Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hukum Cambuk Desa Texas

Sebuah desa di Bulukumba, Sulawesi Selatan, memberlakukan hukum cambuk buat warganya. Tidak menurunkan angka kejahatan.

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LECUT cemeti dari bambu yang menyentuh kulit pinggul dan tangannya masih terekam di benak Nasir, 42 tahun. Tidak ada pedih yang terasa, tapi kejadian lima tahun lalu itu menyisakan malu yang menggumpal. Nasir dipecut 20 kali gara-gara melontarkan bogem mentah kepada seorang bocah teman sekolah anaknya

Nasir adalah warga Desa Padang, Kecamatan Gantarang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Desa ini memberlakukan pidana cambuk bagi warganya yang melakukan kejahatan dan pelanggaran susila. "Saya masih malu," ujarnya.

Kepala Desa Padang, Andi Rukman Jabbar, menjelaskan Nasir dicambuk atas permintaan keluarga bocah korban pemukulan. Sebetulnya peristiwa itu tidak melulu kesalahan Nasir. Dia kesal lantaran si bocah terlebih dulu meninju anaknya di sekolah. Namun, alih-alih melaporkan kenakalan anak tetangganya itu, Nasir main hakim sendiri.

Akibat membela putra sulungnya, Nasir diuber-uber keluarga si bocah. Mereka membawa badik, parang, dan balok kayu. Merasa takut, Nasir lari ke rumah Pak Desa—sebutan bagi kepala desa—untuk meminta perlindungan.

Nasir, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani, sebenarnya tidak terima dengan hukuman itu. Tapi ia menghindari pertikaian antarkeluarga yang panjang akibat perbuatannya. "Hukuman cambuk merupakan upaya mendamaikan dua keluarga yang bertikai," ujar Andi Rukman kepada Tempo saat ditemui di rumahnya awal Agustus lalu.

Sejak 2006, tercatat ada sepuluh orang yang dihukum cambuk di Desa Padang. Suharman dihukum cambuk 40 kali lantaran mengirim surat cinta ke istri orang. Ada pula Arifin yang dilecut 20 kali karena menganiaya orang. Mereka biasanya dicambuk di rumah kepala desa, disaksikan warga desa. Alat cambuknya berupa bambu dibelah empat sepanjang 1,5 meter.

"Kami senang mencambuk, karena sebenarnya itu menyelesaikan masalah," kata Andi Rukman. Selama enam tahun ini ayah satu putri itu berperan sebagai algojo pengayun cemeti.

| | |

DESA Padang berjarak 15 kilometer barat laut Ibu Kota Bulukumba. Penduduknya 3.900 jiwa dan semuanya beragama Islam. Desa ini terbagi atas empat dusun, yaitu Bonto, Cinranae, Balimassang, dan Mattoangin.

Kebanyakan warga Desa Padang bekerja sebagai petani penggarap sawah. Hanya sebagian kecil yang bekerja sebagai pedagang atau pegawai negeri di kota. Sejak 2003, desa ini menyatakan diri sebagai desa muslim. "Sudah jadi desa muslim percontohan," ujar Andi Rukman.

Selama tiga tahun terakhir, desa ini dikunjungi berbagai kalangan, termasuk peneliti dari mancanegara. Magnet Desa Padang bukan hasil bumi yang melimpah seperti cengkeh atau beras, melainkan penerap­an hukum cambuk yang diberlakukan atas dasar Peraturan Desa Nomor 5 Tahun 2006.

Pada awal 2011, utusan dari kedutaan besar Amerika Serikat bahkan menyempatkan diri berkunjung ke rumah Pak Desa. Sang utusan mengajak berbincang tentang penerapan syariah Islam di desa ini.

Hukum cambuk di Desa Padang tak lepas dari penerapan peraturan berbasis syariah Islam di Kabupaten Bulukumba. Sejak 2002 kabupaten ini menerbitkan sejumlah peraturan yang mengacu pada kaidah Islam.

Simak saja Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Larangan Penjualan Minuman Alkohol; dan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq, dan Sadaqah. Ada lagi peraturan tentang pakaian muslim dan peraturan mengenai wajib pandai baca Al-Quran. Aturan terakhir khusus ditujukan untuk siswa dan calon pengantin.

Berdasar peraturan Desa Padang yang salinannya diperoleh Tempo, bentuk hukuman untuk si pelanggar tergantung besar-kecilnya kesalahan. Laki-laki dan perempuan yang berzina sama-sama dipecut 100 kali. Perlakuan berbeda bagi pezina yang sudah menikah. Setelah dilecut, mereka diusir keluar dari desa. Bagi keluarganya, peselingkuh sudah dianggap mati.

Warga yang terbukti berjudi, mabuk-mabukan, atau menjual minuman keras bakal dicambuk 40 kali. Sedangkan hukuman bagi penganiaya adalah 20 kali lecutan. Cambuk memang bukan bertujuan menyiksa pelaku. Rasa malu lebih ditonjolkan daripada rasa sakitnya.

Kendati sama-sama berbasis syariah, menurut Andi Rukman, hukum cambuk di desanya berbeda dengan yang berlaku di Aceh. Di Aceh, hukum cambuk dilakukan di atas panggung disaksikan khalayak. Sedangkan di Desa Padang, hukum cambuk dilakukan di tempat tertutup.

Dicambuk di luar ruangan, menurut Andi Rukman, akan berpengaruh secara kejiwaan, dan itu sangat tidak diharapkan. Dalam pengertiannya, hukuman bukan untuk mencelakai, melainkan untuk mendidik.

"Banyak warga bersyukur, berterima kasih, sebab cambuk juga menghabisi dendam," ujar Pak Desa, yang juga pegawai negeri sipil di kantor Kecamatan Gantarang.

Sebelum ada hukum cambuk, desa yang dua pertiga luasnya terdiri atas perkebunan dan sawah itu rawan pencurian, penganiayaan, dan perjudian. Mabuk-mabukan dan perzinaan juga sulit diberantas. Masyarakat tidak percaya kepada aparat kepolisian. Hukum positif mereka anggap ribet dan berbelit.

"Desa kami dulu seperti Texas, banyak kejahatan," kata Andi Rukman. Namun kini, ujarnya, "kami jauh lebih tertib."

| | |

Pejabat Pemerintah Kabupaten Bulukumba mengakui hukum cambuk di Desa Padang melanggar perundang-undangan di negeri ini. Namun mereka melihat peraturan tersebut mampu memelihara stabilitas, ketertiban, dan keamanan di tingkat desa.

"Kami tidak bisa mencabut aturan hukum cambuk itu, masyarakat yang menyepakatinya," kata Ali Saleng, Kepala Bagian Hukum Kabupaten Bulukumba.

Ali pernah beberapa kali memanggil dan mendatangi Kepala Desa Padang serta memintanya mencabut peraturan tentang hukum cambuk. Tapi permintaan itu tak digubris. "Saya butuh perintah tertulis, bukan hanya lisan," Andi Rukman balik menantang.

Berbeda dengan pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bulukumba menilai semua peraturan keagamaan memberikan kontribusi positif. Empat peraturan daerah bernuansa keagamaan dan satu peraturan desa soal cambuk itu dianggap sudah menyatu dengan masyarakat dan tak mungkin dicabut.

"Saya yang akan pertama menolak jika pemerintah atau pihak lain mengusulkan pencabutan peraturan tersebut," kata Andi Hamzah Pangki, Ketua DPRD Bulukumba.

Adapun polisi berpendapat penerapan hukum cambuk tidak menurunkan angka kejahatan. "Tidak banyak berpengaruh," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bulukumba, Ajun Komisaris Andi Alimuddin.

Dia menunjuk sejumlah contoh: minuman keras masih saja beredar, pencurian masih kerap terjadi, dan bentrok antarkelompok masyarakat pun masih sering terjadi.

Namun kepolisian tidak bisa memaksa aparat desa mencabut peraturan yang melanggar hak asasi, sudah lama dihilangkan, dan tidak dikenal dalam hukum positif itu. "Hingga saat ini belum ada warga yang mengadu dan merasa keberatan terhadap peraturan tersebut," kata Andi Alimuddin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus