BARA di Maluku panasnya sampai Jakarta. Itulah yang terjadi dalam politik Indonesia sepekan terakhir. Presiden Abdurrahman Wahid untuk kesekian kalinya melontarkan tuduhan yang sulit diklarifikasi kebenarannya. Kata dia, sejumlah orang berduit dari Jakarta telah membiayai kerusuhan Maluku dengan tujuan menggoyang stabilitas nasional serta kelangsungan pemerintahannya.
Pernyataan Presiden itu disampaikannya dalam dialog dengan masyarakat di Masjid Jami Al-Munawaroh, Ciganjur, selepas salat Jumat, dua pekan lalu. Tapi, seperti biasa, Presiden tidak menyebut nama. "Tidak enak habis salat menyebut nama orang," katanya.
Sinyalemen Presiden ini diamini Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono. Juwono, yang sebelumnya lebih banyak kalem, bahkan menyebut ciri yang lebih spesifik, tapi dengan motif yang berbeda. Menurut Juwono, penyandang dana rusuh Maluku itu adalah seorang bekas menteri dalam kabinet Soeharto dan Habibie. Motifnya adalah mengacaukan perhatian publik setiap kali pemeriksaan terhadap kasus Soeharto dilakukan kejaksaan. "Mereka tidak ingin terseret-seret jika kasus Soeharto terungkap," katanya. Informasi ini, kata dia, diperoleh dari intelijen TNI.
Siapa tokoh itu? Juwono cuma tersenyum. Orang dimintanya menebak dari nama-nama berikut ini yang terlibat dalam dua kabinet sekaligus: Akbar Tandjung, Ali Alatas, Ginandjar Kartasasmita, Hartarto, Haryono Suyono, Wiranto, Justika Baharsjah, dan Juwono Sudarsono sendiri.
Aroma intrik yang tak sedap segera meruap. Sejumlah kiai NU yang dimintai keterangan oleh TEMPO membenarkan bahwa soal "orang berduit" itu banyak dibicarakan di kalangan mereka. "Saya memang mendengar informasi itu, tapi tidak dari Gus Dur," kata K.H. Nur Muhammad Iskandar S.Q., salah seorang ulama NU.
Belum lagi sinyalemen ini jelas, isu lain meluncur. Kali ini, dikabarkan, Presiden akan menangkap sejumlah tokoh karena mereka terlibat berbagai kerusuhan dan berniat merontokkan kekuasaannya dalam sidang tahunan MPR Agustus nanti. Harian Republika menulis sejumlah tokoh yang tengah diincar: Fuad Bawazier, Ginandjar Kartasasmita, Adi Sasono, Mar'ie Muhammad, dan Arifin Panigoro.
Seorang menteri dalam kabinet Abdurrahman Wahid membenarkan soal niat Presiden itu. Tapi dia tak pernah mendengar Presiden menyebut nama. Lalu, dari mana daftar nama itu muncul? Nama Ketua Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN) Sofjan Wanandi disebut. Dalam rapat asistensi DPUN, Senin pekan lalu, Sofjan disebut-sebut telah merekomendasikan penangkapan tersebut. Tapi Sofjan membantah dirinya telah menjadi pembisik Abdurrahman. Ia merasa telah difitnah.
Siapa memfitnah? Seorang teman dekat Sofjan di Center for Strategic and International Studies (CSIS) menduga ada permainan kotor di situ. Tudingannya ditujukan kepada Fuad Bawazier. Menurut sumber itu, Fuad memang sedang dibidik Presiden Abdurrahman karena dianggap sebagai otak di balik upaya menggoyang Presiden dalam sidang tahunan MPR Agustus depan. Sebelum bidikan itu mengena, menurut sumber tadi, Fuad membelokkan peluru ke arah Sofjan.
Fuad sendiri menganggap semua tuduhan itu, termasuk tuduhan memfitnah Sofjan, sebagai fitnah belaka.
Presiden Abdurrahman Wahid sendiri, di depan seminar "Forum Rembug Nasional", Sabtu lalu, memang mengaku telah meneken surat izin polisi untuk memeriksa sejumlah anggota MPR/DPR. Pernyataan ini disampaikannya dalam konteks adanya sejumlah orang yang, menurut dia, terus-menerus merongrong legitimasi pemerintahannya. Namun, Presiden menambahkan, tokoh-tokoh itu terlibat dalam kasus korupsi. Sudah pasti, Presiden tidak menyebut nama.
Begitulah. Isu, gosip, dan intrik menodai secara parah pemerintahan Abdurrahman Wahid, yang belum lagi setahun. Membiayai kerusuhan, menghalangi pemeriksaan Soeharto, dan melakukan korupsi adalah perbuatan kriminal yang sangat serius. Jika Presiden serius dengan tuduhannya, bukankah dia harus memerintahkan pengusutan tanpa mempedulikan apakah orang yang dituding itu mendukung atau melakukan oposisi terhadap pemerintahannya?
Di tangan Abdurrahman Wahid, penegakan hukum cenderung dikorbankan di altar pertarungan politik. Itu tak akan pernah membantu negeri ini memberantas korupsi, tidak pula membantu menyelesaikan konflik berdarah di Maluku.
AZ, Endah W.S., Adi Prasetya, Dewi Rina C.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini