Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPA yang akan berlaga dalam pemilihan umum presiden 2019? Berbagai rilis survei opini publik mutakhir memberi gambaran kasar siapa saja yang berpeluang mendapatkan dukungan publik. Ketika pertanyaan terbuka diajukan kepada publik oleh para surveyor, hanya sejumlah nama yang benar-benar memiliki dukungan riil di lapangan. Dan dari sejumlah nama yang dicoblos publik pemilih tersebut, hanya dua nama yang kompetitif: Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Mungkin dua petarung dalam pemilu presiden 2014 itu akan berlaga lagi pada 2019. Jika petarungnya sama, akankah pemilu presiden 2019 berakhir pada hasil yang sama pula; atau sebaliknya, akankah Prabowo mampu membalikkan hasil pemilu presiden tahun depan? Sejauh mana strategi yang pernah dijalankannya selama ini akan mempengaruhi peluangnya, dan sejauh mana manuver Prabowo dalam pemilihan kepala daerah serentak 2018 menggariskan nasib politiknya?
Dua Perhitungan
Di berbagai lingkaran elite politik, perhitungan atas peluang Prabowo berangkat dari dua titik dan perhitungan berbeda. Pertama, sebagian di antara mereka memakai hasil pemilu presiden 2014 sebagai titik keberangkatan. Berpasangan dengan Hatta Rajasa, Prabowo saat itu meraih suara 47 persen. Sedangkan Joko Widodo, yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, mendapatkan dukungan suara 53 persen. Selisih suara kedua pasangan itu tipis saja, sekitar 6 persen. Menambah 4-6 persen suara untuk mencapai angka kemenangan 51 persen, dalam hitungan ini, tidaklah sulit.
Kedua, mereka yang memandang hasil pemilu presiden 2014 adalah masa silam dan tak bisa lagi dijadikan patokan menghitung peluang Prabowo di pemilu presiden tahun depan. Berbagai survei opini publik menunjukkan bahwa jarak dukungan elektoral antara Joko Widodo dan Prabowo cukup besar, yakni berada pada kisaran 28 persen (Indikator Politik Indonesia, September 2017) dan 37 persen (Saiful Mujani Research & Consulting, Januari 2018). Pada saat yang sama, dukungan elektoral Joko Widodo terlihat stabil dan bahkan cenderung menaik. Dengan begitu, dari perhitungan ini, prospek Prabowo pada 2019 sesungguhnya tipis saja.
Perhitungan mana yang lebih masuk akal, dan sejauh mana manuver yang dilakukan Prabowo bisa mengerek dukungan elektoralnya pada 2019? Rangkaian data survei yang menggambarkan perubahan dukungan elektoral di antara Jokowi dan Prabowo menjelang pemilihan presiden 2014 bisa membantu kita menjawab pertanyaan ini.
Empat bulan menjelang hari pemungutan suara pilpres 2014, selisih suara di antara keduanya sekitar 39 persen-sebuah selisih yang sangat besar. Tapi, dalam waktu empat bulan, jarak di antara keduanya makin menipis, mendekati 5 persen. Dengan kata lain, rata-rata kenaikan dukungan elektoral Prabowo adalah 8 persen setiap bulan. Jika pergerakan dukungan yang meningkat drastis ini bisa terjadi pada 2014, pola yang sama bisa berulang dalam empat bulan terakhir sebelum hari pencoblosan pada 2019. Dari mana datangnya kenaikan dukungan Prabowo itu, dan bagaimana kemungkinan penambahannya? Kita bisa menengok perubahan strategi kampanye yang dilakukan Prabowo menjelang 2014, sekaligus kita menghitung peluang penambahan dukungan itu dari strategi pilkada yang sedang dijalankannya menjelang 2019. Penambahan dukungan suara berasal dari kedua sumber ini.
Kampanye 2014
Kampanye Prabowo dalam pilpres 2014 sesungguhnya bisa dibagi dalam dua fase. Fase kampanye berbasis isu dan kampanye berbasis sentimen primordial-lebih khusus lagi sentimen keislaman.
Sejak Gerindra didirikan pada 2008, Prabowo secara sistematik menggarap kelompok-kelompok marginal di masyarakat yang secara numerik berjumlah besar, dari petani, nelayan, buruh, sampai para pedagang kecil untuk mendapatkan dukungan suara mereka. Organisasi-organisasi kelompok sosial ini dibentuk, dimasuki, atau diambil alih kepemimpinannya. Pertemuan-pertemuan dengan mereka pun teragendakan dalam langkah-langkah kampanye Prabowo.
Ujungnya, Prabowo merumuskan 6 Program Aksi Transformasi Bangsa yang disosialisasi dalam kampanyenya sendiri ataupun dalam kampanye-kampanye Partai Gerindra menjelang 2014. Kampanye Prabowo mengkombinasikan isu-isu populis dengan nasionalisme untuk mendulang suara.
Namun, memasuki 2014, seraya mempertahankan isu-isu populis yang nasionalistik itu, Prabowo mendekati berbagai kelompok Islam dan secara formal membentuk koalisi pemenangan presiden dengan partai-partai Islam pada Maret dan April 2014. Termasuk Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera. Hasilnya, kredensial keislaman Prabowo secara drastis menebal setelah koalisi terbentuk. Tim kampanye koalisi ini mengumpulkan sejumlah nama besar yang terus mengkampanyekan Prabowo sebagai pilihan pemilih muslim, di antaranya Amien Rais, Hilmi Aminuddin, Habib Luthfi bin Ali bin Yahya, dan Salim Segaf Al-Jufri.
Di level massa, Front Pembela Islam dan 25 organisasi kemasyarakatan Islam di Jawa Barat mendeklarasikan dukungan mereka ke Prabowo pada Juni 2014 memberikan asosiasi keislaman terhadap Prabowo. Deklarasi sejenis ini bermunculan di berbagai kota. Puncaknya, sebagian ormas Islam ini menahbiskan Prabowo sebagai Panglima Perang (Islam) dalam kampanye di Yogyakarta pada akhir Juni 2014.
Ironisnya, dalam pernyataannya di berbagai kampanye, Prabowo justru sangat jarang memakai idiom-idiom keislaman untuk menangguk dukungan pemilih muslim. Isu-isu pokok tentang kesejahteraan, keadilan, dan dominasi modal asing di Indonesia tetap menjadi menu kampanyenya. Namun rangkaian kampanye tim sukses dan para sukarelawan mampu mengubah peruntungan politik Prabowo. Kenaikan dukungan elektoral Prabowo paling banyak terekam dalam survei-survei pada April dan Juni 2014. Dalam fase kedua kampanye itu, isu-isu identitas keislaman menguasai panggung-panggung politik dan media serta membentuk pilihan politik sebagian pemilih.
Tiga tahun kemudian, pilkada Jakarta 2017 memberikan validasi yang sama. Isu identitas Islam membawa efek penting. Tingkat kepuasan tinggi para pemilih Jakarta atas kinerja Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat ternyata tidak mampu mengantarkan pasangan inkumben itu memenangi pertarungan. Dan rekaman mutakhir kampanye-kampanye yang dilakukan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, yang memanfaatkan isu-isu keislaman, mampu mendongkrak perolehan suara mereka yang semula rendah dan kemudian meningkat drastis-sebagaimana terjadi pada kasus kampanye tim sukses Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam pilpres 2014.
Bukan kebetulan jika kemudian aliansi pendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno adalah aliansi yang berpokok pada partai dan ormas-ormas Islam yang sama. Keduanya diajukan sebagai pasangan kandidat oleh Prabowo dan Gerindra. Template strategi kampanye pasangan ini sedikit-banyak diduga akan digunakan oleh tim-tim sukses di 171 pilkada tahun ini, dan kelak template itu akan dipakai dalam pemilu presiden 2019. Sejauh mana dugaan ini cocok dengan perkembangan mutakhir politik pilkada serentak di tahun ini?
Pilkada 2018
Kenyataan di lapangan ternyata tidak sama persis dengan dugaan pemakaian template kampanye itu setidaknya sampai Januari ini. Prabowo dan Gerindra memilih berbagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dengan pertimbangan dan justifikasi yang bervariasi.
Misalnya, saat mengumumkan pilihan pasangan kandidat untuk pilkada Jawa Barat di kediamannya di Hambalang, Prabowo menyampaikan alasan pilihannya. Sudrajat, yang purnawirawan jenderal, adalah asli putra daerah. Seraya berhumor, Prabowo menekankan bahwa Sudrajat adalah "USA, Urang Sunda Asli".
Lain halnya dengan alasan yang dikemukakan saat memilih Sudirman Said sebagai kandidat Gubernur Jawa Tengah. Prabowo menyatakan Sudirman Said adalah salah satu putra terbaik Indonesia. Kali ini, yang ditekankan bukan keaslian Sudirman Said sebagai putra daerah meskipun dia lahir di Brebes, Jawa Tengah. Ketika meminang Yenny Wahid untuk diajukan Gerindra sebagai calon Gubernur Jawa Timur, Prabowo juga menyebut alasan yang sama: Yenny Wahid adalah salah satu putri terbaik Indonesia. Tapi pinangan itu ditolak, dan Prabowo mengalihkan dukungan ke Saifullah Yusuf.
Di Sumatera Utara, bersama PKS dan PAN, Prabowo dan Gerindra memilih Edy Rahmayadi sebagai calon mereka untuk posisi Gubernur Sumatera Utara. Alasannya, mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat ini memiliki kapasitas untuk memajukan Provinsi Sumatera Utara.
Masih banyak kandidat lain untuk posisi gubernur, bupati, dan wali kota pilihan Prabowo dan Gerindra. Tapi, satu hal yang pasti, alasan-alasan yang diajukan Prabowo untuk menopang pilihan kandidatnya bervariasi dan tak langsung berasosiasi dengan identitas keagamaan meskipun koalisi pendukungnya adalah partai-partai Islam. Pertanyaannya, dengan cara ini, bagaimana penambahan suara bisa didapatkan Prabowo melalui pemenangan pilkada untuk keperluan pemilu presiden 2019 kelak?
Ada tiga kemungkinan. Pertama, pemenangan kontestasi di pilkada bisa memenuhi tujuan minimal, yakni upaya menciptakan sebuah level playing field-situasi ketika Prabowo bisa berharap bahwa lapangan permainan pemilu presiden kelak tak merugikannya, bahkan kalau bisa justru menguntungkannya.
Kedua, kepala daerah selalu memiliki sumber daya besar untuk keperluan kampanye. Legal atau tidak legal, penggunaan sumber daya itu bisa mengubah peruntungan politik Prabowo jika kepala daerah tersebut memenangi pilkada melalui tiket Gerindra.
Ketiga, dukungan kepala daerah bisa menjadi mekanik penting untuk membentuk pilihan politik pemilih. Di Indonesia, ketokohan seseorang bisa membentuk pilihan politik pemilih. Sebagian pemilih dalam pemilu legislatif memilih partai pilihannya dengan melihat ketua atau tokoh-tokoh partainya. Platform partai sendiri bukanlah hal yang paling penting yang bisa menjelaskan pilihan politik pemilih.
Hasil pilkada serentak 2018, karena itu, akan menentukan peluang Prabowo di pemilu presiden 2019. Strategi kampanye identitas kelak mungkin digunakan lagi oleh tim kampanyenya, dan tidak harus sekarang. Strategi itu pun tidak mesti dilaksanakan oleh Prabowo sendiri, tapi bisa oleh tim sukses koalisi pendukungnya. Dengan perhitungan ini, selisih 4-6 persen dukungan suara Prabowo di pemilu presiden 2014 dengan gampang bisa ditutupnya pada 2019. Selebihnya, peluang itu akan bergantung pada respons strategis Joko Widodo, sang inkumben, untuk menandinginya. l
Dodi Ambardi, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo