Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNAH digadang-gadang sebagai tambak udang terbesar di dunia, kawasan Bumi Dipasena Utama pada malam hari seperti dunia hantu. Gubuk-gubuk reot yang bertahun-tahun ditinggalkan penghuninya berserakan begitu saja, diselingi semak dan ilalang yang tak pernah dipangkas.
Karena tak ada jaringan listrik, saban malam desa di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, itu selalu dibekap gelap. Suara kincir air dari tambak menjadi satu-satunya penanda masih ada kehidupan di sana. "Kami membangun desa ini dari nol lagi," kata Kepala Kampung Bumi Dipasena, Nafian Faiz, Rabu pekan lalu.
Berada di area seluas 16.250 hektare, tambak Dipasena pernah berjaya pada 1990-an. Taipan Sjamsul Nursalim, melalui bendera PT Dipasena Citra Darmaja, menguasai wilayah tersebut pada 1989. Dipasena Citra menerapkan pola inti-plasma, dengan perusahaan sebagai inti yang memodali dan membina ribuan petambak sebagai plasma. Kawasan tambak itu tenggelam setelah Sjamsul terbelit masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada 1997-1998.
Tambak Dipasena kembali menjadi sorotan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung, sebagai tersangka pada Selasa pekan lalu. Syafruddin diduga terlibat korupsi ketika menerbitkan surat keterangan lunas utang BLBI untuk Sjamsul Nursalim pada 2004.
Karena tak sanggup mengembalikan dana BLBI, Sjamsul menyerahkan sejumlah aset miliknya kepada pemerintah. Salah satunya hak tagih atas utang petambak udang Dipasena senilai Rp 4,7 triliun. Rupanya, setelah dievaluasi, hak tagih utang itu hanya Rp 1,1 triliun. "Selisih ini yang merupakan kerugian negara dan berpotensi menguntungkan orang lain," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.
Bank Dagang Nasional Indonesia milik Sjamsul Nursalim masuk lima besar bank penerima kucuran dana BLBI. Ketika limbung dihantam krisis, bank ini mendapat suntikan dana segar BLBI sebesar Rp 30,9 triliun. BDNI juga menerima bantuan lain dalam bentuk pinjaman dan deposito, sehingga total utangnya sekitar Rp 47,2 triliun.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional memberi BDNI tenggat untuk melunasi utangnya sampai April 1998. Namun, di pengujung waktu, BDNI tak bisa melunasinya. Bank Indonesia kemudian membekukan bank ini pada Agustus 1998.
Untuk melunasi utang BDNI, BPPN menawarkan skema master settlement and acquisition agreement (MSAA). Model ini mengharuskan Sjamsul menyerahkan aset perusahaan yang dimilikinya. Empat kali kontrak MSAA diamendemen. Sjamsul terakhir meneken perjanjian pada 25 Mei 1999.
Berdasarkan MSAA, utang BDNI menyusut dari Rp 47,2 triliun menjadi Rp 28,4 triliun. Salah satu pengurangnya berupa hak tagih atas utang petambak udang yang diklaim Sjamsul senilai Rp 4,8 triliun. BDNI menyerahkan hak tagih atas utang tersebut ke BPPN. Namun, berdasarkan perhitungan ulang BPPN, utang petambak yang masih mungkin ditagih hanya Rp 1,1 triliun.
Sjamsul juga menyerahkan uang tunai Rp 1 triliun plus 12 perusahaan pribadinya. Konsultan BPPN yang terdiri atas PT Danareksa dan PT Bahana plus Lehman Brothers, mewakili swasta, menilai ke-12 perusahaan aset tersebut nilainya setara dengan Rp 27,4 triliun.
Menurut kesepakatan dalam MSAA, Sjamsul Nursalim membentuk perusahaan induk untuk menampung semua aset yang akan diserahkan ke BPPN. Perusahaan itu bernama PT Tunas Sepadan Investama. Meski semua sahamnya dipegang Sjamsul, manajemen perusahaan tersebut digerakkan BPPN. Pada Mei 1999, BPPN baru menguasai semua saham Tunas Sepadan Investama.
Masalah baru muncul pada 1 November 1999, ketika BPPN mengevaluasi nilai aset jaminan yang diserahkan Sjamsul. Hasilnya jeblok. Dari taksiran awal Rp 27,4 triliun, harga aset terjun bebas menjadi Rp 6,3 triliun. Kemerosotan paling kentara ada di tambak udang Dipasena. Aset yang semula ditaksir Rp 20 triliun ternyata cuma bernilai Rp 5,2 triliun.
Kwik Kian Gie, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Indonesia periode 1999-2000, mengatakan salah satu faktor yang membuat harga Dipasena jatuh adalah utang macet petambak senilai Rp 4,7 triliun. "Utang itu rumit sekali. Intinya, petambak tidak tahu bahwa mereka dimanfaatkan," kata Kwik, yang telah tiga kali diperiksa KPK. Menurut Kepala Kampung Bumi Dipasena Jaya, Nafian Faiz, petambak memang tak pernah meminjam uang ke bank. Yang mereka tahu selama ini, pinjaman berasal dari PT Dipasena Citra. "Kami berkali-kali memprotes karena merasa tidak pernah berutang," kata Nafian.
Badan Pemeriksa Keuangan merampungkan audit investigasi atas penyaluran dan penggunaan BLBI pada Juli 2000. Dari dana Rp 144,5 triliun dana BLBI, BPK menemukan ada penyimpangan Rp 138,4 triliun. Khusus untuk BDNI, menurut audit BPK, dugaan penyalahgunaannya sebesar Rp 24,47 triliun. Dana BLBI yang mengalir ke BDNI tidak dipakai untuk menyehatkan bank. Kebanyakan malah dipakai untuk membiayai kredit atau menutup utang induk perusahaan.
Di tengah kontroversi penyimpangan dana BLBI, pada Desember 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Instruksi itu memberi kepastian hukum kepada obligor BLBI yang sudah melunasi kewajibannya. Sebanyak 20 bank masuk daftar calon penerima surat keterangan lunas (SKL). Salah satunya BDNI.
Pada 24 Maret 2004, Menteri Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi menyetujui rekomendasi Ketua KKSK Dorodjatun Kuntjoro-Jakti untuk merestrukturisasi utang Dipasena menjadi Rp 1,1 triliun. Status Sjamsul Nursalim sebagai pemilik Dipasena juga dilepas. Menurut Laksamana, keputusan KKSK tersebut diambil melalui mekanisme rapat yang ketat. "Seingat saya, ada sidang kabinet yang menghapus kewajiban petambak," katanya.
Dua hari kemudian, merujuk pada surat persetujuan Laksamana, Kepala BPPN Syafruddin Temenggung mengeluarkan surat keterangan lunas atas nama Sjamsul Nursalim. Dalam surat tertanggal 26 April 2004 itu, BPPN menyatakan semua kewajiban Sjamsul sudah lunas. PT Perusahaan Pengelola Aset Negara-yang diserahi tugas menjual aset eks BLBI-melego tambak udang Dipasena ke Central Proteina Prima Grup seharga Rp 800 miliar pada Mei 2007.
Bumi Dipasena tak putus dirundung masalah. Gesekan antara petambak dan pemilik baru terus berulang. Puncaknya, pada akhir 2011, PT Aruna Wijaya Sakti-anak usaha Central Proteina Prima-hengkang dari Bumi Dipasena. Mereka membawa semua aset perusahaan, termasuk instalasi listrik. Sejak itu, menurut Nafian Faiz, selama hampir dua tahun Bumi Dipasena seperti kota mati.
Pada 2013, pemerintah memberikan kredit bunga ringan kepada petambak Dipasena. Tujuh ribuan petambak mulai menebar benih udang dan membangun kembali desanya. "Kami ingin mengembalikan kejayaan dulu," kata Nafian. Namun kawasan itu masih jauh berbeda dengan kondisi semula. Pada malam hari seperti desa hantu, Bumi Dipasena selalu gelap-gulita.
Syailendra Persada (Jakarta), Nurrochman Arazie (Lampung)
Bank Dagang Nasional Indonesia
- Nilai utang keseluruhan: Rp 47,2 triliun.
Rincian:
- BLBI Rp 30,9 triliun
- Deposito dan pinjaman Rp 7,06 triliun
- Pinjaman kepada BI melalui guarantee scheme Rp 4,7 triliun
- LC dll Rp 4,6 triliun
- Aset BDNI pengurang utang: Rp 18,9 triliun.
Rincian:
- Kas Rp 1,3 triliun
- Pinjaman kepada petambak udang melalui PT Dipasena Rp 4,8 triliun (belakangan ini yang bermasalah dan disidik KPK)
- Aktiva tetap dan penyertaan Rp 4,6 triliun
- Pinjaman pihak ketiga dan aktiva lainnya Rp 8,15 triliun
- Sisa utang Rp 28,49 triliun diselesaikan dengan penyerahan aset perusahaan (MSAA).
Rincian:
- Uang tunai Rp 1 triliun
- Aset Rp 27,4 triliun, terdiri atas:
* Gajah Tunggal Petrochem US$ 344 juta
* Filamindo Sakti US$ 87 juta
* Sentra Sentetika US$ 52,7 juta
* Grup Gajah Tunggal US$ 176,3 juta
* Meshindo Alloy US$ 14,8 juta
* Langgeng Baja Pratama US$ 5,3 juta
* Dipasena US$ 1,802 miliar
* Total US$ 2,482 miliar atau setara
dengan Rp 27,495 triliun (kurs Rp 11.075)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo