Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lin Che Wei, CFA
Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang menyatakan kelompok usaha Temasek melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah menjadi perhatian international. Sebagai warga negara yang taat dengan hukum, kita harus menghormati keputusan lembaga hukum seperti KPPU. Namun, sebagai insan masyarakat yang mempunyai akal sehat, kita juga mempunyai hak untuk mempertanyakan dasar pikiran yang melandasi suatu keputusan, terutama apabila keputusan itu berpotensi memicu debat publik karena mungkin bertentangan dengan kaidah-kaidah bisnis universal. Sebagai analis yang mengikuti secara saksama keputusan KPPU, ada delapan pertanyaan yang sangat menggelitik saya.
Pertama, mengapa keputusan KPPU tampaknya seperti mendukung niat beberapa pejabat pemerintah RI untuk melakukan buy-back saham Indosat?
Keinginan dari beberapa pejabat pemerintah untuk melakukan buy-back saham Indosat telah dikemukakan beberapa kali kepada Singapore Technology Telemedia dan Temasek. Apabila tidak hati-hati, KPPU dapat dianggap oleh dunia usaha ikut campur tangan dalam mendukung niat beberapa pejabat tersebut untuk melakukan buy-back. Reputasi KPPU dan Indonesia sangatlah dipertaruhkan. Apabila yang dikhawatirkan oleh KPPU adalah masalah perlindungan konsumen, masih ada regulatory measure lain yang dapat dipakai.
Kedua, mengapa KPPU hanya menghukum Temasek, padahal posisi Kementerian Negara BUMN sama dengan Temasek?
Dari struktur kepemilikan, Kementerian BUMN juga memiliki cross-ownership. Mengapa KPPU mengecualikan Kementerian Negara BUMN? Hal ini bertentangan dengan apa yang ditulis oleh KPPU sendiri, yang menyebutkan KPPU berdasarkan prinsip independensi tidak memihak siapa pun karena peran KPPU sebagai pengemban amanat pengawasan terhadap pelaksanaan UU Nomor 5/1999.
Ketiga, mengapa KPPU memberikan pengecualian kepada Kementerian Negara BUMN, padahal sektor telekomunikasi, terutama industri seluler, adalah sektor di mana pemerintah tidak lagi dikecualikan dalam hal melakukan monopoli?
Sebagai akibatnya, tidak ada cukup alasan bagi KPPU untuk tidak meminta pertanggungjawaban pemerintah sebagai pemegang saham.
Keempat, mengapa KPPU menyebutkan SingTel adalah pemilik saham mayoritas, padahal perusahaan itu hanya memiliki 35 persen saham? PT Telkom adalah pemilik saham mayoritas (65 persen) di PT Telkomsel.
Pasal 27 huruf a UU Nomor 5/1999 menyatakan, ”... Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis....” Ada beberapa interpretasi yang beragam tentang definisi kepemilikan mayoritas. Apabila perusahaan itu perusahaan publik (Indosat), perusahaan itu tunduk dalam definisi kepemilikan saham mayoritas yang diatur oleh Bapepam dan UU Perseroan Terbatas. Sedangkan Telkomsel, yang notabene bukan perusahaan publik, terikat dengan definisi kepemilikan mayoritas yang diatur UU Perseroan Terbatas. Definisi pemilikan saham mayoritas apa yang dipakai oleh KPPU?
Kelima, apakah KPPU sadar bahwa keputusannya secara implisit menyatakan Menteri Komunikasi dan Informatika serta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia telah gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator?
Tarif seluler sebelumnya tidak diatur oleh regulator, sehingga diserahkan ke dalam mekanisme pasar. Pengaturan tarif merupakan wewenang dari Menteri Komunikasi dan Informatika serta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia. Pemerintah baru akan mengatur tarif seluler melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 12/Per/M.KOMINF/02/2006 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Perubahan Jasa Telepon Dasar Jaringan Bergerak Selular.
Keenam, mengapa setelah lima tahun KPPU baru bertindak?
Jawaban dari KPPU tentang hal ini masih sangat sumir dan kurang dapat dijelaskan secara sistematis. Tudingan dan konspirasi teori sedemikian merebak sejalan dengan kenyataan bahwa KPPU melandaskan putusannya pada hasil studi yang dilakukan sebuah lembaga penelitian yang didanai oleh PR company dari satu pihak yang berminat membeli saham Temasek di Indosat.
Ketujuh, apakah logika bahwa dengan mendapatkan profit yang tinggi, perusahaan secara otomatis merugikan konsumen?
Tujuan semua persero adalah memaksimasi keuntungan. Telkom dan anak perusahaannya, PT Telkomsel, didirikan dengan tujuan memaksimasi keuntungan. Konsep KPPU yang menetapkan adanya standar keuntungan yang pantas merupakan konsep yang jelas bertentangan dengan hakikat perusahaan persero yang bertujuan mencari profit. Logika KPPU bahwa PT Telkomsel mendapatkan keuntungan yang jauh lebih tinggi dari perusahaan sejenis dan sebagai konsekuensinya perusahaan telah merugikan masyarakat sangat sulit dimengerti. Perusahaan tidak dapat dikatakan memeras masyarakat karena value-added bukanlah zero-sum game, perusahaan yang mempunyai keuntungan tinggi tidak serta-merta dapat dikatakan merugikan masyarakat. Justru BUMN yang tidak menciptakan profit atau value kepada pemegang saham yang merugikan negara. Banyak perusahaan di dunia, seperti Apple Computer dan Microsoft, mendapat keuntungan yang sangat tinggi karena konsumen secara sukarela menikmati manfaatnya—dalam bahasa ekonomis disebut sebagai consumer surplus.
Kedelapan, apakah KPPU sadar akan dampak keputusannya yang dapat merugikan PT Telkom yang notabene adalah perusahaan terbesar milik Republik Indonesia?
Semoga KPPU dapat memberikan jawaban yang memuaskan dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Jangan sampai tumbuh kesan di kalangan investor bahwa Indonesia memakai peranan regulator untuk mendukung program buy-back dari sejumlah pejabat pemerintah. Apabila terjadi, hal itu akan sangat menakutkan kalangan investor asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo