Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sulit dibuktikan bahwa adegan kekerasan di layar televisi itu menular kepada pemirsa. Tapi Ketua Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Gunarto, bertahan pada penelitian Dr. Leonard Eron dan Dr. Rowell Huesmann dari University of Michigan. Penelitian itu menunjukkan: anak yang menghabiskan banyak waktu di depan televisi cenderung lebih agresif, bisa terdorong melakukan hal yang sama seperti yang dilihat di televisi. Padahal, di Indonesia, kata Gunarto, anak-anak menonton televisi 35 jam per minggu. Berarti setiap hari anak-anak menonton televisi selama lima jam
Mengukur sebuah sinetron yang mengandung adegan kekerasan layak tayang memang tidak mudah. Teguh Juwarno, Kepala Hubungan Masyarakat RCTI, melukiskan batas kelayakan itu merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak: rumah produksi, stasiun televisi, Lembaga Sensor Film, dan masyarakat. Sejak 14 Oktober tahun lalu, RCTI membuat sendiri sensor internal. "Memang tidak jauh berbeda dengan aturan Lembaga Sensor Film, tetapi lebih rinci," katanya. Ia memberi contoh, sebuah klip video Nafa Urbach terpaksa tidak lolos sensor, padahal Lembaga Sensor Film sudah meloloskannya.
Sensor internal itu berisi 19 poin standar umum etika siaran. Di antaranya tentang kejahatan, kekerasan, seks bebas, sesuatu yang menimbulkan kerusakan rumah tangga, SARA, perjudian, ketamakan, keegoisan, penindasan terhadap sesama, takhayul dan kepercayaan, penampilan wadam atau waria. "Kekerasan yang tidak pada tempatnya atau berlebihan tidak diperkenankan. Program yang berisi kekerasan harus menyertakan sisi buruknya."
Meski telah memiliki aturan tertulis secara internal, kata Teguh, RCTI selalu terbuka menerima kritik dan saran dari masyarakat. Dia memberi contoh, gara-gara protes dari masyarakat, sejak Mei lalu stasiun televisi ini telah menghapus program berbau mistis. "Kami menyadari, dampak tayangan itu tidak baik, semacam pembodohan," ujar Teguh.
Aturan semacam juga dimiliki SCTV. Namun, tidak dibuat secara khusus. "Secara formal kami mengacu ke Lembaga Sensor Film. Tetapi, sejak ada KPI, kami juga menambahkan input dari KPI," kata Haryanto dari Bagian Humas SCTV. Aturan itu memang tidak kaku, kata Haryanto. "Kami menyadari bahwa karakter televisi berbeda dengan bioskop. Rujukan pemirsa kami jadikan yurisprudensi," ujarnya.
Secara umum, sensor memang telah dilakukan Lembaga Sensor Film. Sayangnya, filter itu hanya berdasar tampilan fisik semata. Garin Nugroho menyebut, televisi bukan ruang hampa. Akting visual dengan kekerasan simbolis, tanpa memperhatikan dramaturgi, lebih berbahaya.
L.N. Idayanie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo