tahun ini, tetapi catatan itu ada di masjid dan setiap orang luar yang bertanya asal usul kesenian itu mendapat penjelasan demikian. Burdah adalah tetabuhan dengan rebana yang besar yang dibuat dari batang pohon kelapa. Penabuhnya, yang sekaligus sebagai biduan, kebanyakan orang tua. Para pemain berpakaian khas Bali. Memakai destar batik atau destar kain endek, yang dirangkai sendiri, tak ada bedanya dengan destar orang Bali yang Hindu, jika bersembahyang ke pura. Demikian pula kain yang dipakai, mekancut seperti orang-orang Bali umumnya. hanya saja, para pemain burdah ini tidak memakai selendang yang melilit di pinggangnya - dan itu yang membedakan dengan pakaian persembahyangan umat Hindu. Bentuk rebana itu pun persis dengan bentuk sahab, yaitu penutup sesajen di masyarakat Hindu. Yang terasa unik, lagu pujaan dalam burdah mengalun bagaikan lagu-lagu pujaan umat Hindu, tapi berbahasa Arab. Begitu rebana dipukul, lagu-lagu puja berbahasa Arab mengalun beberapa saat, seorang penari masuk ke tengah arena. (Pemain burdah duduk bersila membentuk bujur sangkar). Tapi burdah adalah kombinasi jurus silat dengan gerak tari Bali jenis kesatria - seperti terlihat pada tari Mergapati, Trunajaya, Panji Semirang, dan sebagainya. Ada empat jenis tarian dalam burdah. Yakni tari selendang, tari tampan, tari perkawinan, dan tari pukul dua. Nyoman Abdullah Mahmud, 55, si penari itu mengatakan, tidak sembarang orang bisa menari burdah. Di Pegayaman hanya ada dua penari selain dia. "Sekeha burdah ini semuanya keturunan. Kalau tidak keturunan, sulit bisa, ini kesenian sakral," kata Nyoman Mahyail, wakil ketua sekeha (kelompok) burdah ini. Kesenian satu lagi yaitu jenis kesenian yang umumnya ada di masyarakat Islam Indonesia, di beberapa daerah. Itulah rudat atau sering pula disebut hadrah, konon masuk Pegayaman pada 1890. Ini kesenian yang lebih bernilai hiburan dan lebih banyak dilakukan oleh pemuda-pemuda, kecuali komandannya yang masih dipercayakan kepada Ketut Hamdan, lelaki yang sudah keriput. Selain komandan, ada tiga penabuh rebana - tidak sebesar rebana burdah - yang berpakaian putih-putih. Mereka disebut hadi. Sisanya berbaris dua-dua, berpakaian serba hitam dan berkopiah. Mereka disebut pengangguk. Rudat di Pegayaman ternyata bersih dari pengaruh kebudayaan Bali (Hindu). Komandan rudat memegang semprit, dan sikapnya seperti seorang militer sungguhan. Aba-aba diberikan dalam bahasa Arab, diucapkan dengan lidah Bali. Gholyad al guddam . . . eis teit . . . artinya kencang lengan, gerak. Para pengangguk pun melencangkan tangannya ke depan. Gholyad al yasir. . . eis teit artinya lencang kiri. Al warad dur, eis teit artinya balik kanan. Al hafuf yamin, eis teit artinya renggangkan kaki kanan dan menghadap ke kiri. Banyak aba-aba "peraturan baris berbaris" yang diperagakan oleh pemain rudat ini - yang selalu saja membuat tepuk tangan dan ketawa para penonton. Setiap aba bergerak, diiringi sempritan dua kali, lalu rebana ditabuh seperti bunyi genderang. Setelah hadi menyanyikan lagu-lagu berbahasa Arab, para pengangguk pun menari: membungkuk, mengacungkan tangan, berpaling ke kanan-kiri, berangkul-rangkulan tangan, dan ikut bertembang berbalas-balas. Rudat juga bisa dilakukan sambil duduk di panggung. Para pemain duduk berjejer menghadap hadi. Seseorang membaca kitab berbahasa Arab dan bertulis Arab gundul. Para pengangguk meniru atau melanjutkan beberapa bait sambil melakukan gerak-gerak jurus silat. Mirip seudati di Sumatera. Kesenian rudat inilah yang memegang peranan dan meramaikan pesta pora menyambut Maulid Nabi, hari besar Islam yang paling dinanti-nanti masyarakat Pegayaman, lebih dibandingkan Idulfitri. * * * Dan inilah sebuah reportase perayaan Maulid Nabi, ditulis oleh Ketut Syahruwardi Abbas, seorang putra Pegayaman yang pernah belajar di Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang, dan kini tinggal di Denpasar. Dari menara masjid terdengar ingar-bingar pembacaan ayat-ayat Quran, tampaknya diputar dari kaset setengah rusak. Suaranya fals. Beberapa saat lagi, beduk bertalu dan akan disambung azan. Saat-saat seperti ini adalah saat yang paling sibuk bagi perempuan-perempuan Pegayaman. Esok sudah dimulai perayaan Muludan istilah orang Pegayaman. Itu berarti, para ibu di Pegayaman harus menyiapkan "sesajian" khas Muludan, yang disebut sokok. Persis sesajen yang menjulang tinggi pada perayaan hari besar Hindu. Bedanya, buah-buahan pada sesajen Hindu pada Islam diganti dengan base - daun sirih . Acara besar ini melibatkan hampir seluruh desa berlangsung dua hari penuh. Hari pertama, 12 Rabi'ul Awal, tepat hari kelahiran Nabi Muhammad, disebut muludan base. (Pada persembahyangan umat Hindu pun, hari pertama disebut sambah base). Dari masjid, sejak subuh sudah berkoar suara yang mengingatkan hari besar itu. Juga ada pengumuman, agar penduduk yang membuat sokok base segera mengumpulkan sesajian itu di masjid. Anak-anak pun menyerbu masjid dengan baju-baju baru. Di masjid, orang duduk melingkar merapat pada tembok. Di tengah, dideretkan sokok itu. Beberapa perempuan membawa nampan ditutup sahab, ya, alat penutup sesajen yang juga digunakan oleh nyama Bali. Nampan itu berisi nasi gurih bersantan, dibentuk seperti kerucut dengan sekerat daging di ujungnya. Perempuan-perempuan itu datang bergelombang, dan sesajian pun berlimpah. Kitab kuning dibuka. Kisah Nabi Muhammad dibacakan. Lalu makan bersama. Setelah itu, Allahumma shalli 'ala Sayyidina Muhammad diteriakkan bersama-sama. Mulailah daun sirih dicopot dari sokok, dibagikan kepada hadirin, yang kemudian mengalungkan daun itu di leher, untuk dibawa pulang. "Sebagian besar penduduk masih memiliki keyakinan bahwa rentengan base itu bertuah. Mereka biarkan mengering bertahun-tahun di rumah," kata Guru Ali. Tampaknya, Islam di mana pun memperoleh warna lokal. Muludan base berakhir. Di hari kedua ibu-ibu membuat sokok yang lebih rumit: base itu diganti taluh (telur). Sementara itu, di masjid tetap ingar-bingar dengan ayat-ayat suci dan suara beduk yang ditabuh oleh anak-anak. Maulid kedua, 13 Rabi'ul Awal, karena itu disebut muludan taluh, hari yang paling ramai di Pegayaman. Para penyakap di kebun-kebun kopi - termasuk yang bukan orang Pegayaman yang beragama Hindu - turun ke desa dengan baju yang paling baik. Sanak keluarga Pegayaman yang berada di desa jauh pun pulang kampung. Gadis-gadis yang jarang keluar siang hari saat itu boleh menikmati kebebasan, asal bergerombol, dan tentu saja berkerudung. Hampir setiap lelaki mengenakan kopiah dan sarung pelekat baru. Sekelompok nyama Bali meramaikan sisi-sisi jalan dengan menjajakan makanan. Di masjid barzanji dibaca dengan iramanya yang khas, sementara burdah mengalun di sebuah rumah dekat masjid. Kelompok rudat menari, memasuki lorong-lorong sambil mengumpulkan sokok taluh, yang sudah ditaruh oleh pembuatnya di depan rumah. Sebelum menjamah sokok taluh itu, penari rudat menyanyikan beberapa bait syair dalam bahasa Arab. Tapi ada pula satu syair berbahasa Indonesia, entah bagaimana asal mulanya. Bunyinya: tidurlah bangun terus melompat supaya dapat hidup selamat Semua sokok taluh dibawa ke masjid. Seperti halnya sokok base, sesajian ini juga ditaruh di tengah-tengah lingkaran para pemuka agama. Barzanji pun dibaca. Selesai, Guru Imam Masjid yang berjubah hitam disalami ramai-ramai, berebutan. Anak-anak pun berdesakan memasuki gerbang masjid. Itu pertanda sokok taluh segera dibongkar. Mula-mula peserta baca barzanji mendapat bongkaran taluh. Giliran kedua, anggota rudat. Barulah anak-anak mendapat bagian: sisa yang ada dilempar ke halaman masjid. Berebutan, saling teriak, dan penuh hura-hura - anak-anak Pegayaman memang juga anak-anak. Sebenarnya banyak orang yang mengharapkan mendapat telur, baik lelaki dewasa maupun perempuan dewasa. Tetapi lelaki dewasa malu berebutan dengan anak-anak. Sedangkan perempuan dewasa, bagaimana bisa berdesak-desak sementara bersentuhan dengan lelaki yang bukan muhrim saja tabu? Menjelang sore keramaian berpindah ke jalan besar, di depan kantor kepala desa. Para pemain rudat memperagakan pencak silat, mereka bersenjata tongkat rotan. Lalu pesilat-pesilat di luar kelompok rudat pun tampil. Tempik sorak membahana, bukan hanya pertarungan makin seru, tetapi beberapa orang mulai membanyol. Di selang-seling adegan lawak itu, muncul pertarungan silat yang serius, antara pesilat nyama Bali dari luar Pegayaman yang diundang dan pesilat nyama selam. Para gadis berkerudung menonton dari kejauhan. Siapa tahu jagoannya mampu merobohkan lawan - dan ini tentu asyik dijadikan bahan obrolan dalam kesempatan magesah. * * * Pegayaman dusun pertanian: kopi, padi, cengkih. Luas seluruh desa sekitar 1.600 hektar - 530 hektar merupakan kebun kopi yang kini diselingi cengkih, 130 hektar tanah sawah. Sisanya adalah daerah permukiman, jalan-jalan, pekuburan, sungai, dan tanah-tanah tidak produktif. Sawah Pegayaman beruntung mendapatkan irigasi yang bagus: di wilayah ini terdapat tiga air terjun yang sangat indah. Sebagaimana daerah Bali yang lain, sistem pertanian di sawah juga memakai sistem subak. Bahkan orang Pegayaman pun mengenal upacara keagamaan di subak. Sudah barang tentu dengan caranya sendiri, dan doa yang dibaca doa Islam. Di akhir tanam padi, itulah saat warga subak Pegayaman mengadakan upacara religius - sekali dalam setahun. Mereka berkumpul di mata air Yeh Buus, membawa sesajian berupa ketupat-ketupat kecil. Para pemuka agama yang tidak menjadi anggota subak - keanggotaan ditentukan oleh punya tidaknya sawah - juga diundang hadir. Lalu dikumandangkanlah Qasidah Burdah yang disusun oleh Al-Imam Muhammad Al Bushiry pada abad ke-7 Masehi. Disusul dengan pembacaan doa-doa selamatan dari syair aqidatul 'awam. Selesai selamatan para anggota subak mengambil air di Yeh Buus untuk dituangkan ke sawahnya masing-masing. Harapannya, semoga sawah mereka luput dari segala bencana: dari wereng sampai banjir. Justru subak di perkampungan Islam inilah yang masih tetap komplet, baik sarana maupun upacara keagamaannya, dibandingkan subak-subak pada masyarakat Hindu di tempat lain. Di desa ini, misalnya, masih ada sekeha manyi (kumpulan menuai padi), dan di rumah-rumah orang Pegayaman biasa terlihat ada lumbung tempat menyimpan padi. Sebabnya yakni padi Pegayaman masih dari jenis lokal, sementara di daerah Bali yang lain telah ditanam varietas unggul yang tidak membutuhkan sekeha manyi dan lumbung. Padi di Pegayaman hanyalah hasil pertanian kedua. Desa ini terutama terkenal dengan kopinya. Panen kopi di Pegayaman, dalam beberapa hal mirip panen cengkih di Minahasa. Mendadak para petani itu memperoleh uang berlimpah, lalu pergi ke kota, membeli pakaian, kain batik, tape recorder, sampai televisi. "Mereka membeli apa saja yang diinginkannya, walaupun nantinya dijual lagi dengan harga murah, bila paceklik datang," tutur Ketut Ibrahim Barikin, sekretaris Kelurahan. Kebiasaan buruk itu, menurut Ketut Ibrahim bahkan sudah menjadi tradisi, sulit dihilangkan. Di musim panen kopi mereka makmur, dan menghambur-hamburkan uangnya. Beberapa bulan setelah panen lewat, mereka jatuh miskin. Akibatnya, banyak penduduk Pegayaman terjerat ijon. Istilahnya di sini, ngontrak. Kalau harga kopi misalnya Rp 100.000 sekuintal, dalam sistem ngontrak ini pemilik kebun kopi paling hanya menerima uang Rp 30.000 untuk nantinya dibayar dengan sekuintal kopi. Selain itu, kebanyakan petani kopi Pegayaman enggan mengusahakan kopinya. Mereka malas memetik sendiri, menjemur buah kopinya sendiri, dan menumbuknya sendiri. Mereka lebih suka majeg, menjual buah kopinya ketika masih di pohon. Tukang majeg datang dari Singaraja, memeriksa buah-buah kopi di pohon, lalu menawarkan harga. Bisa saja tukang majeg itu rugi, tetapi yang lebih banyak terjadi adalah pemilik kopi yang rugi. Seumpama mereka mau memetiknya sendiri akan mendapatkan hasil lebih besar. Tak semua memang mengikuti pola hidup enak-enakan seperti itu. Yang tetap bertahan dan anti-ijon maupun anti-majeg masih ada. Mereka lebih banyak tinggal di kebun kopinya sendiri, mendirikan gubuk-gubuk. Tiga tahun lalu orang-orang yang bertahan ini membentuk banjar (bagian dari desa, semacam RT) sendiri, namanya Banjar Amerta Sari. Misalnya, Nyoman Harman lelaki tua berusia 65 tahun yang tinggal dengan seorang istri dan seorang anaknya di gubuk kebun kopinya. Tiga anaknya yang lain sudah terlempar dari Desa Pegayaman, menjadi buruh di kota. (Nyoman Harman punya sepuluh anak, enam meninggal) . Memiliki 1,25 hektar kebun kopi, keluarga Nyoman Harman hidup sederhana. "Sehari-hari makan nasi keladi," katanya. Maksudnya, nasi yang dicampur keladi, tanaman yang banyak tumbuh di bawah kebun kopi itu. Dengan tinggal di kebun ia merasa aman, tak terpengaruh kehidupan desa, yang katanya "sudah mulai dijerat kemewahan yang tak perlu, sejak jalan menuju desa diaspal." "Saya ke desa hanya pada hari Jumat, sembahyang di masjid. Setelah itu balik lagi," kata Nyoman Harman. Ia tak setuju ijon, bukan saja karena pengijon banyak memeras, tetapi "agama sebenarnya tak membolehkan ijon. Orang desa sudah mulai rusak," cerita Nyoman Harman, sambil menjamu tamunya dengan kopi - suatu tradisi yang tidak ditinggalkannya. * * * Desa Pegayaman desa yang miring. Sebuah jalan aspal membelah desa itu menjadi dua. Di sebelah timur jalan meninggi, dan di sebelah barat menurun. Jalan aspal inilah yang jadi batas antara Banjar Dauh Rurung dan Banjar Dangin Rurung. (dauh = barat dangin = timur rurung = jalan). Jalan ini tidak bernama. Tapi sebuah warung menulis alamatnya: Jalan Raya Pegayaman. Nama jalan terpaksa diadakan, sebab lorong-lorong di Pegayaman, yang dibuat dari semen dan dikerjakan secara gotong-royong (menjelang lomba desa tahun 1985 itu) semuanya memakai nama. Nama itu pun diambil dari tokoh-tokoh Islam: K.H. Wahid Hasyim, K.H. Mansyur, K.H. Hasyim Asyhari dan seterusnya. Berbau NU? Memang. Ketika NU masih merupakan salah satu partai politik, warga Pegayam an mayoritas pendukun NU. Ketika NU berfusi k PPP, warga desa ini pur PPP. Tetapi, ketika Buleleng yang dikenal sebagai basis PNI berhasil di Golkar-kan, warga N Pegayaman ikut beralih ke Golkar. Kalau sekarang para ulama di Pegayaman ditanya, apakah NU di sini ada atau tidak mereka menjawab: "Yang ada cuma Golkar". Tapi di ruang tamu rumah-rumah di Pegayaman, selalu tergantung kalender NU. "Di sini memang warga NU, bukan Muhammadiyah," kata Ketut Raji, salah seorang pengurus Yayasan Sosial Maulana Desa Pegayaman - yayasan yang antara lain mendirikan SMP Maulana. Dibandingkan sekian tahun lalu, kini generasi muda Pegayaman sudah mulai mengenyam pendidikan umum. Dulu, keluarga-keluarga kaya merasa cukup dengan mengirimkan anak-anaknya ke pondok pe santren - terutama ke Lombok. Kini mereka mulai menyerahkan anak-anaknya ke sekolah umum di kota-kota di Bali, walau jumlah anak yang bersekolah di kota-kota masih tetap kecil. Di desa itu sendiri ada madrasah ibtidaiyah, (setingkat SD). Belakangan dibangun pula SD Miftahul Ulum, dan di luar desa induk ada SD Inpres. Juga ada madrasah tsanawiyah (setingkat SMP). Tentu, semua murid wanitanya berkerudung. Sebagaimana terjadi di desa-desa lain di Indonesia, kalangan muda Pegayaman yang sudah mengenyam pendidikan perguruan tinggi dan mereka yang kembali dari pondok pesantren tak kembali ke desa. Lebih banyak yang lalu hidup di kota. Baru pada hari Maulud dan juga pada hari Lebaran, mereka pulang, menjenguk masa lalu. Tak jelas adakah pengaruh para terpelajar ini terhadap desanya. Yang bisa dilihat hanyalah, orang Pegayaman tak begitu lagi mencurigai kalangan pemerintah yang masuk desa - umpamanya untuk mengadakan sensus. Memang, dengan lancarnya lalu lintas ke desa itu, kini kunjungan aparat pemerintahan dan tokoh-tokoh dari Majelis Ulama makin sering. Dan sedikit demi sedikit Pegayaman tampaknya mulai terbuka. Bantuan pemerintah tak lagi diperdebatkan apakah itu akan merusakkan adat dan tradisi mereka, seperti yang selalu mereka katakan sepuluh tahun yang lalu. Dimulai dengan pembangunan SD Inpres, kemudian perbaikan sarana lingkungan, lalu pengadaan sarana air minum yang bersih, sekarang ini puskesmas pembantu pun dibangun. Masjid satu-satunya di Pegayaman pun sekarang dirombak habis-habisan, dengan dana dari bantuan Presiden Rp 15.000.000. Toh, tetap ada yang disesalkan dalam hal bantuan pemerintah ini. Kenapa di ujung desa lalu dibangun candi bentar, bangunan yang tak pernah dikenal dalam sejarah desa itu, misalnya. Juga tempat keran air, mengapa dibuat berukir-ukir khas Bali. Lalu, kenyataan ini. Para tauke nonpribumi, yang menguasai perdagangan kopi di Singaraja, ternyata lebih cepat "diterima" warga Pegayaman. Pemerintah agaknya perlu belajar dari tauke-tauke ini. Yakni, bagaimana mereka bisa dipercayai oleh warga desa karena tak mau menyentuh tradisi mereka yang unik. Siapa tahu, di balik tradisi, yang oleh orang kota dipandang sebagai hal yang kurang praktis, tersimpan kekuatan spiritual guna menanggulangi problem-problem hidup yang semakin kompleks. Pegayaman, dengan rumah-rumahnya yang sumpek beratap seng, dengan tradisinya yang masih bertahan, tentunya boleh juga berkembang - tanpa harus kehilangan "roh"-nya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini