Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratih Damayanti mengambil satu di antara spesimen itu. Bagian sisi lebar trapesium ia dekatkan pada lensa pembesar yang terpasang di telepon seluler pintarnya.
Ratih lalu membuka aplikasi AIKO (Alat Identifikasi Kayu Otomatis) pada ponsel dan memencet fitur “identifikasi”. Dalam hitungan detik, AIKO menampilkan gambar serat kayu dengan garis-garis diagonal dan lubang pori yang cukup rapat. Pada bagian penjelasan tertulis: “Jati, Tectona grandis L, 2055”. Selain muncul gambar, nama, dan nomor kode, ada penjelasan perihal spesies, suku, nama dagang, status klasifikasi, status komersial, berat jenis, kelas kuat, serta kelas awet kayu. “Dulu semua proses ini harus dilakukan dengan mikroskop oleh tenaga terlatih, sekarang bisa dengan satu aplikasi,” kata Ratih.
Dwi Sudharto, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan sistem AIKO yang diciptakan Ratih sangat praktis untuk mendeteksi jenis kayu secara akurat dan tepat sehingga memudahkan petugas di lapangan. Identifikasi kayu biasanya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dinas kehutanan, dan kepolisian untuk menentukan spesifikasi kayu, baik untuk perdagangan maupun bukti hukum. Menurut Ratih, beberapa perusahaan swasta kerap meminta bantuan Laboratorium Anatomi Lignoselulosa untuk mengecek autentifikasi kayu dalam proses ekspor-impor.
Selama ini identifikasi kayu dilakukan manual di laboratorium. Biaya pengujiannya Rp 250 ribu per sampel. Setelah menerima sampel, petugas laboratorium akan memotong sedikit serat dari penampang lebar atau lintang kayu untuk diletakkan ke dalam preparat. Dengan bantuan mikroskop, akan terlihat citra serat kayu secara detail, termasuk garis dan lubang pori serta warna seratnya.
Citra tersebut kemudian digambar ulang di atas kertas, lalu dicocokkan dengan ciri-ciri kayu autentik yang telah teridentifikasi di perpustakaan Xylarium Bogoriense. Ratih hanya akan merilis hasil identifikasi apabila hasil pengujian sampel sama persis dengan ciri yang terdapat pada kayu koleksi Xylarium. “Dengan cara itu, terkadang ada perbedaan pandangan antarpetugas sehingga harus dicek berkali-kali,” ucap Ratih. Walhasil, proses identifikasi manual ini memakan waktu sekitar dua pekan.
Dengan aplikasi AIKO, kata Ratih, petugas tak perlu berulang kali mengecek penampang kayu untuk menentukan jenis dan spesifikasinya. Data kayu-kayu koleksi Xylarium telah tercatat di dalam pangkalan data AIKO, sehingga aplikasi bisa otomatis mencocokkan gambar kayu dari kamera ponsel. Aplikasi ini juga dapat mendeteksi apakah kayu tersebut masuk kategori jenis tumbuhan dilindungi dengan jumlah tebang yang dibatasi. “Ini bisa jadi rujukan untuk penegakan hukum. Ongkosnya akan lebih murah,” ujar Ratih.
Kini AIKO telah memiliki data 217 jenis kayu dan jumlahnya akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya koleksi Xylarium Bogoriense. Medio Agustus 2019, Ratih menargetkan 800 jenis kayu bisa terdeteksi melalui AIKO. Dengan sistem yang sama, ia juga sedang menyusun metode identifikasi kayu yang dapat mendeteksi umur pohon saat ditebang, asal lokasi, dan apakah pohon tersebut berasal dari hutan tanaman industri atau hutan lindung. Identifikasi ini diklaim belum pernah ada di dunia.
Belakangan, saat Ratih berdiskusi dengan Departemen Pertanian Amerika Serikat, tim bagian Pelayanan Hutan Amerika (US Forest Service) tertarik bekerja sama mengembangkan ide miliknya. Nantinya identifikasi akan menggunakan teknologi laser-induced plasma spectroscopy dan near-infrared spectroscopy. “Proposal kerja sama sudah dibuat. Mereka ikut bergabung,” ucap Ratih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo