Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IMBAUAN Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Pamekasan Kusairi itu tertera jelas: perempuan pedagang di pasar, petugas hotel, dan penjaga restoran harus memakai jilbab selama bulan Ramadan. "Supaya suasananya benar-benar islami," kata Kusairi kepada Tempo pekan lalu.
Sanksi bagi pelanggar juga jelas: dilarang bekerja atau berjualan. Untuk mengawasinya, kelompok-kelompok Polisi Pamong berpatroli di sudut-sudut kota terbesar di Pulau Madura itu. Maka di Taman Arek Lancor, di pusat kota, semua pedagang mengenakan kerudung.
Tapi rupanya tak semua ikhlas. Beberapa mengaku memakai kerudung karena malas berurusan dengan Polisi Pamong Praja atau takut diusir dan tak boleh berjualan. "Tak dianjurkan pun saya pakai kerudung," kata Rahmah, penjual legen dan siwalan. "Ini tradisi perempuan Madura."
Aturan yang dibuat Kusairi ini tak aneh untuk ukuran Pamekasan. Sejak 2002, Bupati Dwiatmo Hadianto, yang didukung Partai Kebangkitan Bangsa, pada 4 November secara resmi memberlakukan syariah Islam lewat Surat Edaran Nomor 450 Tahun 2002 untuk daerah berpenduduk satu juta jiwa itu. Dwiatmo tak terpilih lagi dalam pemilihan kepala daerah 2004—malah menjadi terdakwa korupsi.
Pamekasan pun merupakan satu-satunya kabupaten yang terang-terangan menerbitkan aturan berbasis syariah Islam. Macam-macam yang diatur, dari soal prostitusi, minuman beralkohol, baca Al-Quran, salat Jumat, hingga dakwah. Hanya peraturan alkohol yang cukup berhasil karena tak terlihat lagi orang mabuk atau toko menjual minuman keras secara terang-terangan.
Aturan lainnya berlaku hangat-hangat tahi ayam. Karena itu, Wakil Bupati Kadarisman Kartodiwirdjo pada 19 Oktober 2009 meneken peraturan yang menetapkan "Gerbangsalam sebagai model dan strategi dakwah". Gerbangsalam adalah akronim dari Gerakan Pembangunan Masyarakat Islami, yang ditetapkan Dwiatmo tujuh tahun sebelumnya.
Tak semua patuh pada aturan itu. Seperti Rahmah, para pegawai kantor pemerintah daerah Pamekasan tak taat-taat amat. Alih-alih bergegas ke masjid karena ada anjuran soal salat berjemaah, seorang anggota staf sekretariat daerah khusyuk membaca koran Rabu pekan lalu.
Dua anggota Satuan Polisi Pamong Praja penerima tamu kantor itu sama cueknya. Padahal pegawai lain yang tak buru-buru pulang seusai upacara 17 Agustus bergegas mengambil air wudu. "Berjemaah tak wajib, yang penting salat," kata Muhammad, anggota staf itu. "Semua aturan syariah bersifat imbauan, tergantung masing-masing."
Tumpulnya aturan berbau syariah Islam juga terjadi di Garut, Jawa Barat. Peraturan Bupati Dede Satibi pada 2000 tentang kewajiban memakai busana muslim bagi pegawainya tak dijalankan sepenuh hati. Pegawai Pemerintah Kabupaten Garut memang terlihat berkerudung pada jam kerja. "Tapi, kalau selesai kerja, saya buka jilbab," kata Sisika, pegawai di Dinas Kesehatan.
Tak semua seperti Sisika. Ada juga yang tetap berjilbab saat keluar dari rumah, dianjurkan atau tak dianjurkan oleh pemerintah. Sebab, aturan semacam ini tak ada sanksinya. Daerah-daerah yang memberlakukan aturan jilbab tak mengenakan sanksi tegas kepada pegawai yang melanggar.
Dede Satibi menjelaskan anjuran berjilbab, selain guna menekan maksiat, untuk mencapai Garut yang tata tentrem kerta raharja, dan awal pelaksanaan syariah Islam di tanah kelahiran Darul Islam ini. "Tak ada tujuan politis," kata bupati asal Golkar itu. "Nyatanya, saya tak terpilih lagi periode berikutnya."
Di Gorontalo, penerapannya lebih tragis. Peraturan soal larangan bagi perempuan keluar rumah sendirian tak dijalankan eksekutif. Ketika Gubernur Gorontalo masih dijabat Fadel Muhammad dari Golkar, peraturan itu muncul. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gorontalo-lah yang paling bersemangat mengesahkan aturan itu.
Namun, setelah disahkan, aturan itu hanya macan kertas. Tak ada aparat pengawas dan pelaksananya. Walhasil, pada malam hari, Kota Gorontalo selalu ramai oleh anak-anak muda nongkrong hingga larut di tiap tikungan jalan. Beberapa orang mengaku tak tahu ada aturan yang melarang perempuan keluar malam. "Apa pemerintah tak punya pekerjaan lain?" kata Pipin Ladiku, ibu dua anak, warga Kota Barat.
GARUT, Gorontalo, dan PamekaÂsan hanya tiga daerah yang terang-terangan menyatakan aturannya berbasis syariah Islam. Daerah lain, kendati hanya menyalin aturan dari daerah lain, cenderung malu-malu menyatakan diri daerah syariah Islam atau menganut aturan berbau agama.
Situasi ini mengingatkan Ryaas Rasyid, mantan Menteri Otonomi Daerah, pada 1998 ketika ia menyusun Undang-Undang Otonomi Daerah. Ryaas mengetuai Tim 7, yang anggotanya antara lain Djohermansyah Johan, kini Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Affan Gafar, dan Hamid Awaludin.
Waktu itu Tim terbelah: memberi otonomi sepenuhnya kepada daerah atau membatasi beberapa hal. Akhirnya disepakati enam pokok yang masih jadi kewenangan pemerintah pusat, yakni pertahanan, keamanan, fiskal dan moneter, yudisial, politik luar negeri, serta agama.
Soal terakhir ini yang paling alot dibahas. Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya juga setuju urusan agama tak didelegasikan kepada kepala daerah. "Ada anekdot waktu itu, kalau agama diberi ke daerah, bacaan salat dan doa tiap daerah akan berbeda-beda," kata Ryaas, yang kini anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Meski dikecualikan, nyatanya peraturan-peraturan berbau syariah meruyak sejak Undang-Undang Otonomi Daerah diterbitkan pada 2001. Kiblatnya pemerintahan khusus Nanggroe Aceh Darussalam. "Tentu saja perda syariah ini tak sesuai dengan konstitusi," kata Djohermansyah.
Kementerian Dalam Negeri mencatat, di luar Aceh, ada 12 provinsi yang menelurkan 66 peraturan berbau syariah pada 2004-2009. Anehnya, sebagian besar daerah yang menelurkan aturan itu lahir dari bupati atau wali kota yang berasal dari partai sekuler.
Penelitian Michael Buehler, guru besar politik di Northern Illinois University, Amerika Serikat, menemukan 70 persen peraturan syariah lahir dari bupati dan wali kota yang berasal atau didukung Partai Golkar atau PDI Perjuangan. Buehler, yang meneliti peraturan syariah sejak 2004, menyimpulkan afiliasi politik tak ada kaitannya dengan perda-perda itu.
Peraturan syariah lebih didorong upaya meraih suara tokoh-tokoh umat Islam karena daerahnya dulu menjadi basis Darul Islam. Karena itu, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan menjadi daerah paling subur menerbitkan peraturan berbau agama dengan setidaknya 25 peraturan.
Tapi Bupati Pamekasan yang sekarang, Kholilurahman, menampik aturan-aturan di kabupatennya dikatakan sebagai perda syariah. "Yang ada aturan berbau Islam," kata bupati dari Partai Persatuan Pembangunan itu. Ia mengakui pelaksanaannya tak efektif. Kini ia sedang menggodok aturan yang mewajibkan anak-anak bisa baca-tulis Al-Quran sebagai syarat masuk sekolah.
Suburnya peraturan-peraturan syariah ini juga karena Kementerian Dalam Negeri tak tegas melarangnya. Sejauh ini, kata Djohermansyah, sanksi yang diberlakukan hanya pembantaran aturan. Sekitar 150 peraturan syariah yang diajukan kepala-kepala daerah tak disetujui Menteri Dalam Negeri. "Sedang digodok sanksi pengurangan dana alokasi umum dan khusus untuk daerah yang membuat peraturan berbasis syariah," katanya.
Djohermansyah mengaku tak bisa membendung terbitnya aturan-aturan yang inkonstitusional itu karena beleid tersebut terbit secara legal. Diajukan kepala daerah dan disetujui DPRD setempat. Dalam catatannya tentang peraturan syariah ini, Djohermansyah menulis, "Oh, dunia, semoga Indonesia tetap ada sampai akhir zaman...."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo