Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Polemik kebudayaan, sesudah 50 tahun

17 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA tidak tahu siapa yang mula-mula mencetuskan ide untuk membicarakan Polemik Kebudayaan yang berlaku 50 tahun yang lalu dalam Pertemuan Sastrawan di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 18-20 Maret yang lalu. Yang jelas banyak orang Indonesia yang merasakan bahwa perkembangan kebudayaan dewasa ini kehilangan jalan dalam kesimpang-siuran pikiran dan usaha yang bertentangan atau tak tentu tujuannya. Pada suatu pihak dalam tahun-tahun yang akhir ini timbul berbagai-bagai usaha untuk menggali sumber-sumber kebudayaan tradisi seperti kelihatan pada usaha mendirikan Javanologi, Baliologi, Melayulogi, dan lain-lain. Tentu hal ini ada hubungannya dengan kesulitan dan kelambanan usaha menciptakan seni, cara hidup, dan bentuk baru sebagai ungkapan pikiran dan perasaan bangsa Indonesia yang mengatasi suasana dan sikap hidup kedaerahan pada pihak yang lain sesungguhnya kebanyakan orang di Indonesia sekarang ini masih hidup atas dasar kebudayaan tradisional. Coba pikirkan, menurut Prof. Anton Moeliono, ada 58 juta bangsa Indonesia yang tidak sedikit jua pun tahu bahasa Indonesia. Di sisi itu dalam keterangan Undang-Undang Dasar pun terdapat kekacauan tentang pengertian kebudayaan Indonesia. Di sana disebutkan bahwa yang disebut kebudayaan Indonesia itu adalah puncak-puncak kebudayaan daerah yang tentulah bersifat pramodern. Kita sekaliannya tahu bahwa usaha pembangunan dan modernisasi bangsa Indonesia tidaklah berjalan selancar seperti yang kita harapkan. Ini karena alat yang paling penting untuk menjadikan bangsa Indonesia bangsa yang modern adalah pendidikan, sedangkan kita sekalian tahu juga bahwa salah satu yang paling lemah di negeri kita sekarang ini adalah pendidikan. Dilihat dari kesimpang-siuran pikiran tentang kebudayaan di kalangan bangsa Indonesia sekarang ini maupun dilihat dari lambannya pembangunan dan modernisasi di negeri kita, terutama kalau kita bandingkan dengan negara-negara yang sama-sama mencapai kemerdekaan dengan kita seperti Taiwan, Korea, Singapura, dan Malaysia, sebenarnya yang saya ucapkan dalam Pujangga Baru dalam tahun 1935, sebagai seorang anak muda yang berumur 27 tahun, masih ada relevansinya. Saya menghendaki pengertian Indonesia diberi kedalaman isi dan semangat sebagai inti dari kebangkitan bangsa Indonesia dalam abad ke-20 ini, dengan maksud untuk secepat-cepatnya mengejar keterbelakangan kita dalam dunia modern yang amat cepat maju dan menyatu berkat perkembangan ilmu dan teknologi di zaman kita. Dalam karangan itu dengan tajam saya tekankan bahwa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit bukanlah kerajaan Indonesia, sebab tidak menjelmakan pengertian kesadaran bangsa Indonesia yang hendak bersatu seperti misalnya jelas termaktub dalam Sumpah Pemuda. Baik Sriwijaya maupun Majapahit adalah hasil perkembangan salah satu daerah dan bangsa dalam lingkungan kepulauan yang luas ini, yang menaklukkan bangsa-bangsa dan suku-suku yang lain semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri. Tak ada padanya semangat kebangkitan dan kesatuan Indonesia modern. Dalam hubungan ini kita pun tidak dapat berkata bahwa Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, ataupun Teuku Umar adalah pahlawan Indonesia. Mereka masing-masing berjuang untuk daerah dan sukunya malahan buku Hang Tuah dilihat dari jurusan sekarang adalah anti-Indonesia, oleh karena di dalamnya dengan jelas diejek dan direndahkan suatu suku bangsa Indonesia. Dalam hubungan itulah saya ciptakan istilah pertentangan Indonesia lawan Pra-Indonesia, seperti umat Islam membedakan zaman Islam dalam karangan itu saya katakan dengan tegas bahwa pembedaan Indonesia dengan Pra-Indonesia itu bukan berarti bahwa tidak satu pun unsur dari Pra-Indonesia itu akan dapat berubah, akan dapat diasimilasi oleh kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh. Tetapi untuk memungkinkan itu mestilah unsur kebudayaan daerah itu menjalani transformasi, misalnya bahasa Indonesia adalah sambungan dari bahasa Melayu, tetapi salah sekali kalau kita katakan bahwa bahasa Indonesia itu sama dengan bahasa Melayu. Ini karena pada dasarnya bahasa Indonesia adalah bahasa alat komunikasi dan pikiran angkatan bangsa Indonesia abad ke-20 yang telah masuk dunia modern. Dilihat dari jurusan ini bahasa Melayu adalah bahasa Pra-Indonesia, bahasa yang dipakai dalam feodalisme kerajaan Melayu, kampung-kampung dan dusun-dusun Melayu yang belum masuk suasana dunia modern. Pada hakikatnya sebagai penjelmaan kebudayaan, bahasa Indonesia lebih dekat kepada bahasa-bahasa modern seperti bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman dari kepada bahasa Melayu, meskipun dilihat dari linguistik bahasa Indonesia dan bahasa Melayu masuk jenis yang sama. Demikian juga misalnya gamelan Jawa adalah hasil kebudayaan Pra-Indonesia tetapi kalau gamelan Jawa dipakai untuk menciptakan lagu-lagu yang baru, mengiringi baik drama-drama yang baru baru dalam arti mengandung jiwa, cara berpikir, cita-cita manusia Indonesia modern, maka gamelan itu dapat masuk ke dalam kebudayaan Indonesia baru. Dalam hal ini sebenarnya kita melihat sesuatu yang aneh dalam dunia Jawa sekarang ini. Bagi saya jelas bahwa Bagong Kussudiardjo adalah seorang seniman Indonesia modern, meskipun dalam gerak-geraknya, dalam nada-nadanya banyak ia memakai gerak-gerak dan nada-nada dari kebudayaan Jawa yang bersifat Pra-Indonesia. Tetapi semangat yang diberikannya kepada ciptaan-ciptaannya itu jelas bernapas manusia Indonesia modern. Agaknya dalam hal inilah sebabnya bahwa dalam menilai Bagong Kussudiardjo, golongan Jawa terpecah dua. Polemik yang kedua saya bangkitkan dengan mengadakan kritik atas preadvis Permusyawaratan Perguruan Indonesia yang pertama di Solo tanggal 8-10 Juni, 1935. Dalam preadvisnya Drs. Sigit menunjukkan bahaya anggapan bahwa pengetahuan ialah kekuasaan, bahaya anarkisme yang dilahirkan pikiran liberal, bahaya pendidikan yang individualistis, bahaya mengemukakan haknya individu. Ki Hajar Dewantara berkata bahwa kecerdasan pikiran, ilmu, dan pengetahuan itu selalu mempengaruhi tumbuhnya egoisme dan budi keduniawian, materialisme. Dr. Soetomo mencela perguruan Government Belanda sebab terutama mengutamakan kecerdasan akal. Soetopo Hadi Seputro berkata bahwa pengajaran umum yang diberikan pemerintah Belanda sebagian besar hanya mementingkan kemajuan pikiran untuk mencapai "teoritische denken". Dan lebih dari sekaliannya Widioningrat memukul habis-habisan kecerdasan otak, sebab kecerdasan otak itu membangunkan perasaan pertempuran antara aku yang satu dan aku yang lain. Maka, dianjurkannya peleburan perasaan aku yang mendatangkan penderitaan bagi manusia dan kekacauan bagi dunia. Sejalan dengan sikap anti-intelektualisme, anti-materialisme, dan anti-individualisme yang negatif itu kebanyakan mereka menghendaki kembali kepada kepunyaan yang lama, lari kepada pesantren. Dalam kritik saya, saya nyatakan bahwa pendirian pembicara-pembicara advis yang bersifat anti-intelektualisme, anti-materialisme, anti-individualisme dan pro-pesantren itu ada kesalahan menganalisa, kesalahan mengemukakan soal. Intelektualisme, materialisme, dan individualisme mungkin merupakan soal-soal di negeri Barat tempat kehidupan intelek, kehidupan ekonomi telah amat maju, demikian juga tiap-tiap individu telah mengetahui hak-haknya yang dilindungi oleh UUD sebagai hak-hak manusia. Kalau kita analisa sebab-sebab kalahnya dan terjajahnya bangsa kita, maka nyatalah kepada kita bahwa menjadi statis dan lemahnya masyarakat bangsa kita adalah karena berabad-abad kurang memakai dan mengasah inteleknya, kurang mengusahakan materi dan kurang berindividu atau berpribadi. Berabad-abad bangsa kita sebagai parasit pada masa yang silam, terikat pada segala macam ikatan, kebiasaan, takhyul. Sesungguhnya soal bangsa kita adalah kekurangan intelek, kekurangan hidupnya individu, dan kekurangan gairahnya mengumpulkan harta dunia. Dan sesungguhnya masyarakat bangsa kita telah mulai dinamis dengan lahirnya orang-orang seperti Kartini, Cipto Mangunkusumo, dan lain-lainnya yang belajar pada sekolah Belanda yang diserang itu. Di sini agak mengherankan bahwa sekaliannya yang berbicara itu adalah hasil daripada sekolah Belanda belaka. Seluruh pergerakan kebangsaan kita berlaku di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda. Kalau pesantren dalam berabad-abad melahirkan pemimpin-pemimpin yang demikian dinamis dalam sikap dan perjuangannya, tentu kita akan memiliki sejarah yang lain. Dalam hubungan inilah saya mengemukakan untuk mendapat bangsa Indonesia yang terus-menerus maju dan ikut serta dalam perkembangan kebudayaan modern. Suara yang negatif dalam kongres di Solo yang anti-intelektualisme, anti-individualisme, dan antimaterialisme itu harus ditukar dengan semboyan positif dan gembira berapi-api: otak Indonesia harus diasah setajam-tajamnya, bangsa Indonesia harus dianjurkan untuk mengumpulkan harta dunia sebanyak mungkin, mengatasi kemiskinannya di negeri sendiri, kepribadian Indonesia mesti berkembang ke segala penjuru. Sesungguhnya kalau kita pertimbangkan betul-betul, pemerintah Orde Baru, yang sejak semula mengisi Pancasila dengan pembangunan dan modernisasi, yang malahan terus terang hendak menyiapkan bangsa, Indonesia tinggal landas, tidak takut akan intelektualisme. Bukan saja Menteri Habibie hendak menjadikan Indonesia negara industri modern, tetapi Menteri Agama Munawir pun tidak segan-segan mengucapkan bahwa ia menghendaki ulama Indonesia yang akan datang menyandang gelar doktor dari Harvard, Chicago, Mc Gill, Sorbonne, atau Oxford, dan Cambridge. Meskipun demikian, kita tahu bahwa kita masih jauh terkebelakang. Per kapita income bangsa kita masih jauh dari negara-negara yang disebut di atas, tentang intelek kita pun masih jauh ketinggalan. Kita tahu bahwa jumlah universitas kita bertambah, tetapi kualitasnya masih amat rendah. Berapa kali sudah saya tunjukkan bahwa Malaysia mempunyai 65.000 mahasiswa di luar negeri menuntut bermacam-macam ilmu kalau dibandingkan dengan itu, kita harus mempunyai 650.000 mahasiswa di luar negeri, kenyataannya 10 persen saja tak sampai, dan di antara mahasiswa di luar negeri itu pun sebagian besar adalah keturunan suku Cina. Masih tinggi gunung yang mesti didaki. Bangsa kita masih mesti berubah betul mentalitas dan sikap hidupnya, yang harus berakibat dalam perubahan motivasi belajar merebut ilmu dan bekerja merebut kedudukan ekonomi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus