MENGAKU tentara, Sarbaini Siregar 21, mencuri lima kilo salak. Keruan lulusan SMP itu ditangkap, dan ia sempat bermalam di Polsek Hutaimbaru, Padangsidempuan. Lalu sore hari berikutnya ia dioper ke Polres Tapanuli Selatan. Pelajaran pertama diterima Sarbaini dari Kopda Karthon Pane, Sabhara di Polres tersebut. Tak jelas alasannya, Karthon Pane, yang sudah 8 tahun menjadi polisi itu, lalu memukul, menyepak dada, perut, punggung, paha, dan tulang kering kaki Sarbaini - ketika Karthon mengawal tahanannya menuju sel 7. Pelajaran kedua berlangsung di dalam sel. Karthon Pane menyuruh Sarbaini membuka semua pakaiannya kecuali celana dalam. "Itu kebiasaan kami terhadap tahanan baru," katanya Sabtu pekan lalu mencoba menjelaskan di persidangan Mahkamah Militer Sumatera Utara. Mahkamah yang mengadili empat polisi dari Polres Tapanuli Selatan yang dituduh menyiksa Sarbaini hingga mati. Sarbaini lalu disuruh membungkuk, dengan bertumpu pada jari telunjuk disuruh berputar dua kali, sementara kaki Karthon menendangi tubuh Sarbaini. Sarbaini jatuh terduduk, setelah beberapa kali kepalanya membentur lantai semen sel itu Enam orang kawan seselnya melihat permainan itu. Tapi kemudian, menurut Stevanus Dolan Silitonga, 34, tahanan di sel 7, malam itU Sarbaini melupakan kejadian sesore tadi. Ia ikut makan bersama, merayakan bebasnya seorang kawan dari sel 7. Seolah pelajaran sore dari Karthon tak pernah ada. Menjelang pukul 20.00, langkah berat sepatu-sepatu laras berhenti di sel 7. Terdengar suara Bharatu Zulfan Efendy Siregar, 24, memerintahkan tahanan untuk apel. Lha, celakanya, si Sarbaini, yang mengaku gagal tes pendidikan tentara, agak bandel. Tiga kali ia dipanggil baru berdiri. "Apa persoalanmu, Kawan?" sapa Zulfan. "Tanya saja pada reserse," jawab Sarbaini, menurut cerita Zulfan di persidangan. Soal mengaku-aku sebagai tentara kembali menjadi pertanyaan Kopda Azwar Amir. Sarbaini, yang tampaknya mulai mafhum ia tak bisa main-main, menjawab tegas, "Saya bukan tentara." Toh, ini pun tak bisa menolongnya. Dianggap sebagai bola, orang yang dituduh mencuri salak ini diterjang dan ditinju bergantian. "Saya tak tahu berapa lama kejadian itu," kata Stevanus. Maria Elizabeth Manurung, 33, tahanan wanita dari sel sebelah, mendengar jeritan Sarbaini yang sekarat. "Hansit nai. Aduh Omak, ampun. Mate ma au, inda di ligi ho . . . ," teriak Sarbaini dalam bahasa Batak. (Sakit sekali. Aduh Ibu, ampun. Matilah aku tanpa kau lihat). Lalu terdengar gertak, "Diamlah kau. Kau hanya berpura-pura kesakitan. Tak siapa pun berhak di kantor polisi ini." Beberapa kali tubuh Sarbaini terpelanting ke sana kemari. Kepalanya dibentur-benturkan ke tembok dan lantai. Sekali mencoba berdiri, ia pun sempoyongan, membentur dinding dan tersungkur dengan mata terbeliak. Tangannya gemetar, dan mulut menganga. Menjelang subuh, pemuda malang ini meninggal di RS Hamonangan, Padangsidempuan. Dokter Rasyidin Nasution mengeluarkan visum bahwa kematian Sarbaini tidak wajar, terjadi pendarahan pada otaknya. Di persidangan keempat polisi tersangka itu masing-masing mengaku hanya memukul Sarbaini sekali. "Sungguh mampus, kami tidak menyiksa orang itu," kata Bharatu Azwar Amir. Dan Karthon Pane berdalih kepada Monaris Simanunsong dari TEMPO, "bisa saja Sarbaini sudah disiksa ketika dia ditahan di Polsek Hutaimbaru." Tapi berdasar keterangan beberapa saksi - yakni tahanan di sel tempat korban dihajar - dan visum dokter, ketua majelis, Letkol Emli Suhaeli, menjatuhkan hukuman 1 1/2 tahun untuk Kopda Azwar Amir, sementara Bharatu Zulfan Efendy Siregar 1 tahun, Bharatu Anwar Nasution juga 1 tahun, dan Kopda Karthon Pane 9 bulan penjara. Emli, yang pernah memvonis 18 tahun tambah pemecatan dari TNI-AD Peltu Aidi Syarifuddin karena ketahuan membawa 25 kg ganja dari Aceh ke Sumatera Utara, untuk perkara ini menjatuhkan hukuman tak begitu berat. "Ini hari pertama puasa," katanya kepada TEMPO sambil tersenyum. Alasan sebenarnya, keempat polisi itu berusia 20-an tahun jadi perlu diberi kesempatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini