Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usia Imam Tarjimi baru lima tahun ketika diboyong keluarganya pindah ke Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Berangkat dari Bojonegoro, Jawa Timur, mereka menjadi bagian dari kelompok pertama yang mengikuti program transmigrasi pemerintah pada awal 1970. "Saat datang di sini, semua masih hutan dan pohonnya besar-besar," kata pria 52 tahun itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka lantas membuka hutan gambut untuk membangun permukiman yang menjadi cikal-bakal wilayah Kecamatan Rasau Jaya saat ini. Pemerintah memberi mereka lahan seluas 2 hektare untuk dijadikan ladang. Membersihkan ladang, menurut Imam, menjadi pekerjaan terberat. "Tingkat keasaman tanah tinggi, jadi sulit digarap," ujarnya pada Jumat dua pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak mudah hidup di rimba yang baru dikenal. Modal yang dibawa dari kampung asal pun sedikit, sementara jatah bantuan pangan dari pemerintah terbatas. Akhirnya, banyak pendatang menyerah, menjual sertifikat lahan mereka lalu kembali ke kampung. Tapi banyak juga transmigran yang memutuskan bertahan, seperti keluarga Imam.
Kini Rasau Jaya telah ramai. Jalan utama yang berujung di dermaga Rasau Jaya sudah dibeton. Transportasi air menghubungkan daerah itu dengan kabupaten tetangga, seperti Ketapang dan Kayong Utara. "Dulu, kami yang merintis pembuatan jalan," kata Imam.
Program transmigrasi sangat populer di era Orde Baru. Presiden Soeharto menuangkannya dalam program pembangunan jangka panjang Garis-garis Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Dia menggunakan transmigrasi untuk memeratakan distribusi penduduk sekaligus menyokong program swasembada pangan.
Melejit selama Orde Baru, program pemindahan penduduk di Nusantara sebenarnya sudah ada sejak era kolonial Belanda. Pada 1905, 155 keluarga dari Purworejo, Jawa Tengah, diberangkatkan menggunakan kapal laut ke wilayah Karesidenan Lampung di Sumatera. Mendapat perbekalan dan peralatan, mereka menjadi pionir pembukaan lahan di kawasan itu. Wilayah tersebut kemudian dikenal sebagai Kampung Bagelen, nama yang diambil dari daerah asal para transmigran.
Dalam buku Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia 1905-1985, Slamet Purboadiwidjojo menyebutkan desa inti pertama dibangun di Gedong Tataan, sekitar 25 kilometer dari Kota Tanjungkarang, Lampung. Selama empat dekade setelah pengiriman grup transmigran perdana, pemerintah kolonial berhasil memindahkan sekitar 206 ribu orang.
Adalah Sukarno yang memperkenalkan istilah "transmigrasi" di harian Soeloeh Indonesia pada 1927. Diinisiasi pemerintah kolonial, program tak pupus setelah kemerdekaan. Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam Konferensi Ekonomi di Yogyakarta pada 1946 bahkan menyebutkan transmigrasi sangat penting untuk mendukung industrialisasi di luar Pulau Jawa.
Proyek transmigrasi pemerintah Indonesia dimulai pada 12 Desember 1950. Sebanyak 77 orang dari Bagelen, Jawa Tengah, dikirim ke Gedong Tataan. Tanggal itu kelak dirayakan sebagai Hari Bakti Transmigrasi.
Program transmigrasi berkembang menjadi model pembangunan desa dan daerah. Proyek ini telah menciptakan lebih dari 1.100 desa mandiri. Lebih dari 380 permukiman transmigrasi berubah menjadi ibu kota kecamatan dan 104 lainnya berkembang menjadi ibu kota kabupaten. Ibu kota Sulawesi Barat, Mamuju, dan ibu kota Kalimantan Utara, Bulungan, tercipta dari pengembangan area transmigrasi.
Rezim Orde Baru juga mengembangkan koperasi pertanian, yang juga diinisiasi Sukarno pada 1963. Selama dua dekade menjelang keruntuhan Orde Baru, menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah koperasi unit desa lebih dari 40 ribu dengan anggota aktif mencapai 19,2 juta orang.
Pasokan informasi untuk membangun desa pun ditayangkan lewat siaran Televisi Republik Indonesia (TVRI) sejak 1980-an. Media pemerintah itu membuat program khusus, seperti Dari Desa ke Desa serta Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa (Kelompencapir). "Kelompencapir menjadi ikon televisi," kata Direktur Utama TVRI Helmy Yahya, Senin pekan lalu.
Kelompencapir dirancang sebagai media pertemuan petani dan nelayan di Indonesia. Para petani dari berbagai daerah dipertemukan untuk berkompetisi dan berdiskusi tentang pengetahuan mereka di bidang pertanian. Soeharto pun kerap tampil dalam acara yang juga disisipi lomba cerdas-cermat antarpetani itu. "Ini penyuluhan yang disiarkan, memang menarik kala itu," ucap Helmy.
Pamor Kelompencapir meredup setelah keruntuhan Orde Baru. Padahal, menurut Helmy, program tersebut menarik dan edukatif. Dia membandingkan dengan acara tentang pertanian dan perdesaan yang dialokasikan stasiun televisi pemerintah di Jepang dan Jerman. "Program dikemas dengan menarik," katanya.
Dua dekade setelah reformasi, dari sejumlah program Orde Baru di bidang kesejahteraan itu, beberapa program dipertahankan. Transmigrasi, misalnya, memunculkan desa transmigran yang lalu berkembang menjadi kota terpadu mandiri (KTM). Sejak 2007, berdiri 48 KTM di 23 provinsi. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menyebutkan ada 11 dari 20 KTM yang direncanakan untuk periode 2015-2019. Selama itu pula setidaknya akan ada 10 ribu keluarga yang bertransmigrasi.
Menurut Kepala Desa Sungai Rambutan Willy Ahmad Yani, kampungnya dulu termasuk tertinggal. Kampung yang berada di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, itu berubah setelah gelombang transmigran mengalir pada 2005. Sebanyak 700 dari 810 keluarga di Sungai Rambutan merupakan transmigran dari Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. "Menetap sebagai petani sawit atau karet," tutur Willy.
Keberhasilan pembangunan desa masih dibayangi sejumlah masalah. Ancaman kebakaran lahan gambut terus mengintai setiap tahun. Dua pekan lalu, lahan gambut di kawasan KTM Sungai Rambutan-Parit, Kabupaten Ogan Ilir, terbakar. Dibutuhkan waktu sekitar dua jam untuk menjinakkan api yang menghanguskan lahan seluas 1 hektare.
Padiman, Ketua Rukun Tetangga 05 Sungai Rambutan, mengatakan kebakaran hebat pernah melalap sebagian kawasan Sungai Rambutan tiga tahun lalu. Jilatan api menjalar ke kampungnya di Unit Permukiman Transmigrasi 2. "Warga kampung mampu memadamkan api," kata Padiman, yang dulu hijrah dari Jepara, Jawa Tengah.
Akibat terpapar asap kebakaran, banyak penghuni Sungai Rambutan-Parit menderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). "Setiap tahun sekitar 60 orang terkena ISPA," kata Rosalina, yang bertugas di pusat kesehatan Desa Sungai Rambutan.
Menurut Muhammad Nurdin, Direktur Jenderal Pengembangan Kawasan Transmigrasi Kementerian Desa, pemerintah akan menggandeng pihak ketiga untuk mengembangkan program pemindahan penduduk itu. Mereka juga bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional untuk meminimalkan potensi konflik lahan. "Komoditasnya ditetapkan sejak awal sehingga lahan tidak terbengkalai."
Kemajuan pembangunan desa membuat peluang Kelompencapir untuk kembali mengudara terbuka. Akhir Februari lalu, TVRI membuat kesepakatan dengan Kamar Pertanian Peternakan Indonesia untuk memproduksi program Kelompencapir. "Tinggal kemasannya perlu ditingkatkan sesuai dengan era milenial. Petani muda yang sukses itu banyak sekali," ucap Helmy Yahya.
Dengan sokongan lebih dari 370 pemancar dan 29 stasiun daerah, Helmy yakin program unik seperti Kelompencapir bisa mendapatkan banyak audiens. Suksesnya program ini juga akan mengerek kembali popularitas TVRI. "Tidak ada salahnya meneruskan warisan baik dari masa lalu," ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo