Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERANGKAIAN unjuk rasa mahasiswa pada awal 1998 membuat Soeharto menyadari kepemimpinannya tak lagi dikehendaki. Puncaknya, ribuan mahasiswa menduduki gedung parlemen menuntut dia mundur pada Mei tahun itu. Setelah berkuasa selama 32 tahun, ia akhirnya lengser.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun orde telah berganti, orang yang duduk dalam pemerintahan itu-itu juga. Aktivis yang dulu berjuang di jalanan pun sebagian menjadi elite politik. Mereka menyebar ke aneka partai. Yang paling ekstrem, ada yang ingin membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi, anak kandung reformasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR saat berunjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998.
- DR/Rully Kesuma
Dua Poros Pendudukan Senayan
Gerakan mahasiswa di Jakarta pada 1998 dimotori dua kelompok besar. Soeharto turun lebih cepat daripada perkiraan.
MENJELANG akhir 1997, nyaris saban hari Mohamad Syafi' Ali berkeliling kampus untuk menghadiri mimbar bebas. Krisis moneter yang mengerek harga-harga mengusik mahasiswa. Biaya makan dan fotokopi membengkak dua kali lipat. ”Mahasiswa mulai sadar ada keadaan darurat,” kata mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara angkatan 1996 itu kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Gerakan mahasiswa menghangat pada awal 1998. Mimbar bebas untuk menyuarakan perubahan makin banyak meski diselubungi kecemasan. Tak semua kampus memberi izin. Saat itu Soeharto sedang kuat-kuatnya. Pernah suatu hari Syafi' dan Adian Yusak Napitupulu, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, datang ke Institut Pertanian Bogor. Tak banyak mahasiswa bergabung walau hanya untuk ikut mendengarkan. ”Mahasiswa yang berpidato sempat ditarik-tarik wakil rektor,” kata Syafi'.
Pada Maret 1998, mahasiswa mulai gerah hanya berorasi di lingkungan kampus. Mereka memberanikan diri keluar ke jalan. Di Jakarta Selatan, unjuk rasa dimulai dari kampus Universitas Gunadarma menuju Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila, berlanjut hingga ke Lenteng Agung di depan kampus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta.
Di Jakarta Timur, unjuk rasa dipusatkan di perempatan Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang. Di Jakarta Utara, demonstrasi digelar di Universitas 17 Agustus 1945, Sunter. Di Jakarta Pusat, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menjadi titik kumpul mahasiswa. Di Jakarta Barat, mahasiswa berkumpul di perempatan Grogol, depan kampus Universitas Trisakti.
Aksi massa membutuhkan nama. Syafi' menuturkan, mereka awalnya memakai nama Komunitas Aksi Mahasiswa Se-Jabodetabek. Sebanyak 60 kampus pernah bernaung di komunitas ini. Belakangan, nama ini malah kurang familier. Lebih terkenal nama Forum Kota (Forkot) untuk menyebut unjuk rasa di tingkat kota. ”Kapan nih Forkot lagi,” kata Syafi', menirukan ucapan kawan-kawannya kala itu.
Pelopor unjuk rasa bukan cuma Forkot. Pada era itu, ada Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) yang dibentuk pada 17 April 1996. Generasi awal forum ini pernah berunjuk rasa menolak kenaikan tarif angkutan umum di Departemen Perhubungan. Mereka juga pernah berunjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada 26 Desember 1997 menolak pencalonan Soeharto.
Forum ini makin dikenal publik menjelang kejatuhan Soeharto, seiring dengan makin bergelombangnya demonstrasi mahasiswa. Penggerak kelompok ini antara lain Ketua Senat Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta, Sarbini; dan Henry Basel, Ketua Senat Mahasiswa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta).
Meskipun tidak kentara, persaingan dua kelompok itu terasa di antara para aktivis. Forum Kota diinisiasi kelompok pers mahasiswa dan grup independen di kampus-kampus. Sedangkan senat mahasiswa merupakan lembaga resmi kampus. Syafi' menuturkan, senat mahasiswa kalah langkah karena bergabung belakangan. ”Ya kalah start, kalah berani juga,” katanya.
Sarbini tak menampik hal ini. Menurut dia, Forkot diisi banyak aktivis senior yang terbiasa mengadvokasi. Sedangkan FKSMJ diisi mahasiswa yang baru terjun ke dunia pergerakan. Menurut Sarbini, mereka lebih menggunakan pendekatan akademis ketika berargumentasi. ”Teman-teman di Forkot menganggap kami lembek,” tutur Sarbini.
Forkot dikenal lebih radikal. Adian Napitupulu termasuk yang pertama melontarkan usul agar mahasiswa menduduki gedung DPR. Para mahasiswa membentuk tim kecil untuk mengkaji ide ini. Beberapa kolega, salah satunya Syafi', tak sepakat. ”Adian, kamu kok kejam? Kamu mau jadikan kami seperti mahasiswa di Tiananmen?” kata Adian, menirukan ucapan Syafi' kala itu.
Tiananmen yang dimaksudkan Syafi' adalah Lapangan Tiananmen di Beijing. Pada 1989, mahasiswa memimpin unjuk rasa di lapangan itu memprotes ketidakstabilan ekonomi dan korupsi politik. Aksi ini direspons pasukan bersenjata. Akibatnya, lebih dari 3.000 pengunjuk rasa tewas dalam tragedi pembantaian. Syafi' mengatakan mahasiswa tak benar-benar siap dengan skenario menduduki gedung DPR kala itu. ”Adian terlalu gegabah dan tidak menghitung harga kemanusiaan,” ujar Syafi'.
Adian masih ngeyel. Dalam sebuah rapat di kampus Universitas Negeri Jakarta, Adian kembali menawarkan usul itu. Kerasnya perdebatan bahkan membuat Raymond, mahasiswa Institut Sains dan Teknologi Nasional, naik pitam. Keduanya baku pukul jika tidak segera dilerai. ”Kita tak memiliki pilihan. Melawan mati, diam juga mati. Aku memilih mati dalam perlawanan, lebih terhormat!” Adian berkeras.
Dalam rapat di Fakultas Teknik UKI, Forkot membentuk Tim 11 untuk mengkaji rencana pendudukan gedung DPR. Berdiskusi sejak siang hingga menjelang malam, tim ini gagal mencapai mufakat dan memilih voting. Enam menolak, empat setuju, dan satu orang memilih abstain. Adian masygul. Seorang kawannya menghibur. ”Sabar, nanti kita perjuangkan lagi.”
Ide menduduki gedung DPR sempat mengendap hingga terjadi penembakan di kampus Trisakti pada 12 Mei 1998. Henry Basel mengungkapkan, ide menguasai gedung parlemen kembali menguar. Lima hari berselang, FKSMJ menggelar rapat di Gedung D Universitas Negeri Jakarta. ”Kami memutuskan Senin, 18 Mei, bakal mendatangi gedung DPR,” ujar Henry, yang ditunjuk sebagai koordinator lapangan. Sarbini menuturkan, ”Sudah ada martir. Kalau sudah begini, mau kapan lagi?”
Kabar tentang rapat mahasiswa di Rawamangun rupanya sampai ke telinga Adian lewat rekannya dari Universitas Mpu Tantular. Malam itu juga Forkot mengundang kampus-kampus berkumpul di UKI. Kampus-kampus yang semula menolak pendudukan DPR berbalik mendukung Adian. ”Rapat menyepakati, kami ke DPR pada tanggal yang sama tapi datang lebih pagi,” kata Adian.
Pada 18 Mei 1998 pagi, kelompok-kelompok kecil mahasiswa berwajah tegang mendekat ke kawasan Senayan. Mereka baru mengenakan jas almamater ketika sudah berkumpul di depan gedung DPR. Tentara berseragam dan bersenjata lengkap berjejer menunggu kedatangan mahasiswa. Hingga tengah hari, jumlah mahasiswa makin membeludak. Sebanyak 3.000 mahasiswa ikut turun ke jalan hari itu. ”Tentara tak mengizinkan kami masuk,” kata Syafi'.
Rombongan FKSMJ justru berhasil masuk karena mendompleng rombongan Rektor Universitas Negeri Jakarta yang hendak beraudiensi di gedung parlemen. Tujuan Sarbini dan kawan-kawan sebenarnya hanya mengecek keadaan. Karena itu, jumlah mahasiswa yang ikut rombongan tak banyak, hanya 79 orang. Jika situasi kondusif, senat mahasiswa bakal mengirim massa dalam jumlah lebih besar. ”Kalau memang harus ada korban, biar kami mati duluan,” ujar Sarbini.
Di luar gedung, massa Forkot masih tertahan. Syafi' memimpin negosiasi dengan tentara. Mereka berkeras meminta mahasiswa diizinkan masuk ke halaman kompleks Senayan. Adian menuturkan, tentara kemudian membuka gerbang selebar 1 meter dan mengizinkan mahasiswa masuk. Pada saat itulah dia melihat rombongan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia ikut masuk dengan tanda ban hitam di lengan baju mereka. ”Saya meminta mereka melepas tanda itu,” kata Adian.
Menurut Syafi', pemimpin aksi Forkot sempat memerintahkan anggotanya keluar dari gedung DPR setelah hari gelap. Namun tak sedikit yang bertahan. Henry Basel mengungkapkan, malam itu banyak mahasiswa mendirikan tenda di kompleks parlemen. Akibat pemberitaan di berbagai media massa dalam dan luar negeri, semakin banyak mahasiswa yang berkelimun di Senayan.
Keesokan harinya, Senayan dikuasai mahasiswa. Penguasaan gedung wakil rakyat mengisyaratkan kekuasaan Soeharto makin lemah. Sejarah kemudian mencatat, Soeharto mundur pada 21 Mei 1998, tiga hari setelah mahasiswa menduduki Senayan. Syafi' Ali berseloroh, ”Soeharto mundur terlalu cepat.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo