Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA orang petinggi Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat pernah bertikai, hampir empat tahun silam. Bukan tentang kebijakan ekonomi pemerintah, menurut seorang saksi kepada Badan Kehormatan DPR, mereka berdebat tentang ”amplop” dari Bank Indonesia (BI).
Menurut sumber Tempo, petinggi pertama berkata kencang kepada koleganya yang berbeda partai itu. ”Kenapa cuma ini yang mau dibagi-bagi, padahal masih ada yang lain?” kata petinggi itu, seperti ditirukan sang sumber. Petinggi satunya hanya terdiam.
Pertikaian dua anggota DPR periode 1999-2004 itu merupakan bagian dari cerita mengalirnya duit dari BI ke parlemen. Pada Juni-Desember 2003, BI mengguyur sebagian anggota Komisi Keuangan DPR dengan Rp 31,5 miliar ”dana diseminasi”. Para penadah guyuran itulah yang kini sedang ditelisik oleh Badan Kehormatan Dewan.
”Kami akan terus memanggil saksi yang mengetahui persoalan ini,” kata Gayus Lumbuun, Wakil Ketua Kehormatan Dewan, yang memimpin pengusutan kasus ini.
DUIT segajah yang diambil dari rekening Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia, yayasan milik BI yang bergerak di bidang pendidikan, itu dipakai untuk mengegolkan dua tujuan. Pertama, memuluskan kepentingan bank sentral dalam perubahan Undang-Undang BI yang saat itu digodok parlemen. Kedua, membantu penyelesaian kisruh bantuan likuiditas Bank Indonesia.
Ketika itu, di Senayan sedang seru-serunya dibahas amendemen Undang-Undang BI. Pembahasan macet di sejumlah poin, di antaranya soal pembentukan Dewan Supervisi dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Departemen Keuangan menganggap perlu pembentukan OJK untuk mengawasi bisnis perbankan. Petinggi BI berpendapat sebaliknya.
Menurut sumber Tempo, duit untuk keperluan ini dicairkan pada 17 September (Rp 7,5 miliar dan Rp 3 miliar) serta 4 Desember 2003 (Rp 6 miliar). Hasilnya? Pada Desember itu, amendemen tersebut diketuk. Pembentukan OJK untuk mengawasi BI diundur hingga 31 Desember 2010.
Pasal lain yang juga hilang dari pembahasan adalah aturan pemberhentian anggota Dewan Gubernur BI, begitu undang-undang hasil amendemen diberlakukan. Semula, aturan itu sempat menjadi perdebatan panas di Senayan. Karena tak tuntas, pembahasan dilanjutkan di hotel beberapa kali. Sejak itulah pasal tersebut menghilang.
Paskah Suzetta, mantan ketua panitia kerja amendemen Undang-Undang BI yang kini menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, tak membantah adanya aliran dana dari Bank Indonesia. Tapi, menurut dia, pengucuran dana dari bank sentral ke Dewan bukanlah gratifikasi. ”Itu diseminasi,” katanya tiga pekan lalu.
Gayus Lumbuun menilai, gratifikasi dan diseminasi tak ada bedanya. ”Dua-duanya mengambil duit negara lalu dibagikan kepada anggota DPR,” kata anggota Dewan dari PDI Perjuangan itu.
Kisruh BLBI juga dibahas panas di Senayan. Petinggi bank sentral berkeras bahwa bantuan likuiditas itu merupakan keputusan pemerintah. BI hanya menjalankannya. Pemerintah berkukuh sebaliknya. Pada Agustus diambillah keputusan politik: pemerintah menerbitkan surat utang Rp 144,5 triliun, sejumlah dana bantuan likuiditas itu.
SEBULAN sebelum keputusan itu diambil, duit dari BI mengguyur parlemen. Aliran pertama pada 27 Juni sebesar Rp 2 miliar. Berikutnya, 2 Juli (Rp 5 miliar dan Rp 0,5 miliar) serta 23 Juli (Rp 7,5 miliar). ”Kalau benar menerima aliran dana, ini kejahatan parlemen yang serius,” kata seorang anggota Badan Kehormatan Dewan.
Selain untuk pembahasan amendemen Undang-Undang BI dan bantuan likuiditas Bank Indonesia, duit dengan jumlah yang lebih kecil juga dialirkan untuk pembahasan undang-undang lain. Di antaranya, pembahasan Rancangan Undang-Undang Likuidasi Bank, Rancangan Undang-Undang Kepailitan, dan pembahasan anggaran BI.
Bagaimana duit itu sampai ke kantong anggota Dewan? Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan, dana dari BI disetorkan melalui Antony Zeidra Abidin, anggota Komisi Keuangan dan Perbankan dari Partai Golkar. Tapi politikus yang kini menjadi Wakil Gubernur Jambi itu berkali-kali membantah tuduhan itu.
Sumber lain yang mengetahui pengusutan kasus ini menjelaskan, dana dari BI dibawa oleh seorang perantara bernama Joko. Bentuknya uang kertas nominal US$ 100 bergambar mantan Presiden Amerika Serikat Benjamin Franklin. Kabarnya, Joko telah mengakui soal ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Seorang pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan, uang selanjutnya diantar beberapa kurir ke para anggota Dewan. Para penerima uang adalah anggota panitia kerja amendemen Undang-Undang BI dan panitia kerja BLBI. ”Uang ada yang diantar ke rumah, ada juga yang ke hotel,” kata pejabat itu.
Memang tak mudah membuktikan aliran dana tunai itu. Berharap transaksi terekam kamera keamanan hotel tentu tak mudah. Apalagi menunggu pengakuan para penerimanya. Untuk itu, kata sumber yang sama, Komisi Pemberantasan Korupsi kini memagari para kurir itu agar tetap pada pengakuannya.
Sejauh ini ada 16 orang penerima dana BI yang dilaporkan oleh Koalisi Penegak Citra DPR—gabungan sejumlah aktivis antikorupsi. Tapi, menurut sumber Tempo, 20-an anggota panitia kerja bisa jadi dianggap melanggar kode etik DPR. Sebabnya, mereka melakukan rapat-rapat di luar gedung parlemen atas biaya Bank Indonesia.
Untuk membahas amendemen Undang-Undang BI, panitia kerja melakukan rapat di Hotel Mulia, Hotel Hilton, Holten Sheraton Bandara, dan Hotel Imperial Aryaduta Karawaci. Agenda rapat ini diatur oleh Kepala Bagian Sekretariat Komisi Keuangan dan Perbankan Usiono—kini sudah pensiun.
Menurut Gayus Lumbuun, semua pembicaraan dalam rapat direkam dan dicatat oleh Wagianto, Kepala Sub-Bagian Sekretariat Komisi. ”Dia bilang telah menyerahkan transkrip rekaman itu kepada Biro Kearsipan DPR. Penyerahan ini ada tanda terimanya,” kata Gayus.
Satu rapat di hotel itu terungkap dari lembar disposisi pejabat bertajuk ”Pertemuan Pembahasan Anggaran BI” bertanggal 21 September 2004. Di situ ditulis soal rencana pembahasan anggaran, khususnya berkaitan dengan persetujuan anggaran operasional BI 2005.
Lembar disposisi yang dikirim Biro Gubernur kepada Bun Bunan Hutapea, Deputi Gubernur BI, itu menyampaikan kesepakatan untuk bertemu 18 anggota Sub-Komisi Perbankan DPR. Tempatnya di Hotel Mulia, Jakarta, 21 September 2004. Untuk keperluan itulah diusulkan pencairan dana diseminasi Rp 540 juta. ”Sebagai apresiasi kepada anggota DPR,” tertulis dalam dokumen itu.
Pekan ini, Badan Kehormatan rencananya akan mendengarkan rekaman rapat di hotel-hotel itu. Dari sini akan diketahui anggota DPR yang paling gencar menyuarakan kepentingan BI. Siapa tahu, dari rekaman itu bisa pula diungkap para anggota Dewan penerima uang kertas dolar bergambar Tuan Franklin.
Budi Setyarso dan Budi Riza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo