Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kembang-Kempis SD Inpres

Soeharto membangun puluhan ribu sekolah dasar inpres sejak 1973. Jumlahnya menurun drastis akibat beragam persoalan.

20 Mei 2018 | 00.00 WIB

Kembang-Kempis SD Inpres
Perbesar
Kembang-Kempis SD Inpres

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Bangunan sekolah berukuran 20 x 10 meter itu meriah sesaat setelah lonceng tanda jam pelajaran berakhir berbunyi. Ratusan siswa berseragam putih-merah berebutan keluar gerbang, yang lebarnya tak sampai 3 meter. Tak ada yang menduga bangunan mungil itu dijejali 392 siswa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Hanya memiliki delapan ruang kelas dan satu ruang guru yang digabung dengan kantor kepala sekolah, bangunan dua lantai Sekolah Dasar Inpres 03 Paniki Bawah, Kota Manado, itu tampak kecil dibanding Pasar Mapanget, pasar tradisional yang berdiri di sebelahnya. Berbanding lurus dengan luas bangunannya, lapangan upacara dan olahraga sekolah itu pun minimalis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kepala SD Inpres 03 Paniki Bawah, Elisabeth Sumampouw, mengatakan lapangan berukuran 9 x 4 meter itu tak mampu lagi menampung semua siswa saat upacara bendera. Ruang kelas yang ada pun tidak cukup. Sekolah ini membutuhkan 12 kelas-dua kelas untuk setiap tingkat-agar jumlah siswa dalam satu kelas tidak melebihi batas maksimal 32 anak.

Untuk menyiasati kurangnya ruang kelas, sekolah yang berjarak sekitar 20 menit dari pusat Kota Manado itu menetapkan sistem sekolah paralel. Jam belajar-mengajar dibagi menjadi dua sesi, pagi dan sore. "Pagi untuk kelas I-IV, sementara sore untuk kelas V dan VI," kata Elisabeth saat ditemui di kantornya, Rabu dua pekan lalu.

Masalah yang dihadapi SD Inpres 03 Paniki Bawah bukan cuma itu. Untuk menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar, sekolah ini hanya mempekerjakan 16 pegawai, yakni satu kepala sekolah, delapan guru tetap, enam guru honorer, dan satu penjaga sekolah. Tak ada pegawai yang mengurusi tata usaha. Elisabeth mesti turun tangan menangani administrasi.

Kondisi inilah yang membuat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy tergerak memperbaiki SD inpres. Sebab, sejak dibangun 30 tahun silam, mutu SD inpres jalan di tempat. SD inpres didirikan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 1973 untuk memberantas buta huruf. Seiring dengan perkembangan zaman, tujuan itu sudah tak relevan.

Praktisi pendidikan Darmaningtyas menilai Soeharto cukup brilian memanfaatkan kenaikan harga minyak bumi kala itu. Harga minyak yang tinggi membuat pemerintah punya dana lebih. "Oleh Pak Harto, kelebihan anggaran itu dialokasikan untuk pembangunan SD inpres agar angka partisipasi pendidikan meningkat," ujarnya saat dihubungi, Senin dua pekan lalu.

Beberapa tahun kemudian, program SD inpres terbukti berhasil. Pada 1973, angka partisipasi murni SD hanya 62 persen. Jumlah itu meningkat tajam menjadi 92 persen pada 2002. Menurut Darmaningtyas, capaian itu tak lepas dari masifnya pembangunan SD inpres. Sebelum diterbitkannya inpres tersebut, satu kelurahan hanya memiliki satu sekolah dasar.

Menurut data Kementerian, pada 1973, pemerintah Soeharto membangun sekitar 6.000 SD inpres dengan tiga ruangan. Setahun kemudian, ruangan ditambah menjadi enam. "Hingga 1983, ada 80.750 SD inpres yang dibangun," ujar Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Hamid Muhammad, Selasa dua pekan lalu.

Saat ini, kata Hamid, hanya tersisa sekitar 6.000 SD inpres. Kebanyakan sudah berubah nama menjadi SD negeri setelah direhabilitasi atau dibangun ulang. Di daerah-daerah tertentu, beberapa SD inpres mesti digabung karena jumlah siswa di semua tingkat kurang dari 60 anak. "Pada umumnya karena ada redistribusi penduduk," tuturnya.

Menurut Darmaningtyas, jumlah siswa SD inpres mulai menyusut pasca-reformasi, tepatnya pada 2000-an. Salah satu penyebabnya adalah menjamurnya sekolah swasta. Biasanya, sekolah swasta lebih berkualitas. Guru-gurunya pun lebih kreatif dan inovatif. "Karena, kalau sekolah swasta tidak bermutu, tidak akan laku," ujarnya.

Ia mengatakan guru-guru SD inpres terbiasa dengan kultur birokrasi yang lamban dan kurang disiplin. "Mereka santai kan juga tetap dibayar," katanya. Banyak pula guru yang enggan ditempatkan di daerah, terutama yang infrastrukturnya buruk, sehingga sekolah-sekolah di daerah selalu kekurangan guru.

Hamid menuturkan, berdasarkan data yang ia miliki, tingkat ketidakhadiran guru sekolah dasar hanya 9 persen dari total 1,5 juta guru yang ada. Tapi, dari jumlah tersebut, sekitar 15 persen guru SD tidak mengajar di kelas. "Jadi, ada potensi jam belajar efektif seperti yang kami harapkan, yang berakibat pada kompetensi siswa," ujarnya.

Namun Hamid tidak ingin semata-mata menyalahkan para guru. Menurut dia, jika pemerintah daerah memperhatikan para guru, terutama soal honor dan kenyamanan kerja, mereka juga bisa bekerja dengan baik. "Kalau salah satu daerah bisa membangun kualitas pendidikannya dengan baik, kenapa daerah lain tidak? Itu tergantung komitmen pemerintah daerahnya."

Masih banyak pemerintah daerah yang belum mengalokasikan 20 persen anggarannya untuk pendidikan sesuai dengan undang-undang. Menurut Hamid, walaupun sudah diotonomikan sejak 1951, baru sekitar 70 persen SD yang memenuhi standar pelayanan minimal -tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan. "Masih banyak sekolah yang bahkan tidak punya toilet," katanya.

Banyak pula ruang kelas yang rusak parah. Kementerian mencatat ruang kelas yang rusak sebanyak 44 ribu, rusak berat 65 ribu, dan rusak sedang 81 ribu. Jumlah itu mencapai 18 persen dari total ruang kelas di seluruh daerah. "Itu semua akan kami bangun ulang melalui anggaran Kemdikbud dan dana alokasi khusus (DAK)," ucapnya.

Namun, menurut Hamid, anggaran Kementerian sebesar Rp 2 triliun dan DAK Rp 4 triliun tahun ini tidak akan cukup untuk membangun kembali ruang kelas yang rusak itu. Paling-paling, kata dia, dana itu hanya bisa digunakan untuk merehabilitasi sekitar 40 ribu ruang kelas. "Kalau anggarannya tetap seperti itu, ruang kelas yang rusak total maupun berat tidak akan berkurang," tuturnya.

Hal itu dirasakan SD Inpres Paccerakkang, Kota Makassar. Plafon di beberapa ruangan sudah mencuat. Cat dinding pun tampak kusam. Saking lamanya sekolah itu tak mendapat bantuan, salah seorang guru, Munawar Abdul Hamid, lupa kapan terakhir kali sekolahnya menerima bantuan. "Sehingga ruang kelas tak ada perubahan," kata Munawar, Rabu pekan lalu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus