Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMENANGAN Anies Baswedan pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta menjadi euforia bagi tiga partai pendukungnya: Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional. Elite ketiga partai ini berniat mengukuhkan koalisi itu di banyak provinsi lain.
Setelah kemenangan itu, pimpinan tiga partai ini rajin berkumpul di banyak tempat. Rumah Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, acap menjadi tempat bertemu. Lain waktu di kantor PKS atau di rumah Ketua PAN Zulkifli Hasan. "Kemenangan Jakarta membuat kami memiliki ikatan emosional," ujar Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon pada Kamis pekan lalu.
Kemesraan ketiganya makin intensif menjelang tenggat pendaftaran calon kepala daerah untuk pemilihan 2018. Sehari sebelum Natal pada Desember tahun lalu, petinggi ketiga partai berkumpul di markas PKS. Mereka sepakat berkoalisi di lima provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara.
Menurut Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani, mereka sebenarnya ingin membuat koalisi di lebih banyak tempat. Persoalannya, kata dia, setiap daerah memiliki karakteristik berbeda. Akibatnya, di beberapa pemilihan gubernur, ketiga partai berhadap-hadapan. "Calon yang sama tidak ketemu," ujar Muzani.
Dalam pemilihan Gubernur Riau, misalnya, Gerindra berkoalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa mengusung mantan Menteri Desa Lukman Edy dan Hardianto. Sedangkan PAN berkoalisi dengan PKS bersama NasDem mengusung Syamsuar-Edy Nasution.
Tiga partai itu juga berpisah jalan di Nusa Tenggara Barat. Koalisi besar Gerindra-PAN mengusung Ahyar Abduh-Mori Hanafi. Sebaliknya, PKS mengusung Zulkieflimansyah dan Sitti Rohmi Djalilah. "Kondisi kader di bawah berbeda-beda," kata Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno.
Tak hanya memelihara koalisi partai, Prabowo juga rajin bertemu dengan pentolan demonstrasi umat muslim 212, yang berhasil menekan pengadilan menghukum Basuki Tjahaja Purnama memakai dalil penistaan agama Islam. Tak hanya masuk penjara, Basuki alias Ahok juga kalah dalam pemilihan melawan Anies Baswedan.
Setelah kemenangan Anies, kata Muzani, Prabowo mengundang tokoh-tokoh demonstrasi ke rumahnya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. "Kami menyebutnya forum makan pagi, meskipun pertemuannya kadang sampai siang juga," ujarnya.
Prabowo, kata Muzani, ingin mendengarkan apa yang menjadi gagasan pentolan 212. Apalagi, menurut dia, gagasan kelompok ini kerap tak didengar kubu pemerintah. Muzani mengakui kedekatan dengan kelompok ini membuat Prabowo disebut merawat sentimen pemilih Islam. "Pak Prabowo bersedia menjadi jembatan," ujarnya.
Fadli Zon mengatakan kedekatan Prabowo dengan pentolan 212 itu merupakan strategi untuk memperoleh dukungan yang luas dari mayoritas masyarakat. Menurut dia, setiap calon presiden atau kepala daerah harus bisa memenangi hati umat Islam. "Kalau ada seorang kandidat disebut anti-Islam, ya, pasti kalah," tutur Fadli.
Dari obrol-obrolan Prabowo dengan pentolan-pentolan itu, ada kesepakatan mereka melanjutkan koalisi dengan mengusung calon kepala daerah. Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam Muhammad Gatot Saptono mengatakan mereka mengusulkan lima nama dari 171 pemilihan kepala daerah tahun ini agar didukung koalisi tiga partai itu. Salah satu nama yang diusulkan kelompok ini adalah La Nyala Mattalitti untuk Gubernur Jawa Timur. "Tapi tak ada satu pun yang diberi rekomendasi," ujar Gatot Saptono.
Belakangan, La Nyala malah membongkar praktik mahar politik oleh Gerindra. Ia mengaku dimintai uang Rp 40 miliar agar mendapat rekomendasi partai itu maju sebagai calon gubernur. Mantan Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia ini kemudian tak punya partai untuk mencalonkan diri.
Eddy Soeparno mengakui ada usul dari kelompok itu agar tokoh mereka dipilih sebagai calon kepala daerah. "Tapi tak terlalu banyak nama yang mereka usulkan," Fadli menambahkan. Menurut Muzani, nama-nama yang disorongkan pentolan 212 ditolak karena keputusan tak mengikat bagi pengurus partai di daerah.
Menurut Muzani, calon yang berasal dari kalangan internal partai pun kerap tidak disepakati setiap pihak. Dia mencontohkan kasus pemilihan Wali Kota Cirebon. Tiga partai di kota itu masing-masing punya jagoan. Akibatnya, mereka gagal mengikuti pemilihan karena salah satu partai tak mengeluarkan rekomendasi. "Kami sudah memberitahukan kesepakatan di pusat, tapi kami juga tidak bisa memaksa kader di daerah," ujar Eddy Soeparno.
Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mardani Ali Sera menyebutkan banyak orang yang ragu koalisi partainya dengan Gerindra dan PAN bakal langgeng. Bahkan, kata Mardani, sejak Koalisi Merah Putih terbentuk sebagai buntut pemilihan presiden, banyak yang meramalkan koalisi mereka bakal seumur jagung.
Pemilihan Gubernur Jakarta, menurut Mardani, adalah bukti koalisi mereka kian kokoh. "Kami terus berinteraksi dengan Gerindra. Dengan PAN, kami memiliki banyak kesamaan," ujarnya.
Menurut Eddy, terlalu prematur jika menyebut koalisi tiga partai ini sebagai fondasi menuju pemilihan presiden 2019. Dia mengatakan partainya bakal menggelar rapat kerja untuk memutuskan calon presiden yang bakal mereka usung. "Kami sudah memberikan mandat penuh kepada Pak Zulkifli untuk mengambil keputusan," ujar Eddy.
Muzani menambahkan, sejauh ini, belum ada pembicaraan formal mengenai figur yang bakal didukung sebagai calon presiden dan wakilnya. "Kalau mulai menyenggol-nyenggol nama Prabowo, sih, sudah ada," katanya.
Wayan Agus Purnomo, Raymundus Rikang, Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo