Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Yang Lolos dari Malaise

KRISIS moneter yang menerpa Indonesia pada 1997 hingga awal era reformasi mengubah peta sektor keuangan. Bank-bank kolaps. Sebagian digabungkan agar bertahan dari malaise. Konglomerat yang terpuruk setengah mati bangkit lagi. Sebagian dari nama lama tetap ada di daftar pemilik harta terbanyak. Taipan baru bermunculan.

20 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Yang Lolos dari Malaise

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang Bangkit Setelah Badai

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah konglomerasi mencoba bertahan dari badai ekonomi 1997. Mereka bangkit dengan strategi dan mengintip peluang pasar yang sempit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH segar di ingatan Tulus Santoso suasana sebuah rapat direksi Ciputra Group pada Mei 1998. Krisis ekonomi yang menghantam Asia dalam dua tahun terakhir telah menghajar sendi-sendi grup usaha properti milik Ciputra itu. Tak ada lagi proyek, daya beli masyarakat anjlok, sementara utang ke bank asing dalam mata uang dolar Amerika Serikat jadi melonjak akibat rupiah terpuruk.

Anggota direksi Ciputra Group lesu darah dalam rapat itu. Ciputra tak kurang stres. Ia tampak gelisah memimpin rapat yang tak lagi bergairah. Usaha properti yang dirintisnya dari nol sejak 1981 terancam bangkrut akibat krisis itu. "Sekarang kita harus lihat ke atas," katanya, seperti dituturkan ulang oleh Tulus, dua pekan lalu.

Menurut Tulus, utang Ciputra Group kepada bank-bank luar negeri waktu itu yang seharusnya Rp 360 miliar melonjak menjadi Rp 2,5 triliun akibat rupiah yang anjlok dari 2.200 per dolar Amerika Serikat menjadi 14.000. "Paling riskan ini utang dolar yang naik karena kami tak ada cashflow sama sekali," ujarnya.

Sewaktu krisis itu Tulus menjabat Direktur Keuangan Ciputra Group. Ia yang tampil ke depan bernegosiasi dengan kreditor yang menagih terus karena cemas uang mereka raib akibat para debitor tak sanggup membayar. Ciputra, yang membangun Pondok Indah, Bumi Serpong Damai, dan Bintaro Jaya, juga megap-megap akibat properti mereka tak bisa terjual.

Tulus lalu menawarkan aset-aset berharga mereka kepada kreditor. Masalahnya, bank memandang lain. Mereka menilai aset-aset itu malah tak berharga sama sekali karena tergolong bernilai likuidasi yang justru tak diinginkan oleh manajemen Ciputra.

Untuk meyakinkan kreditor, sembari meminta jadwal ulang pembayaran utang, Ciputra membuat langkah penting yang akan menentukan grup usahanya kelak. Ia melego saham sejumlah proyek prestisius ke pengembang lain yang masih cukup modal. Ciputra, misalnya, menjual saham Bumi Serpong Damai kepada Sinarmas Group. Sementara itu, proyek-proyek di luar Jakarta ia hentikan agar cashflow tak makin merah.

Untuk menekan biaya operasional, Ciputra memangkas jumlah karyawan yang mencapai ribuan serta menutup usaha-usaha yang jadi beban, seperti Bank Ciputra. Menurut Tulus, pada tahun itu setidaknya 30 persen dari total 1.500 karyawan dirumahkan. Mereka ikut tren perusahaan waktu itu yang memecat karyawan karena kesulitan menggaji mereka akibat produksi seret dan tak laku.

Dengan semua langkah itu, perlahan usaha Ciputra bangkit lagi. Arus kas tak lagi megap-megap karena dana operasional mengecil. Mereka mendapat suntikan modal dari penjualan saham dan bisa mencicil utang yang jatuh tempo.

Menurut Tulus, utang-utang itu baru beres pada 2006. "Tahun 2010 kami baru benar-benar bisa membagi dividen dan nilai aset kami naik terus," katanya. Ciputra kembali masuk Daftar Orang Terkaya 2018 versi majalah Forbes dengan nilai kekayaan US$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 19,6 triliun.

Ketika ditanyai soal kenangannya pada saat genting menghadapi krisis, Ciputra mengakui tahun-tahun di sekitar reformasi itu sebagai tahun-tahun yang menguras emosi dan fisiknya. Pengusaha 86 tahun itu pernah merasa sangat terpuruk akibat membuat strategi penting untuk mempertahankan usahanya. "Yang paling berat itu saat memecat karyawan," ujarnya. "Itu saat-saat paling menyedihkan."

Beberapa direktur juga dipersilakan mengundurkan diri di tengah kinerja perusahaan yang buruk. Setelah usahanya kembali pulih, Ciputra memanggil kembali mereka yang berprestasi ke perusahaannya. Salah satunya Artadinata Djangkar. "Sekarang ia satu dari delapan direktur senior Ciputra paling hebat," ucapnya.

Deraan krisis paling hebat dan sangat mencolok menghinggapi grup usaha Sudono Salim alias Liem Sioe Liong, pengusaha paling dekat dengan Presiden Soeharto dan dicatat sejarah sebagai "kroni Cendana"-merujuk pada nama jalan rumah penguasa Orde Baru itu. Salim tak sanggup mempertahankan Bank Central Asia yang uangnya ramai-ramai ditarik nasabah karena cemas uang mereka lenyap.

Dua kali BCA mengalami rush besar-besaran. Pada 1997, ketika krisis mulai terasa, ribuan nasabah BCA mengambil uang secara serempak karena ada kabar Om Liem meninggal. Menurut Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja, Sudono Salim sampai turun gunung untuk menangkal isu dia meninggal. Ia meyakinkan nasabah agar tak menarik uang mereka dari brankas banknya.

Usaha Sudono Salim lumayan berhasil. Tapi ia gagal menahan laju kebangkrutan banknya pada tahun berikutnya. Pada Mei 1998, kerusuhan rasialis pecah di Solo dan Jakarta. Orang kembali datang ke bank untuk menarik uang mereka. "Itu suasananya mencekam sekali," kata Jahja.

Manajemen BCA lalu membuat kebijakan dengan membatasi jumlah uang yang ditarik. Penarikan uang di kasir maksimal hanya Rp 5 juta, di anjungan tunai mandiri (ATM) silver Rp 500 ribu, dan ATM gold maksimal Rp 1 juta. "Nasabah utama kami sesungguhnya mencoba loyal, tapi mereka terpengaruh juga oleh rush," ujar Jahja. Akibatnya, dana pihak ketiga di BCA turun 37 persen.

Kegagalan mencegah rush juga diperparah oleh suku bunga utang yang tinggi, hampir 70 persen. Manajemen BCA tak sanggup lagi menangani bank terbesar di Indonesia itu hingga akhirnya diambil alih oleh pemerintah dengan disuntik modal Rp 26,6 triliun. Setelah diambil alih, BCA menjadi "pasien" Badan Penyehatan Perbankan Nasional hingga dijual ke Grup Djarum.

Suntikan modal dari pemerintah membuat BCA kembali bernapas. Dengan sisa karyawan yang ada setelah gelombang pemutusan lapangan kerja, pelan-pelan mereka meraih kembali nasabah yang kabur. "Tahun 1999 kami sudah tumbuh lagi," kata Jahja. Pada tahun itu dana pihak ketiga naik lagi menjadi 32 persen atau setara dengan Rp 58 triliun.

Pergantian pemilik membuat BCA juga berubah kultur. Putra mahkota Grup Djarum, Armand Wahyudi Hartono, yang baru pulang sekolah master dari Stanford University, Amerika Serikat, masuk ke BCA mewakili keluarga Budi Hartono. Ia anak muda berwawasan bisnis modern dan mempelajari jatuh-bangun ayah-buyutnya membesarkan bisnis rokok dan toko elektronik yang juga hancur dihajar krisis.

Di BCA, Armand menjabat Wakil Direktur Utama, dan menerapkan prinsip SRI: save, reserve, dan invest. Armand menganggap banyak simpanan itu akan jadi penyelamat jika keadaan buruk terjadi lagi seperti krisis 1998. Dengan simpanan itu, ia akan membangun kembali kepercayaan masyarakat selepas kondisi buruk. "Usahakan menabung," ucapnya dalam sebuah kuliah umum di Binus Business School. "Dengan rajin menabung, Anda akan punya duit untuk investasi."

Di luar pengusaha lama yang bertahan dan bangkrut, krisis 1998 juga memunculkan pengusaha-pengusaha muda yang diperhitungkan. Salah satunya Chairul Tanjung, yang memimpin Para Group. Chairul terkenal setelah berhasil mengubah Mega Bank yang sakit menjadi bank yang bugar sepanjang krisis moneter 1997-1998.

Ketika Chairul membeli bank itu pada 1995, kondisinya minus dengan saldo merah di Bank Indonesia mencapai Rp 90 miliar dan 90 persen kreditnya macet. "Operasional Mega Bank pun tanpa teknologi. Semua mengandalkan buku-buku besar. Komputer pun hanya ada dua, di Jakarta dan Surabaya," ujar Chairul dikutip dari buku autobiografinya, Si Anak Singkong.

Resep Chairul menjaga Mega Bank-kemudian berubah nama menjadi Bank Mega-semasa krisis tak lepas dari fokusnya memprioritaskan penyelesaian kredit macet peninggalan manajemen sebelumnya. Ia mengesampingkan pencarian dana pihak ketiga. Prinsipnya, penyakit bank bermasalah selalu ada pada debitor yang juga bermasalah.

Ia turun ke lapangan menagih kredit dari para pengutang yang menunggak. Tak jarang ketika menagih ia mendapat bentakan, gebrakan meja, hingga asbak melayang. Strategi itu terbukti efektif. Kredit macet beres dalam setahun. Maka pada 1997, ketika bank-bank mulai jatuh akibat rush, Bank Mega bertahan dengan dana pihak ketiga yang melimpah.

Modal yang melimpah juga membuka ruang bagi Chairul untuk memberikan pinjaman kepada bank-bank lain lewat Pasar Uang Antar Bank. Kala itu, suku bunga pinjaman antarbank mencapai 300 persen. "Di saat bersamaan, selama krisis moneter, sebagian masyarakat juga banyak yang beternak uang. Karena suku bunga simpanan deposito saja bisa mencapai 70 persen. Nah, ketika itulah Bank Mega untung luar biasa," kata Chairul.

Pada 1998, Bank Mega membukukan keuntungan Rp 12 miliar dan melonjak 20 kali lipat menjadi Rp 240 miliar pada tahun berikutnya. Selepas krisis, usaha Chairul makin besar setelah mendirikan Trans TV, lalu membeli Trans 7 dari Grup Kompas Gramedia, Detik.com, CNN Indonesia, dan jenis-jenis usaha lain.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus