Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebagian negara berhasil mengatasi pandemi Covid-19 sejak dini, tapi sebagian yang lain belum.
Negara yang berhasil umumnya karena memang siap menghadapi pandemi dan punya kebijakan yang tepat.
Kunci keberhasilan dalam menghadapi pandemi ada pada pelayanan kesehatan primer.
Akmal Taher*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANDEMI Covid-19 yang sudah berlangsung sebelas bulan menunjukkan bagaimana sebagian negara berhasil mengatasi penyebaran virus sejak dini, tapi sebagian yang lain masih berkutat pada penanganan kasus yang terus meningkat. Negara-negara itu berhasil mengatasinya karena mereka memang siap menghadapi pandemi dan punya respons berupa kebijakan yang tepat dan implementasi kebijakan yang efektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sisi kegawat-daruratan kesehatan, kesiapan sebuah negara dalam menghadapi wabah dijelaskan dengan lengkap dalam International Health Regulation (IHR) (WHO, 2005). Kesiapan negara diukur melalui beberapa indikator. Salah satunya kekuatan sistem kesehatan nasional setiap negara. Instrumen penilaian kesiapan negara dalam IHR dan kemudian dalam mekanisme evaluasi eksternal bersama diharapkan bisa mengukur siap-tidaknya sebuah negara bila sewaktu-waktu sebuah penyakit mewabah.
Berdasarkan penilaian evaluasi tersebut, negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, pada 2017 berada di urutan teratas dalam hal kesiapan negara menghadapi wabah. Walaupun demikian, karena kebijakan ataupun implementasi yang tidak tepat, kita bisa melihat bagaimana tingginya angka infeksi dan kematian karena Covid-19 di Amerika disertai dampak ekonomi yang luar biasa.
Sementara itu, beberapa negara memiliki hasil evaluasi eksternal yang tidak berada di peringkat teratas, tapi kemudian bisa mengatasi pandemi dengan baik melalui sistem kesehatan yang kuat dan pengambilan keputusan yang tepat. Contohnya negara seperti Korea Selatan, Vietnam, dan Thailand yang dengan cepat mengaktifkan dan menghubungkan kebijakan nasional dengan sistem kesehatan.
Banyak negara yang membentuk lembaga ad hoc yang berfungsi memudahkan koordinasi, mempercepat pengambilan kebijakan, dan memutuskan strategi implementasi, seperti Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di Indonesia. Namun, apa pun yang diputuskan lembaga ad hoc ini, penerapannya bergantung pada seberapa siap sistem kesehatan bisa melayani dan mengajak masyarakat sampai ke tingkat paling bawah. Hal ini terjadi karena perubahan perilaku masyarakat merupakan salah satu kunci penting keberhasilan dalam menghadapi pandemi.
Inilah yang sejak 40 tahun yang lalu disebut sebagai pelayanan kesehatan primer atau primary health care (PHC), yaitu sistem kesehatan yang mengutamakan pelayanan kedokteran dasar dan kesehatan masyarakat, keterlibatan lintas sektor, serta pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.
Di tingkat operasional, PHC dilakukan oleh pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan fasilitas kesehatan lain di tingkat primer yang berkolaborasi dengan upaya kesehatan berbasis masyarakat yang tecermin pada aktifnya kader kesehatan. Laporan dari berbagai negara memperlihatkan bahwa dampak penguatan PHC berupa perbaikan faktor risiko penyakit tidak menular ataupun penyakit menular.
Saat pandemi datang, profil kesehatan Indonesia sesungguhnya sudah cukup bermasalah. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013-2018 menunjukkan jumlah orang dengan penyakit tidak menular (stroke, penyakit kardiovaskuler, diabetes kanker, ginjal,) terus meningkat. Lebih dari itu, faktor risiko penyakit, seperti jumlah perokok, obesitas, kurangnya konsumsi sayur dan buah, serta aktivitas fisik masyarakat yang menurun, merupakan bukti bahwa sistem kesehatan tidak berhasil melakukan usaha pencegahan dan pengendalian penyakit serta faktor risikonya. Hal ini diperkuat data dari Global Burden of Disease (GBD) Studies (IHME, 2019) yang menampilkan dashboard penyakit penyebab tingkat kesakitan dan kematian tertinggi di Indonesia adalah penyakit dalam kategori tidak menular. Adapun penyakit infeksi (infeksi saluran pernapasan atas, diare, tuberkulosis) juga masih menjadi ancaman kesehatan populasi (Riskesdas 2018 dan GBD 2019). Hal tersebut jelas menunjukkan kelemahan PHC di negara kita.
Bandingkan profil kesehatan Indonesia dengan kondisi di Thailand dan Vietnam. Sejak sebelum pandemi, kedua negara ini telah mempunyai ukuran kesehatan masyarakat yang kuat. Sebagai indikator, laporan WHO pada 2017 menyatakan angka kematian ibu di Thailand adalah 37 per 100 ribu kelahiran hidup. Bandingkan dengan angka di Indonesia: 305 kematian ibu per 100 ribu kelahiran hidup. Keberhasilan Thailand dalam menangani pandemi Covid-19 dapat dilihat dari angka total kasus sebesar 4.000 orang dengan angka kematian 60 orang. Sedangkan akumulasi jumlah kasus baru di Indonesia telah menembus 700 ribu dengan 24 ribu kematian. Pemerintah Thailand menyatakan faktor kunci keberhasilan mereka adalah 10 ribu fasilitas kesehatan di tingkat primer yang bersifat komplementer terhadap sejuta kader kesehatan yang sudah sejak sebelum pandemi bekerja menjaga kesehatan masyarakat di tingkat komunitas.
Situasi sebaliknya terjadi di Indonesia sehingga bisa dipahami bahwa ketidaksiapan sistem kesehatan dan infrastruktur layanan kesehatan primer berdampak pada belum optimalnya pencegahan dan pemutusan rantai penularan Covid-19. Protokol memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan (3M) yang mendorong perubahan perilaku serta tracing, treatment, dan testing (3T) masih jauh dari target yang harus dicapai. Selain itu, layanan kesehatan esensial lain, seperti pemantauan status gizi, penyakit kronis, dan imunisasi rutin, terganggu. Rumah sakit kebanjiran pasien hingga berujung pada meningkatnya jumlah pasien meninggal.
Vaksinasi Covid-19 yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat menjanjikan terjadinya herd immunity yang diikuti menurunnya angka infeksi serta kembalinya kehidupan normal. Proses ini memakan waktu setidaknya satu-dua tahun. Selama masa itu, yang harus ditangani bukan hanya problem Covid-19, tapi juga perbaikan gangguan layanan kesehatan esensial beserta dampak ikutan berupa masalah stunting, penyakit tidak menular, tuberkulosis, dan lainnya.
Keberhasilan kita keluar dari pandemi Covid-19 tidak hanya bergantung pada keberhasilan menghentikan penyebaran virus, tapi juga memastikan kita tidak kembali ke profil kesehatan populasi yang tidak terselesaikan sebelum pandemi. Untuk mencapainya, beberapa hal berikut ini harus diperhatikan.
Pertama, kesiapan nasional dalam menghadapi pandemi menuntut komitmen politik yang didukung perbaikan dan bahkan reformasi dalam sistem kesehatan nasional dengan prioritas pada pelayanan kesehatan primer. Kedua, memperkuat komitmen politik menjadi kebijakan yang mampu dilaksanakan. Dasar kebijakan ini sebenarnya telah tecermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, tapi membutuhkan alokasi anggaran yang memadai. Deklarasi Politik UHC (WHO, 2018) menuliskan, 1 persen dari produk domestik bruto hendaknya dialokasikan ke pelayanan kesehatan primer.
Ketiga, pendekatan berbasis multisektor dijalankan dengan konsisten dan berkelanjutan agar bisa terbangun rasa kepemilikan dan kepatuhan publik untuk menjalankan protokol kesehatan. Keempat, dibutuhkan kesadaran bahwa ada keterkaitan dalam berbagai kebijakan di sektor yang berbeda. Sebagai contoh, adanya determinan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang berpengaruh kuat pada status kesehatan. Apabila hal ini terbangun dengan baik, koordinasi lintas kementerian tidak lagi menjadi hal yang sulit dikerjakan.
Masih panjang jalan yang harus ditempuh agar Indonesia dapat keluar dengan selamat dari pandemi Covid-19. Sejatinya, penguatan puskesmas dapat menjadi titik awal menuju pelayanan kesehatan primer yang lebih baik.
*) Guru besar urologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo