Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dengan Pot, Taman Bergantungan

Setelah tanaman hias, kini di beberapa bagian kota terlihat pot-pot bergantungan, hasil sumbangan para sponsor. (kt)

27 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA tak hanya terus dibenahi. Tapi juga makin diperindah. Setelah beberapa waktu lalu trotoar di jalan-jalan protokol hijau oleh tanaman hias dengan berbagai rupa dan bentuk, sejak 6 bulan lalu disemarakkan lagi oleh taman gantung. Yaitu pot-pot bunga segar yang digantungkan pada tiang besi. Taman-taman gantung itu misalnya terlihat di sepanjang Jalan Thamrin, Taman Cut Mutiah, Blok M, perempatan Halim dan perempatan Jalan Pramuka. Pada hari-hari tertentu, pot-pot itu berisi kembang anggrek segar. "Yaitu pada hari-hari sekitar lebaran, Natal, tahun baru, HUT Jakarta dan bila ada tamu negara," jelas Kepala Dinas Pertamanan DKI Jakarta, H.A. Djaelani. Kembang-kembang anggrek itu adalah hasil sumbangan para sponsor yang terdiri dari pengusaha anggrek, petani anggrek, petani bunga dan juga koperasi bunga. Nama sponsor ditulis pada tiang besi tempat pot-pot tadi tergantung. "Untuk itu, kepada mereka tidak dipungut bayaran, sebab kembang anggrek sendiri sudah berharga mahal," tambah Djaelani. Tapi ia menolak menjawab ketika ditanyai biaya pembuatan tiang-tiang besi dan pot pot bunga tadi. Komputer Seorang petani anggrek di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, memang mengakui hal itu. "Saya turut mengisi potpot itu bukan saja karena gratis," tuturnya, "tapi juga karena merupakan promosi agar makin banyak warga Jakarta mencintai anggrek." Bagi petani yang tak mau menyebutkan namanya ini, tak jadi soal harus mengganti kembang anggrek itu tiap 3 atau 4 hari dengan kembang yang segar. "Yang penting hasil kebun saya turut dinikmati orang banyak," tambahnya. Seorang penjual bunga di Jalan Cikini Raya juga berpendapat hampir sama. "Agar orang Jakarta, atau tamu-tamu dari luar negeri tahu, bahwa negara kita juga kaya akan anggrek," katanya. Ia pernah mempromosikan toko bunganya lewat taman gantung itu. Menjelang Natal dan tahun baru, pedagang ini sempat antre menunggu giliran pemasangan. "Sebab kalau banyak sponsor, terpaksa harus digilir," ungkap Djaelani. Namun bagi Dinas Pertamanan DKI taman gantung berarti juga menggugah warga Jakarta yang tak punya halaman luas untuk turut menghias lingkungannya. "Yaitu sebagai ganti tanaman hias atau tanaman pelindung biasa," tambah Djaelani yang pada 1977 lalu mendapat Satyalencana Pembangunan karena jasa-jasanya menghijau- kan Jakarta. Taman gantung ternyata masih berkaitan dengan usaha penghijauan di kawasan Jakarta. Tutur Djaelani lagi: "Kota yang ideal adalah bila 30% dari wilayahnya terbuka, artinya tak ada bangunan. Kemudian, 40% dari wilayah terbuka itu harus terdiri dari taman--baik tanlan yang aktif maupun pasif." Taman aktif adalah berupa rumput atau pohon-pohonan. Sedang yang pasif: tanaman hias, termasuk taman gantung. Adapun Jakarta, kata Kepala Dinas Pertamanan DKI itu, belum termasuk kota ideal. "Dilihat dari jumlah taman, memang sudah cukup," katanya, "tapi ,dari tata letak, masih belum merata terutama karena masih banyak wilayah jalur hijau yang belum dibebaskan." Tanaman hias, bukan saja berupa taman gantung. Juga bermacam tanaman yang disusun menyerupai berbagai bentuk hewan: gajah, bangau, kijang. Ini terutama terlihat di sepanjang Jalan Thamrin dan Jalan Diponegoro. "Di dua jalan itu memang harus diberi tanaman hias dan tanaman gantung," ucap Djaelani pula, "sebab kalau diberi tanaman pelindung yang dapat tumbuh tinggi, dapat mengganggu komputer yang mengamati lalu lintas di sana." Bagaimana mengawasi tanaman itu dari tangan-tangan jahil? Djaelani mengakui pada mulanya para pengawas harus dikerahkan. Misalnya di Jalan Thamrin, katanya, dulu harus diawasi terus menerus oleh l0 orang petugas. "Tapi sekarang, tanpa pengawas pun, tak ada tanaman yang rusak atau hilang," katanya. Malahan, kesadaran warga Jakarta akan pentingnya taman semakin besar. Itu misalnya terlihat pada minat penduduk ibukota untuk mengikuti kursus pertamanan yang diselenggarakan Dinas Pertamanan secara cuma-cuma. Dengan lama kursus 1l/2 bulan, tiap angkatan diikuti sekitar 100 orang peserta. "Sejak diadakan tahun lalu, sekarang sudah mencapai angkatan ke-11," ungkap Djaelani akhirnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus