Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Empat Meriam Setelah Rinai Hujan

Kisruh di parlemen soal serdadu ditanggapi militer dengan aksi massa dan todongan senjata. Tentara pecah, ibu pertiwi hamil tua.

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jumat pagi yang basah, 17 Oktober 1952, setelah semalaman Jakarta diguyur hujan. Selain embun dan sisa gerimis, ada yang tak biasa di Batavia subuh itu: sudut-sudut kota ditempeli aneka pamflet. Ada yang dicetak, ada yang ditulis tangan. Tapi nadanya seragam: tuntutan pembubaran parlemen.

Lalu 5.000-an orang berarak menuju gedung parlemen di Pejambon, Jakarta Pusat—kini Departemen Luar Negeri. Di gedung itu mereka menjungkirbalikkan kursi-kursi. ”Bubarkan parlemen sekarang djuga, rakjat tidak akan membajar gadjimu...,” demikian salah satu plakat, seperti ditulis Harian Rakyat, 18 Oktober 1952.

Dari gedung parlemen, para demonstran menderu menuju Istana Merdeka. Dalam perjalanan, beberapa orang merangsek masuk dan memecahkan kaca gedung Kementerian Luar Negeri, juga di Pejambon. Tapi demonstran lain memberitahukan bahwa bangunan itu bukan gedung parlemen. ”Oh... salah,” kata seorang perusak sambil meninggalkan gedung. Sebagian demonstran menurunkan dan merobek bendera Belanda di muka gedung Komisaris Agung Negara.

Pagi menjadi panas karena tentara tak tinggal diam. Tank dan kendaraan lapis baja diparkir dengan moncong menghadap Istana dan gedung parlemen. Aparat berjaga di muka gedung-gedung dan di simpang jalan. Mereka memakai tanda kain putih di tangan kiri, pundak, dan lengan.

Letnan Kolonel Kemal Idris, yang memimpin pasukan saat itu, menuturkan bahwa empat meriam diturunkan di depan Istana. ”Meriam hanya memberikan suara, tapi tidak ada pelurunya,” kata Kemal, ketika itu Komandan Korps Cadangan Umum. ”Elevasinya tidak kena Istana, tapi melampaui.”

l l l

PAGI itu perang politik antara Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, Kementerian Pertahanan, dan Angkatan Perang mencapai klimaksnya. Semuanya berawal dari rencana pengiriman Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Nasution ke luar negeri selama 6-8 bulan untuk sekolah. Karena kepergiannya dianggap singkat, pemerintah tidak menetapkan pengganti Nasution.

Masalah ini menghangat setelah Kolonel Bambang Supeno, perwira yang dekat dengan Istana, mengirim surat kepada Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Isinya pernyataan ketidakpercayaan kepada pemimpin Angkatan Perang, terutama Angkatan Darat.

Supeno, bekas perwira Peta Jawa Timur, juga mempersoalkan berbagai langkah Nasution dan Kepala Staf Angkatan Perang Mayor Jenderal T.B. Simatupang perihal penunjukan personel tentara dan pengaturan sistem pendidikan di lembaga perang itu. Dilibatkannya Misi Militer Belanda dalam pembinaan prajurit juga dianggap berlebihan.

Para perwira meradang. Mereka gerah dengan langkah Supeno, yang dianggap melangkahi hierarki tentara. Mereka lalu menggelar rapat pada 11 Juli 1952 di rumah Simatupang, yang dihadiri 17 perwira, termasuk tujuh panglima tentara teritorium—sekarang disebut komando daerah militer. Pada 22 Juli, Menteri Pertahanan memberhentikan sementara Bambang Supeno dari semua jabatan di Angkatan Darat.

Supeno melaporkan masalah ini ke parlemen. Perang politik pun dimulai. Pada 28 September, anggota parlemen Zaenul Baharuddin mengajukan mosi tidak percaya terhadap Menteri Pertahanan dalam menyelesaikan konflik Angkatan Perang. Ia meminta selekasnya disusun Undang-Undang Pertahanan Negara.

Dua pekan setelah Baharuddin, Kasimo mengajukan mosi yang lain. Ia menuntut penyempurnaan Angkatan Perang dan pembentukan Panitia Negara untuk keperluan itu. Sehari setelahnya, Manai Sophiaan menambah tuntutan Kasimo, yaitu usul agar Panitia Negara diberi kewenangan memecat pemimpin Angkatan Perang.

”Serangan” parlemen membuat para perwira mendidih. Mereka menganggap parlemen telah memasuki wilayah teknis militer. Kolonel Gatot Soebroto, Panglima Teritorium VII/Sulawesi Selatan, bahkan sampai memberikan ultimatum. ”Pokoknya di sana atau di sini harus bubar!” katanya.

Nasution, dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas, mengungkapkan perasaannya. ”Di hari-hari itu saya tetap berolahraga, berenang dengan keluarga di Cilincing. (Tapi) tiap kali lewat gedung parlemen, rasanya lewatlah kami di depan tempat berbahaya, seakan-akan lewat daerah lawan.”

Dalam sidang 16 Oktober, anggota parlemen menyetujui mosi Manai Sophiaan. Dalam keputusannya, parlemen menghendaki reorganisasi kepemimpinan Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang serta penghapusan ”koncoisme” penetapan pemimpin dan pembelian alat-alat perang. Sekretaris Jenderal Angkatan Perang Ali Budiardjo saat itu adalah ipar Simatupang.

Segera setelah mosi Manai disetujui, militer bergerak. Pada Kamis malam, Wakil KSAD Letnan Kolonel Sutoko dan Letnan Kolonel S. Parman berinisiatif menggelar demonstrasi. Pelaksanaannya diorganisasi oleh Kolonel dr Mustopo, Kepala Kedokteran Gigi Angkatan Darat dan Perwira Penghubung Presiden, serta Letnan Kolonel Kemal Idris. Seksi Intel Divisi Siliwangi mengerahkan demonstran dari luar Ibu Kota dengan menggunakan truk militer. Poster-poster dicetak malam itu juga di percetakan Usaha Pedjuang Republik Indonesia.

Lima perwakilan demonstran diterima Presiden Soekarno di Istana. Mereka meminta Presiden membubarkan parlemen, menyelenggarakan pemilihan umum, dan membereskan kantor-kantor kementerian. Soekarno menjawab bahwa yang berdemonstrasi hanya rakyat Jakarta, bukan seluruh Indonesia. Presiden, yang dalam demokrasi liberal hanya simbol, berjanji membicarakan tuntutan itu dengan pemerintah yang dikendalikan perdana menteri.

Presiden meminta lima orang perwakilan itu menyampaikan hasil dialog kepada demonstran. Ternyata mereka tak berani. Lalu Presiden sendiri yang berpidato di muka massa. ”Utusan kalian menyampaikan tuntutan agar parlemen dibubarkan,” katanya seperti dikutip harian Suara Rakjat. ”Ini jawaban saya: Bapak tidak mau berbuat dan dikatakan sebagai diktator.”

”Siapa hendak memperkosa demokrasi, dia hendak memperkosa kemerdekaan itu sendiri. Siapa hendak diktator, dia akan digilas oleh rakyat sendiri. Bila kita tinggalkan demokrasi, negara kita ini akan hancur....”

Presiden menyatakan sanggup menggelar pemilihan umum secepatnya. Tapi ia meminta masyarakat bersabar karena pemilu butuh persiapan. Setelah Presiden berpidato, massa bubar. Kini giliran para petinggi Angkatan Darat yang dipimpin Nasution menghadap Soekarno.

Dokumen Biro Informasi Staf Angkatan Perang yang disebarluaskan Istana menyebutkan Nasution menyodorkan konsep keadaan bahaya di seluruh Indonesia. Dokumen itu mencatat, dialog terjadi antara Presiden dan KSAD.

Nasution: ”Kami meminta kepada Presiden dapat menerima tentang adanya Keadaan Bahaya di seluruh Indonesia, dan Presiden supaya dapat mengambil kekuasaan sebagai Panglima Tertinggi.

Presiden: ”Apakah Saudara-saudara menghendaki saya sebagai diktator?

Nasution: ”Jika perlu.”

Presiden: Jika saya menjadi diktator, bagaimana kalau saya memecat Saudara sekalian?”

Nasution membantah perbincangan itu. Ia menuduh orang-orang Istana telah memfitnahnya. Menurut Nasution, rombongannya hanya menyampaikan pernyataan pemimpin Angkatan Darat yang diteken 16 perwira. Menurut mereka, parlemen berusaha memecah belah Angkatan Perang. Mereka menuntut parlemen dibubarkan dan diganti dengan yang baru.

Presiden pun berjanji membicarakan masalah itu. Ia meminta para perwira tetap tenang. Untuk itu, ia melarang para perwira menyebarkan pernyataan Angkatan Darat itu ke pers. Nasution mengaku menaati larangan itu dan memerintahkan stafnya membakar salinan surat beserta karbonnya.

Tapi, diam-diam, tentara bergerak....

Segera setelah demonstrasi, militer memutus jalur telepon dan melarang rapat lebih dari lima orang. Mereka memperpanjang jam malam dari pukul 22.00-05.00 menjadi pukul 20.00-05.00. Akibat keputusan ini, banyak penumpang Garuda tertahan di Bandar Udara Kemayoran. Demikian pula penumpang kereta yang jam kedatangannya masuk periode jam malam.

Tentara juga membreidel media massa yang tidak mendukung mereka: Harian Merdeka, Madjalah Merdeka, Mimbar Indonesia, dan Berita Indonesia. Para anggota parlemen yang kritis ditangkap. Mereka adalah Muhammad Yamin, Kasman, Sukiman, Sutan Makmur, Bebasa Daeng Lalo, dan A.B. Jusuf. Menurut Menteri Pertahanan, mereka semua ”ditangkap untuk dilindungi”.

l l l

PERDEBATAN di parlemen padam, tapi pertentangan dalam tubuh tentara justru berawal. Kurang dari sepekan setelah peristiwa 17 Oktober, Letkol Sudirman, perwira di Teritorium V/Brawijaya, Jawa Timur, mengambil alih kepemimpinan dari Kolonel Soewondo. Sudirman menyatakan patuh dan taat kepada Presiden Soekarno.

Sudirman menyalahkan langkah Soewondo yang aktif dalam gerakan menuntut pembubaran parlemen. ”Pimpinan Tentara Teritorium V tidak lagi dapat menerima Overste dr Soewondo, baik sebagai pejabat panglima maupun kepala staf,” kata Sudirman. Soewondo ditahan.

Langkah serupa dilakukan Letnan Kolonel Warouw, Kepala Staf Teritorium VII/Sulawesi Selatan, yang mengambil alih kepemimpinan dari Kolonel Gatot Soebroto pada 16 November 1952. Warouw menahan Gatot di rumahnya. Ia juga menolak penyelesaian peristiwa 17 Oktober yang sedang dirancang Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan.

”Pemberontakan” ketiga dilakukan Letkol Kretarto, yang mengambil alih kepemimpinan Teritorium II di Sumatera Selatan. Berbeda dengan Gatot dan Soewondo, dua koleganya, Letkol Kosasih, pejabat panglima sebelumnya, tidak ditahan.

Dua hari setelah ulang tahun Nasution yang ke-34, 3 Desember 1952, sidang kabinet memutuskan memecat perwira itu. Sebagai penggantinya, pemerintah menunjuk Kolonel Bambang Sugeng. Upacara serah-terima jabatan KSAD dilaksanakan pada 18 Desember 1952.

Menurut pemerintah, pencopotan Nasution itu adalah langkah pertama untuk menyelesaikan kisruh 17 Oktober. Tapi intrik-intrik perebutan jabatan tetap terjadi. Pada 1953, Menteri Pertahanan Iwa Kusuma Sumantri menghapuskan jabatan Kepala Staf Angkatan Perang.

Menteri juga mengganti Hamengku Buwono dengan Kolonel Z. Lubis sebagai Wakil KSAD serta Kolonel Abimanyu dan Kolonel Sapari sebagai Deputi KSAD. Mereka adalah tokoh anti-peristiwa 17 Oktober. Dua langkah Iwa Kusuma itu ditentang para perwira pro-17 Oktober. Tapi Lubis ternyata terus mengusahakan jembatan antara dua kubu yang berseteru di Angkatan Darat.

Pada 21 Februari 1955, digelar pertemuan Yogyakarta yang dihadiri para perwira Angkatan Darat. Empat hari kemudian, mereka menandatangani Piagam Keutuhan Angkatan Darat. Pada tahun itu juga Nasution diangkat kembali menjadi KSAD.

Di daerah, militer terus saja bergolak. Pada 2 Maret 1957, Panglima Tentara Teritorium VII Letkol H.N.V. Sumual menyatakan wilayahnya dalam keadaan perang. ”Demi keutuhan Republik Indonesia pada umumnya, dan rakyat daerah Indonesia Timur khususnya, dengan ini kami nyatakan seluruh wilayah TT VII dalam keadaan perang,” demikian antara lain isi proklamasi oleh Sumual.

Ibu pertiwi hamil tua. Kabinet Ali Sastroamidjojo-Idham Chalid tinggal menghitung hari untuk menyerahkan mandatnya. Ia dianggap tak mampu mengatasi masalah keamanan. Dalam situasi ini, Nasution tetap menjalin kontak dengan Soekarno.

Pada 13 Maret malam, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan wakilnya, Idham Chalid, resmi menyerahkan mandat kepada Presiden Soekarno. Segera setelah itu, Presiden memutuskan untuk menerapkan keadaan darurat perang di seluruh Indonesia. Surat keputusan itu ditandatangani Soekarno dan perdana menteri demisioner, Ali Sastroamidjojo.

Dengan status darurat militer itu, Nasution lebih leluasa memainkan kartunya. Hasilnya, dua tahun kemudian, Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden menyetop Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Keputusan ini memang lama ditunggu Nasution. Dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, militer lunglai dalam politik—mereka harus tunduk kepada politikus sipil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus