Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Otonomi, Inefisiensi, dan Korupsi

PILIHAN atas desentralisasi dan otonomi daerah, sebagai satu dari "Enam Tuntutan Reformasi", membawa cara baru dalam menyelenggarakan pemerintahan.

20 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Otonomi, Inefisiensi, dan Korupsi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PILIHAN atas desentralisasi dan otonomi daerah, sebagai satu dari "Enam Tuntutan Reformasi", membawa cara baru dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pola relasi pusat-daerah dirumuskan ulang. Akses politik rakyat juga dibuka lebar lewat ajang pemilihan pemimpin di tingkat lokal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam praktiknya, desentralisasi yang ideal tersebut acap tak mewujud. Sesudah dua windu melaksanakan otonomi, aneka ironi hadir berselisihan. Desentralisasi menjelma bagai humus di taman sari inovasi, mengalirkan banyak gairah yang tak terbayangkan di zaman sentralisme Orde Baru. Namun, kontras pada kasus lainnya, eksperimen sistem baru tersebut menghadirkan persoalan pelik yang menjadi pengganjal kemajuan daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Merespons dua tendensi yang saling berpunggungan ini, tawaran solusi pastilah tak gampang disepakati. Apalagi berharap menemukan panasea. Namun, jika refleksi kritis kita fokuskan pada kerisauan publik terhadap noda hitam desentralisasi, inefisiensi, dan korupsi, model-model intervensi patut segera dirumuskan.

Inefisiensi dan Korupsi

Delapan belas tahun otonomi ditandai penguatan fiskal daerah. Tak kurang dari 53 persen uang negara berputar di daerah, termasuk Rp 766 triliun dari total belanja Rp 2.220 triliun (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018) yang disalurkan lewat skema transfer. Kemandirian keuangan daerah memang terbilang rendah dari sisi pendapatan, tapi ruang bagi diskresi di sisi pengeluaran merentang lebar seiring dengan meningkatnya alokasi, insentif, dan bantuan pemerintah pusat.

Tantangan ada pada politik anggaran dan tata kelola (budgetary governance). Bukan lagi berjuang agar makin banyak uang menyebar dari Jakarta ke seantero negeri, tapi bagaimana uang dibelanjakan dengan tepat dan memberi manfaat bagi publik. Mismanajemen masih terlihat pada daya serap (ratusan triliun dana nganggur di bank) dan mutu administrasi laporan keuangan (hanya sebagian kabupaten/kota memperoleh opini wajar tanpa pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan).

Perihal kontribusi manfaat, kualitas hidup manusia adalah tujuan paling paripurna desentralisasi. Sistem ini harus melahirkan manusia unggul yang berbadan sehat (kesehatan), berotak cerdas (pendidikan), dan berkantong tebal (daya beli ekonomi). Sayangnya, laporan Badan Pusat Statistik (2018) menunjukkan masih ada 18 provinsi dan sebagian kabupaten dengan indeks pembangunan manusia rendah dan sedang, khususnya terkait dengan kematian bayi dan putus sekolah. Di aras makro, kesenjangan sosial dan ketimpangan regional menjadi masalah struktural yang seperti sulit diurai.

Mengapa semua itu terjadi? Dari perspektif teknokratik, ada gap yang nyata antara otoritas (uang dan kuasa) yang besar dan kapasitas tata kelola yang memble dalam sistem politik dan birokrasi. Kas pemerintah daerah digerus inefisiensi alokasi: ongkos tukang (pegawai) dan operasional (cost delivery) memakan porsi lebih besar ketimbang ceruk buat rakyat. Pengaruh fiskal terhadap perekonomian berdenyut lemah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah gagal menjadi sumber pembiayaan layanan publik dan stimulan ekonomi.

Namun ada yang lebih berbahaya dari inefisiensi: korupsi. "Desentralisasi" korupsi kini masuk stadium IV, level kritis yang bisa melumpuhkan sel-sel bangsa. Korupsi tersebut merata, berulang, dan masif: sepanjang 2005-2018, sebanyak 348 pemimpin daerah, 3.600 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan 2.000 birokrat terjerat perkara rasuah.

Korupsi politik di era otonomi melahirkan pasar gelap kekuasaan. Kepala daerah memegang kuasa anggaran, lisensi/perizinan usaha, dan alokasi proyek. Resonansinya ke lingkungan pemerintahan memaksa birokrat jadi operator korupsi dari politikus. Sedangkan ke sektor swasta, suap menjadi alat tukar sumber daya publik.

Ibarat sungai, korupsi berhulu di politik, mengalir di sepanjang tingkat pemerintahan (otonomi), lalu bermuara atau mungkin daur ulang di hilir (hukum). Di hulu, politik yang korup yang memproduksi korupsi politik. Diskoneksi antara sistem pemerintahan desentralisasi dan sistem politik/kepartaian yang masih sentralistik membuat tata kelola kekuasaan kedap dari kontrol publik. Terpusatnya kekuasaan pada ketua umum partai menyebabkan proses pengisian jabatan publik tertutup dan ditengarai sarat transaksi.

Tak pelak, calon pemimpin yang memikul beban biaya politik tinggi gampang tergoda setelah terpilih. Keinginan balik modal menjelma menjadi perbuatan saat ada peluang: sistem integritas yang lemah; inspektorat yang tak mandiri; koordinasi, bimbingan, dan pengawasan pusat tak efektif; dan seterusnya. Andai mereka apes ditangkap aparat hukum, penyesalan lekas berganti selebrasi: palu hakim tak membuat jera lantaran sanksi yang ringan dan jarang dilapisi pidana tambahan (uang pengganti, sita aset, cabut hak politik).

Dengan segudang persoalan tadi, ada saja elite politik yang mengusulkan perubahan sistem pemilihan. Pemilihan kepala daerah dituding berdosa telah memproduksi korupsi dan kontestasi berbiaya mahal. Padahal yang terjadi sebaliknya: dalam sistem politik yang korup, pilkada dijadikan sebagai pintu masuk berburu rente (uang saksi), jual-beli tiket (mahar), dan jual uang beli suara (politik uang), yang menjadi penyebab sebenarnya kontestasi tersebut menjadi mahal.

Pintu Masuk Terobosan

Kita memerlukan terobosan yang progresif dan menyeluruh. Di hulu, penanganan penyebab korupsi politik harus dimulai dengan reformasi partai. Negara semestinya menanggung sebagian besar pendanaan partai. Terbatasnya akses finansial partai membuat kader mereka di legislatif/eksekutif menjadi pemasok dana bagi operasi partai dan program politik. Alokasi dana partai yang meningkat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 perlu disimulasikan lagi ke kisaran yang lebih realistis.

Dengan makin besarnya dana ditanggung negara, keuangan partai tidak hanya makin memadai dan mempersempit niat mencari sumber haram, tapi juga membuka ruang negosiasi negara dengan partai. Dana itu menjadi "bantuan bersyarat" bagi pembenahan internal. Pertama, keuangan partai wajib dikelola transparan dan akuntabel (diaudit dan diumumkan). Kedua, tata kelola kepartaian dibuat terbuka dan ada uji publik atas calon-calon pejabat publik. Ketiga, kaderisasi berjenjang dan rekrutmen berbasis merit. Keempat, kode etik bagi perilaku dan tata laksana berpartai.

Jika problem hulu ini bisa teratasi, masalah dalam pemerintahan/otonomi menjadi lebih mudah ditata. Korupsi politik tidak akan banyak melahirkan korupsi turunannya. Pemimpin yang bersih akan lebih mudah membersihkan lingkungan birokrasi dan lingkungan politik (DPRD). Sebagai katup pengaman, hukum mesti bekerja dalam semangat yang menggentarkan, dengan menaikkan beban pidana yang jauh lebih berat dibandingkan dengan kenikmatan melakukan korupsi (cost-benefit ratio).

Selanjutnya, agenda pembenahan otonomi bisa lebih berfokus pada strategi reformasi sisi teknokratik. Efektivitas bukan hanya berarti pemda wajib mencapai target-target besar desentralisasi, pemerintah pusat juga menjadikan pencapaian tersebut sebagai alat ukur untuk memberikan insentif dan disinsentif. Sementara itu, akuntabilitas ditakar dari downward accountability (rakyat) dan upward accountability (pusat) dari sisi administratif, kinerja, dan politik.

Untuk itu, prasyarat menyelenggarakan desentralisasi wajib dibereskan. Kepemimpinan dan manajemen politik pemerintah pusat harus kuat dalam memandu perubahan. Desentralisasi memang membuka ruang bagi kian otonomnya daerah. Namun, tanpa tegaknya wibawa pemerintah pusat, desentralisasi menjadi berbahaya. Otonomi yang makin luas menuntut makin kuatnya kontrol pemerintah pusat lewat instrumen fiskal, regulasi, sistem insentif-disinsentif, dan standardisasi nasional.

Akhirnya, perubahan kualitas hidup rakyat menjadi ukuran yang mutlak. Kebijakan tak bisa ditoleransi lagi jika rakyat terus terlempar ke garis tepi pembangunan dan menjadi tumbal dari buruknya tata kelola dan kejahatan elite. Sebagai sistem pemerintahan, otonomi wajib membuktikan dirinya berfaedah. Jika tidak, ketidakpercayaan rakyat akan memerosotkan legitimasi desentralisasi, yang bisa berujung pada munculnya niat elite politik untuk memutar haluan ke sistem lama.

Robert Na Endi Jaweng
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus