Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERISTIWA delapan tahun lalu itu masih lekat di ingatan Andi Patabai Pabokori, ketika itu Bupati Bulukumba, Sulawesi Selatan. Malam itu Andi menggelar hajatan di rumah dinasnya. “Suasana saat itu cair dan akrab, karena saya kondisikan seperti keluarga," katanya, mengenang, kepada Tempo.
Tamunya istimewa: empat puluhan pengusaha hiburan malam dan penjual minuman keras di kota paling kidul Sulawesi Selatan itu. Andi mengumpulkan mereka karena hendak menyampaikan pengumuman penting. “Sejak malam ini, kalian tidak bisa menjual minuman keras lagi," ia mengulangi maklumatnya pada malam itu. “Bulukumba harus bersih dari minuman keras."
Hingga kini, di kabupaten yang berjarak 153 kilometer dari Makassar itu berlaku larangan peredaran dan penjualan minuman memabukkan. Andi Patabai mengakhiri masa jabatan pada 2005. Ia mengklaim tidak ada pengusaha yang membangkang karena pemerintah daerah membantu memfasilitasi permodalan untuk hijrah ke usaha yang tak bermasalah. “Selain itu, mereka takut kepada Laskar Jundullah," katanya. Laskar ini bentukan organisasi masyarakat Islam di Sulawesi Selatan.
Daerah ini memang gemar melahirkan peraturan bermotif agama. Sejak 2002, ada peraturan larangan penjualan minuman beralkohol; peraturan tentang pengelolaan zakat profesi, infak, dan sedekah; peraturan berbusana muslim; serta peraturan wajib pandai membaca Al-Quran. Aturan yang terakhir ini khusus untuk promosi pegawai negeri, penerimaan siswa baru, dan calon pengantin.
Pada mulanya adalah pertimbangan keamanan. Sebelumnya, Bulukumba rawan kejahatan, mulai pencurian, penganiayaan, hingga tawuran. Menurut pengamatan Andi Patabai, semuanya bermula dari alkohol. Bukan hanya buatan luar, tapi juga produk lokal dari nira yang difermentasi. Langkah Andi didukung banyak sesepuh Islam setempat.
Ia juga didukung Majelis Syuro Komite Perjuangan Penegakan Syariat Islam Sulawesi Selatan. “Bulukumba merupakan daerah pertama yang merespons hasil Kongres Umat Islam," kata Muhammad Siradjuddin, Sekretaris Majelis Syuro, saat ditemui Tempo di Makassar.
Kongres Umat Islam yang dimaksudkan digelar pada 1999 di Masjid Al-Markaz, Makassar. Inti keputusan Kongres ketika itu: Sulawesi Selatan harus sama seperti Aceh. “Kami terinspirasi Aceh," kata Siradjuddin. “Kalau Aceh jadi serambi Mekah, izinkan kami menjadi serambi Madinah."
Tentu tak semua bulat bersepakat. Beberapa elemen masyarakat mempersoalkan, misalnya perempuan aktivis Zohra Andi Baso. Menurut dia, dasar pemberlakuan aturan daerah berbasis agama itu tidak tepat karena agama merupakan satu dari enam urusan yang tidak diserahkan pemerintah pusat ke daerah. “Jangan sampai peraturan daerah menyalahi aturan negara," kata Zohra.
Dalam kenyataannya, peraturan itu juga tak amat bergigi. Di Pantai Tanjung Bira, di restoran yang diramaikan para pesantai, pelayan berseliweran menating berbotol-bitol bir untuk para tamu yang melewatkan malam. Pantai Bira masuk wilayah administrasi Bulukumba. “Untuk pariwisata memang sulit kami tertibkan dari dulu," kata Andi Patabai, yang kini menjabat Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo