Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GELAR perkara pada Selasa pekan ketiga Maret lalu menjadi awal dari babak baru pengusutan dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Setelah pemaparan selama satu jam, di ruang rapat lantai 15 gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, pemimpin dan penyidik KPK sepakat menaikkan kasus yang diusut sejak lima tahun lalu ini ke tahap penyidikan.
Menurut seorang peserta gelar perkara, di samping hasil pemeriksaan 32 saksi dan setumpuk dokumen, catatan aliran dana untuk sejumlah penyelenggara negara pun dibuka. Hampir tanpa perdebatan, peserta rapat sepakat menjadikan Syafruddin Arsyad Temenggung, bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebagai tersangka. Sore harinya, KPK mengajukan permohonan pencekalan Syafruddin ke kantor Imigrasi.
Pimpinan KPK baru membuka perkembangan pengusutan kasus BLBI sebulan kemudian. Selasa pekan lalu, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengumumkan status tersangka Syafruddin. Dia disangka menyalahgunakan wewenang karena menerbitkan surat keterangan lunas (SKL) untuk Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), pada 26 April 2004.
Karena surat itu, Sjamsul dianggap sudah membayar sisa utang BLBI senilai Rp 4,8 triliun. Padahal, setelah ditelusuri penyidik KPK, Sjamsul belum menyetor sebagian besar sisa utangnya, sekitar Rp 3,7 triliun. "Sehingga ada indikasi kerugian negara dari kewajiban yang tidak dibayarkan tersebut," kata Basaria.
BDNI merupakan satu dari 48 bank sekarat yang mendapat suntikan dana BLBI senilai total Rp 144,5 triliun ketika krisis moneter melanda Indonesia pada 1997-1998. Mendapat kucuran dana Rp 30,9 triliun, BDNI hanya sanggup mengembalikan sebagian kecil dana BLBI. Untuk melunasi sisa utangnya, Sjamsul menyerahkan duit Rp 1 triliun dan 12 perusahaan pribadinya yang ditaksir bernilai Rp 22,65 triliun. Sjamsul masih punya tunggakan Rp 4,8 triliun.
Sjamsul berjanji membayar sisa utang Rp 4,8 triliun dengan hak tagih atas petani tambak udang di Bumi Dipasena Utama, Tulangbawang, Lampung. Ternyata, setelah dihitung ulang BPPN, hak tagih yang bisa ditarik hanya Rp 1,1 triliun. Beberapa kali bertemu dengan BPPN, Sjamsul selalu mengklaim sudah melunasi utangnya. Adapun sisa Rp 3,7 triliun, menurut dia, merupakan kewajiban petani tambak.
Karena tak ada kata sepakat, BPPN sempat berencana membawa masalah itu ke jalur hukum. Namun rencana tersebut buyar setelah Syafruddin memimpin BPPN pada April 2002. Dengan alasan sisa utang Rp 3,7 triliun tak bisa ditagih lagi, Syafruddin malah mengajukan restrukturisasi kewajiban BDNI. "Tersangka mengusulkan restrukturisasi kewajiban penyerahan aset ke BPPN," ujar Basaria.
Setelah menetapkan Syafruddin sebagai tersangka, sampai pekan lalu penyidik sudah memanggil tiga saksi. Mereka adalah Rizal Ramli, Menteri Koordinator Perekonomian periode 2000-2001; Kwik Kian Gie, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional 1999-2000; dan Artalyta Suryani alias Ayin, orang kepercayaan Sjamsul.
Rizal dan Kwik, karena jabatannya di kabinet, menjadi ketua dan anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie membentuk KKSK sebagai pengarah dan pengawas BPPN. Dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian, komite ini beranggotakan empat menteri, termasuk Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.
Adapun Ayin merupakan terpidana kasus penyuapan Urip Tri Gunawan, jaksa pemimpin tim pengusutan perkara BLBI di Kejaksaan Agung. Penyidik KPK menangkap Urip setelah menerima uang suap US$ 660 ribu dari Ayin pada Maret 2008. Sebagian bukti dan kesaksian dalam perkara Ayin menjadi bahan awal KPK untuk mengusut surat keterangan lunas yang diteken Syafruddin.
Dari ketiga orang itu, hanya Kwik yang memenuhi panggilan pemeriksaan. Menurut Kwik, penyidik mencecar dia soal surat keterangan lunas yang dikeluarkan Syafruddin. Kwik pun mengaku, kepadanya ditunjukkan beberapa bukti penting skandal dana BLBI. "Itu semua ada catatannya di KPK. Ditunjukkan kepada saya, panjangnya sampai 1,5 meter," ujarnya.
Syafruddin mengeluarkan surat keterangan lunas untuk Sjamsul setelah berkoordinasi dengan KKSK dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Penerbitan surat keterangan lunas itu mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Aturan yang diteken Presiden Megawati Soekarnoputri pada 30 Desember 2002 ini mengatur jaminan kepastian hukum untuk debitor yang menyelesaikan kewajiban utang BLBI.
Syafruddin sejauh ini belum bisa dimintai komentar. Kamis pekan lalu, Tempo mengirim permohonan wawancara ke kantor Syafruddin di lantai 23 Menara Sudirman, Jakarta Selatan. Namun surat itu belum dibalas. Tempo juga menyampaikan permohonan wawancara lewat orang dekat Syafruddin. "Bapak masih syok, kasus lama diungkap lagi," kata orang dekat Syafruddin yang menolak disebutkan namanya.
Sebelumnya, dalam beberapa kesempatan wawancara dengan majalah ini, Syafruddin mengatakan semua keputusan yang dia ambil ketika memimpin BPPN sudah sesuai dengan aturan. Ia pun mengambil keputusan tanpa tekanan dari siapa pun. "Konsekuensi apa pun saya akan terima," kata Syafruddin kala itu.
Laporan kasus BLBI masuk ke KPK pada 2008. Namun laporan lama terparkir di Bagian Pengaduan. Laporan baru diusut serius ketika Abraham Samad memimpin lembaga antikorupsi itu. Abraham membentuk satuan tugas beranggotakan penyidik senior yang memahami kejahatan perbankan. Sebagian dari mereka terlibat dalam investigasi kasus bailout Bank Century. Tim bentukan Abraham mulai bekerja pada 2012.
Menurut seorang petinggi KPK, pada tahun pertama, tim mengumpulkan bahan dan meminta keterangan sejumlah pihak. Sampai 2014, sedikitnya 32 orang telah dimintai keterangan. Mereka antara lain dari pegawai bank, BPPN, dan Komite Kebijakan Sektor Keuangan. "Kala itu fokusnya pengusaha atau pemilik bank penerima BLBI," katanya.
Karena perkara BLBI terlalu rumit dan waktu kejadiannya sudah lampau, penyidik KPK berkonsentrasi mengusut penerbitan surat keterangan lunas untuk sejumlah debitor. Wakil Ketua KPK saat itu, Bambang Widjojanto, mengibaratkan strategi pengusutan kasus BLBI seperti orang memakan bubur panas. "Dari pinggir dulu, baru ke tengah," ujarnya.
Pada pertengahan 2014, Abraham pernah mengatakan akan memeriksa Megawati jika penyidik memerlukan keterangannya. Tapi pemeriksaan Megawati tak pernah terjadi. Pada masa Abraham, tim KPK hanya berkutat di level penyelidikan. "Kami harus hati-hati karena kasus ini pernah ditangani penegak hukum lain," kata Bambang.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung juga pernah mengusut kasus BLBI. Kejaksaan bahkan sudah menetapkan sejumlah tersangka, termasuk Sjamsul Nursalim. Namun, karena pada 2004 sebagian obligor mendapat surat keterangan lunas, kejaksaan menghentikan pengusutan.
Penyelidikan kasus BLBI mulai menemukan titik terang pada akhir 2014. Dari keterangan sejumlah saksi, menurut seorang pegawai KPK, muncul nama Lusiana Yanti Hanafiah. Berdasarkan dokumen dan keterangan saksi, perempuan kelahiran Medan 51 tahun lalu itu diduga merupakan "kasir" Sjamsul Nursalim.
Tim KPK sudah mengantongi catatan keuangan Lusiana, yang menunjukkan aliran duit ratusan ribu dolar Amerika Serikat untuk sejumlah pejabat negara. Di samping aliran dana, ada catatan pemberian tanah untuk pejabat yang membantu Sjamsul. "Catatan itu menjadi petunjuk penting," ujar sang pegawai.
Meski begitu, tim KPK belum menyentuh Lusiana. Pada 4 Desember 2014, KPK meminta Imigrasi mencegah dia bepergian ke luar negeri. Menurut juru bicara KPK ketika itu, Johan Budi S.P., pencegahan Lusiana berkaitan dengan kasus dugaan pemberian sesuatu kepada penyelenggara negara, termasuk perizinan pemanfaatan lahan. "Dia saksi penting," kata Johan. Pencekalan Lusiana berakhir enam bulan kemudian.
Sjamsul Nursalim kini menetap di Singapura sejak 2002. Menurut pengacaranya, Maqdir Ismail, Lusiana merupakan pegawai administrasi di perusahaan kliennya. Namun Maqdir mengaku tidak tahu peran Lusiana yang disebut "juru bayar" Sjamsul. "Saya tak memiliki pengetahuan soal itu," ucapnya. Ia menilai penerbitan keterangan lunas utang BLBI untuk Sjamsul tidak bermasalah. "Semestinya sudah selesai," ujarnya.
Kamis pekan lalu, Tempo menyambangi alamat rumah Lusiana seperti tercantum di surat konfirmasi pencekalannya, yakni di Perumahan Permata Buana, Kembangan Utara, Jakarta Barat. Ternyata rumah itu kosong. Menurut ketua rukun tetangga setempat, Dedi, rumah itu sudah dua tahun ditinggalkan penghuninya. "Nama penghuninya saya pastikan bukan Lusiana," katanya.
Pengusutan kasus BLBI mengendur ketika dua pemimpin KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, menjadi tersangka di Kepolisian RI pada awal 2015. Kala itu KPK tengah menyidik kasus dugaan korupsi rekening gendut, dengan tersangka Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian RI Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Belakangan, kasus Budi Gunawan dilimpahkan ke kepolisian, lalu dihentikan atas dasar putusan praperadilan. Kasus Abraham dan Bambang memang tidak dilanjutkan. Tapi keduanya telanjur diberhentikan dari KPK. Posisi mereka diisi pelaksana tugas pimpinan KPK.
Pada pertengahan Desember 2015, dua pekan sebelum masa tugas pimpinan KPK periode ketiga berakhir, pelaksana tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki memimpin gelar perkara kasus-kasus lawas. Salah satunya kasus penyelesaian BLBI. Menurut seorang pejabat KPK, arah pengusutan perkara BLBI di era Ruki bergeser. Semula sasarannya debitor kakap. Belakangan, targetnya menjadi penyelenggara negara. "Dari penyelenggara negara nanti akan masuk ke swastanya," kata petinggi KPK ini.
Seorang peserta gelar perkara itu menuturkan, pimpinan KPK bulat menyetujui kasus surat keterangan lunas BDNI naik ke tahap penyidikan. Tiga orang disebut sebagai calon tersangka. Mereka adalah Sjamsul Nursalim, Syafruddin Temenggung, dan Laksamana Sukardi. Nama terakhir merupakan Menteri Negara BUMN ketika BPPN memproses surat keterangan lunas untuk Sjamsul.
Sejak Agustus 2001, pengawasan atas BPPN beralih dari Kementerian Keuangan ke Kementerian BUMN. "Menteri Negara BUMN ketika itu sangat berperan penting," kata Kwik Kian Gie. Pada 24 Maret 2004, Laksamana yang menyetujui restrukturisasi utang Dipasena menjadi Rp 1,1 triliun. Dua hari kemudian, merujuk pada surat persetujuan Laksamana, Syafruddin meneken surat keterangan lunas utang BDNI, tanpa membahas lagi sisa utang Sjamsul senilai Rp 3,7 triliun.
Menurut seorang penegak hukum, Syafruddin dan Laksamana waktu itu hampir dijerat dengan pasal penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum. "Sedangkan Sjamsul menjadi pihak yang diuntungkan," ujarnya. Salah satu pelaksana tugas pemimpin KPK ketika itu, Indriyanto Seno Adji, tidak membenarkan atau membantah cerita ini. "Saya agak kesupen (lupa)," katanya.
Laksamana membantah informasi bahwa dia menekan Syafruddin untuk menerbitkan surat keterangan lunas bagi Sjamsul. Alasannya, posisi dia setara dengan anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan yang lain. Laksamana juga mengaku tak mengenal Lusiana. "Saya tak kenal nama itu," ujar Laksamana seraya menegaskan tak pernah mendapat keuntungan pribadi dari kasus BLBI.
Meski kasus BLBI sempat tenggelam, tim satuan tugas KPK tak mau hasil kerja mereka masuk kotak begitu saja. Karena itu, tak lama setelah Agus Rahardjo resmi memimpin KPK, mereka mengajukan penerbitan surat perintah penyidikan. Tapi, menurut seorang anggota tim, pimpinan baru meminta kasus BLBI "diendapkan" dulu.
Setelah 15 bulan berjalan, awal Maret lalu, pimpinan baru KPK menanyakan perkembangan kasus BLBI dan meminta gelar perkara. Dari tiga nama yang disebut tim satuan tugas, hanya Syafruddin yang akhirnya menjadi tersangka. Ketua KPK Agus Rahardjo menolak berkomentar mengenai hal ini. "Kalau BLBI, saya tak ada komentar," katanya. Basaria Panjaitan pun belakangan irit bicara. "Saya belum dengar itu," ujarnya.
Anton Aprianto, Linda Trianita, Syailendra Persada
Lika-Liku Bantuan Likuiditas
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menggerus begitu banyak uang negara. Bank sentral mengucurkan dana sekitar Rp 574 triliun untuk menghentikan rush dan menyelamatkan 48 bank sekarat ketika Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997-1998. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas Rp 144,5 triliun dana BLBI, sekitar Rp 138,4 triliun menjadi kerugian negara.
1997
3 September
Presiden Soeharto menyetujui pengucuran kredit likuiditas untuk menolong bank-bank yang sekarat. Kredit ini disebut BLBI.
31 September
Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan hasil evaluasi dan merekomendasikan pemerintah menutup bank-bank yang keropos.
1 November
Atas saran IMF, pemerintah menutup 16 bank.
3 November
Bank-bank yang tidak ditutup dilanda rush. Terjadi penarikan uang secara massal.
31 Desember
Bank Indonesia mengucurkan dana Rp 54,9 triliun untuk bank bermasalah.
1998
26 Januari
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Program Penjaminan terbit.
27 Januari
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) didirikan. Tugas penagihan utang BLBI dialihkan ke BPPN.
31 Maret
Pemerintah menambah kucuran BLBI menjadi Rp 116,5 triliun.
4 April
Pemerintah melakukan likuidasi tahap II: 7 bank dibekukan (bank beku operasi; 7 bank lainnya diambil alih/bank take over).
10 April
Menteri Keuangan mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN dengan tenggat 22 April 1998.
26 Juni
Bantuan likuiditas BI mengucur lagi hingga mencapai Rp 132 triliun.
30 Agustus
Kucuran BLBI melambung hingga Rp 140 triliun.
10 November
Pengembalian BLBI ditetapkan empat tahun. Jumlah utang Rp 111,29 triliun.
30 Desember
Departemen Keuangan dan Bank Indonesia menghitung ulang BLBI. Jumlah akhirnya disepakati Rp144,5 triliun dengan total penerima 48 bank.
1999
6 Februari
BI dan Menteri Keuangan membuat perjanjian pengalihan hak tagih (on cessie) BLBI dari bank sentral kepada pemerintah senilai Rp 144,53 triliun.
13 Maret
Atas rekomendasi IMF, pemerintah membekukan 38 bank. Pemerintah menerbitkan surat utang (obligasi rekap) senilai Rp 430 triliun untuk membantu kecukupan modal bank yang tidak ditutup. Sampai jatuh tempo, total bunga obligasi rekap diperkirakan sekitar Rp 600 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo