Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dradjad Wibowo
KPPU telah memutuskan kelompok pelaku usaha Temasek melanggar Pasal 27(a) Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal ini melarang kepemilikan mayoritas yang mengakibatkan penguasaan lebih dari 50 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Selain itu, KPPU juga menetapkan Telkomsel melanggar Pasal 17 terkait praktek monopoli dan Pasal 25 terkait penyalahgunaan posisi dominan.
Langkah koreksi yang diambil KPPU adalah menetapkan denda, mengharuskan penurunan tarif, dan yang lebih dahsyat adalah mengharuskan Temasek melepaskan saham di Telkomsel atau Indosat dalam jangka waktu dua tahun. Calon pembeli tidak boleh terkait Temasek, dan dibatasi maksimal 5 persen.
Hemat saya, KPPU sudah cukup teliti dalam mengambil keputusan, misalnya perbandingan harga dengan negara ASEAN lain dilakukan, sehingga gamblang terlihat betapa mahal tarif yang harus dibayar konsumen seluler di Indonesia. Sebagai contoh, tarif seluler di Vietnam ternyata hanya separuh dari tarif peak yang dikenakan Indosat (Rp 1.500/menit) dan Telkomsel (Rp 1.600/menit). Tarif di Brunei dan Thailand malah hanya sepertiganya. Padahal, basis konsumen dan, sebagai konsekuensinya, skala ekonomi di Indonesia jauh lebih besar.
Sebagian kalangan mungkin menganggap keputusan ini membuat takut investor asing karena tidak ada kepastian usaha dan kepastian hukum. Ini pandangan yang super aneh. Asumsi implisit dari pandangan ini adalah investor asing jangan dihukum karena merusak kepastian usaha dan hukum.
Lha, apa investor asing itu malaikat semuanya? Jangan lupa, skandal global seperti subprime mortgage itu melibatkan perusahaan, lembaga keuangan, praktisi risiko, lembaga pemeringkat, dan auditor kelas dunia. Tapi di Indonesia, mereka dipuja seolah malaikat.
Akibatnya, tidak sedikit investor asing yang merasa kebal hukum. Jika hukum tidak sesuai dengan kemauan mereka, pemerintah Indonesia tunduk mengubahnya. Contohnya adalah ketika ExxonMobil ingin menjadi operator Blok Cepu, tapi terhalang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35/2004. Dengan takzim pemerintah mengubah PP 35/2004 menjadi PP 34/2005 sehingga hilanglah hambatan itu.
Mereka juga tidak segan membuat huru-hara. Masih ingat kasus 11 duta besar yang menekan pemerintahan Megawati untuk ”menghukum” Asia Pulp and Paper? Untung Presiden Megawati tidak mau ditekan. Jika mau, salah satu raksasa bubur kertas dan kertas itu akan jadi milik asing. Ingat pula huru-hara kasus Manulife dan Newmont di Buyat.
Dalam kasus divestasi Indosat, banyak kalangan yang sudah mengingatkan potensi pelanggaran hukumnya, baik terhadap UU 5/1999 maupun UU Telekomunikasi. Jadi, kalau sekarang UU 5/1999 ditegakkan KPPU, jangan anggap ini menakut-nakuti investor.
Sebenarnya, banyak investor asing yang taat hukum dan mereka sama sekali tidak menghadapi masalah. Temasek sekalipun relatif aman investasinya di BII dan Danamon, karena memang tidak ada masalah hukum yang serius.
Karena itu, proses hukum yang akan menjadi kunci berikutnya dalam kasus Temasek ini. KPPU jelas tidak punya dana untuk membayar sekumpulan pengacara kelas atas, apalagi untuk ”menyuap” sana-sini. Jadi, mari kita semua mengawal proses hukum ini bersama-sama.
Ada juga yang beranggapan pembatasan pembelian 5 persen sebagai tidak memiliki dasar hukum. Memang, angka 5 persen tersebut belum ada rujukannya, namun apakah ini lalu membatalkan pelanggaran yang terjadi? Jelas, tidak.
Yang tidak banyak diketahui publik, pembatasan tersebut mementahkan fitnah bahwa anggota KPPU ditunggangi investor Rusia. Fitnah ini melibatkan organisasi fiktif dengan doktor fiktif yang, anehnya, dikutip pers.
Hemat saya, langkah terbaik bagi Temasek adalah menjual kembali Indosat kepada Indonesia, karena kontroversi tentang Indosat akan terus ada. Mungkin mereka tidak sadar, Indosat adalah salah satu faktor yang merusak citra Singapura di Indonesia, selain kasus ekspor pasir laut, reklamasi pantai, serta pelarian koruptor Indonesia.
Dengan melepas Indosat, Singapura menunjukkan itikad baik. Temasek tinggal memilih ”Indonesian friendly partners” yang cocok. Kalau pemerintah tidak mau membeli, banyak pengusaha Indonesia yang sanggup patungan. Dampak politisnya bagi hubungan kedua negara akan jauh lebih besar dari sekadar keuntungan finansial Indosat bagi Temasek.
Jika Temasek berkukuh, saya yakin gerakan ”Rebut Kembali Indosat” tidak akan pernah berhenti sampai berhasil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo