Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat lembar kertas buram masih tersimpan di lemari kerja Ratih Damayanti. Angka 97 bertinta merah tertulis di sudut kirinya. Bekas stempel Institut Pertanian Bogor samar-samar tertera di sudut kanan. Itulah lembar jawaban ujian mata kuliah anatomi kayu yang Ratih ikuti 19 tahun silam.
Ratih masih menyimpan lembar jawaban itu karena ia mendapat nilai tertinggi saat ujian. Ia mampu menjawab semua pertanyaan esai dari I Ketut Nuridja Pandit, kini guru besar bidang anatomi kayu IPB, tanpa satu pun soal terlewati. Empat lembar jawaban itu penuh dengan gambar dan tulisan tangan. “Saya benar-benar seperti masuk ke dalam kayu, bukan sedang ujian,” ujar Ratih saat ditemui di kantornya di Laboratorium Anatomi Lignoselulosa, Bogor, Jawa Barat, Selasa, 7 Mei lalu.
Sejak itu, Ratih tekun mendalami seluk-beluk kayu. Ia seperti berkenalan dengan “makhluk” baru. Apalagi, kata Ratih, Ketut Pandit mengajarkan bahwa kayu memiliki hubungan erat dengan kehidupan manusia. Kecintaan pada dunia kayu itulah yang mendorongnya membuat Alat Identifikasi Kayu Otomatis (AIKO).
Penelitian ini sebenarnya sempat terhenti karena Ratih harus melanjutkan studi doktoral di University of Melbourne, Australia. Proyek pembuatan AIKO kembali bergulir pada sekitar 2016-—setelah ia kembali ke Bogor. Ratih meneruskan proyek ini setelah mendapat dukungan dari Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK), Dwi Sudharto.
Riset pembuatan AIKO dimulai pada 2017 dengan menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan KLHK. Ratih menyusun dan memasukkan semua pangkalan data. LIPI membuat program aplikasi. Dananya dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Dwi menilai pengembangan AIKO membuktikan bahwa inovasi hasil Litbang Kementerian dapat bermanfaat langsung untuk masyarakat. “Belum selesai secara komprehensif pun keberadaan AIKO sangat dinantikan banyak pihak,” ucap Dwi.
Ratih mengumpulkan data citra dari koleksi kayu autentik di perpustakaan kayu Xylarium Bogoriense, Bogor, dengan bantuan lensa pembesar 60 kali yang dipasang pada telepon seluler pintar. Dalam aplikasi AIKO, citra diolah hingga menghasilkan profil jenis kayu, nama dagang, berat jenis, potensi kegunaan, dan asal kayu. Proses identifikasi ini diklaim membutuhkan waktu hanya dalam hitungan detik. Namun belum seluruh proses identifikasi kayu memakai AIKO. Itu sebabnya masih ada proses identifikasi yang memakan waktu dua minggu.
Kini sistem AIKO telah menyimpan 217 jenis citra kayu dan akan bertambah hingga 823 jenis. Presiden Joko Widodo meluncurkan temuan ini pada 28 September 2018. Menurut Dwi, alat tersebut dapat mengurangi kesalahan identifikasi kayu dan memudahkan praktisi di lapangan. Sebab, identifikasi yang akurat sangat diperlukan untuk penentuan pemanfaatan jenis kayu dalam industri dan bioforensik penanganan hukum dengan barang bukti kayu. “Kesalahan identifikasi menimbulkan kerugian finansial,” kata Dwi. “Kesalahan identifikasi jenis kayu tidak bisa ditoleransi.”
Dari riset itu, Ratih telah mengantongi dua hak paten, yaitu metode mengidentifikasi spesies kayu menggunakan ekstraksi pola berdasarkan orientasi tekstur dan kombinasi intensitas piksel. Ia juga menggenggam hak cipta terhadap aplikasi identifikasi kayu “WoodID”-—sebelum menjadi AIKO.
Ide membuat sistem ini dipupuk sejak Ratih menjadi pegawai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2006. Mulanya ia ditugasi di kantor KLHK Palembang, bagian silvikultur tanaman. Tak suka pada bidang itu, Ratih pindah ke Bogor untuk bergelut lagi dengan anatomi kayu. Tujuannya pertama kali adalah bekerja di perpustakaan kayu Xylarium Bogoriense di Jalan Gunung Batu Nomor 5, Bogor. Ruangan Xylarium bersebelahan dengan Laboratorium Anatomi Lignoselulosa.
Belum banyak peneliti kayu di Tanah Air ketika Ratih kembali ke Bogor. Xylarium Bogoriense, yang berdiri pada 1915, hanya dipakai oleh segelintir peneliti. Stok spesimen yang digunakan untuk pembanding di perpustakaan itu terbatas. Hasil identifikasi masih berupa tulisan tangan. Sebagian basis data tercatat dalam bahasa Belanda.
Sebelum mengidentifikasi, setiap petugas harus melihat citra penampang kayu dengan kaca pembesar atau sampel serat yang diletakkan di bawah mikroskop. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan kayu autentik yang terdapat di Xylarium. Hanya peneliti berpengalaman yang bisa menentukan jenis kayu dari proses identifikasi itu. “Hasilnya harus akurat dan bisa dipertanggungjawabkan di depan hukum,” ujar Ratih.
Padahal banyak lembaga membutuhkan hasil identifikasi kayu dari Laboratorium Anatomi Lignoselulosa untuk keperluan industri hingga bioforensik. Di tengah keterbatasan jumlah peneliti, Ratih mencoba membuat pencitraan serat kayu dengan alat pemindai kertas miliknya. Ratusan potongan kayu berbentuk trapesium dipindai satu per satu. “Scanner-nya sampai jebol tidak bisa dipakai lagi,” kata Ratih. Ia juga harus membayar mahal untuk bisa mengakses program khusus yang menyediakan pangkalan data.
Ratih kemudian beralih memotret penampang serat kayu dengan lensa pembesar yang dipasang pada kamera telepon seluler Nokia N70. Banyak kolega mencibir terobosan yang ia lakukan. Proyek yang digarap pada 2010-2012 itu telah menghabiskan biaya hingga Rp 80 juta. Namun hasilnya masih nihil.
Ratih terus mempromosikan pembuatan alat identifikasi kayu otomatis ini sambil berharap suatu saat nanti usahanya menuai hasil. Ia percaya teknologi berbasis citra digital memudahkan proses identifikasi-—tak perlu menunggu sampai dua pekan seperti saat ini. “Wajah kayu itu jelas. Tinggal sistem mengenali jenis kayu apa yang paling mirip,” ujarnya. Titik terang muncul setelah ia berkolaborasi dengan LIPI.
Riset bertahun-tahun perihal AIKO ini menuntun Ratih hingga akhirnya dipercaya sebagai Kepala Laboratorium Anatomi Lignoselulosa. Sebelumnya, Ratih adalah salah satu penggerak pengelompokan kayu perdagangan di Indonesia berdasarkan license information unit. Telaah tersebut menjadi bahan dasar revisi surat dasar keputusan menteri mengenai kelompok jenis kayu sebagai dasar pengenaan iuran kehutanan. Ratih juga aktif dalam berbagai organisasi, seperti Asosiasi Internasional Anatomis Kayu dan Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia.
Pada Desember 2018, Ratih dan tim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Badan Litbang dan Inovasi KLHK terbang ke Katowice, Polandia, untuk memperkenalkan inovasinya dalam konferensi perubahan iklim ke-24 (COP 24). Dua bulan kemudian, tepatnya medio Februari 2019, Ratih mendiseminasikan AIKO dan pencapaian perpustakaan Xylarium Bogoriense di Kyoto, Jepang. Upaya Ratih mengembangkan riset anatomi kayu juga membuat Laboratorium Anatomi Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan meraih kategori pusat ilmu pengetahuan dan teknologi unggulan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Inspirasi dari Anatomi Kayu/TEMPO/M Taufan Rengganis
Laboratorium dan perpustakaan Xylarium Bogoriense mendadak kebanjiran kayu sepanjang akhir tahun lalu setelah riset tentang AIKO mulai diperkenalkan ke publik. Ratih menerima puluhan ribu spesimen asal Jawa Timur yang diangkut dengan satu truk fuso. “Ruangan ini jadi lautan kayu sebelum kayu-kayu itu kami sortir dan identifikasi,” kata Ratih.
Di ruangan selebar lapangan basket itulah Ratih dan timnya memilah, mengidentifikasi, lalu menyimpan balok-balok kayu dalam sebuah lemari dan rak. Penyimpanannya dikelompokkan berdasarkan jenis dan asal pohon. Kini Xylarium Bogoriense menjadi xylarium nomor wahid di dunia dengan jumlah spesimen mencapai lebih dari 195 ribu.
Dengan total aset sebanyak itu, hari-hari perempuan 39 tahun ini makin sibuk. Telepon pintarnya berdering berkali-kali saat wawancara berlangsung. Ratih harus ikut rapat bersama timnya untuk menjadwalkan rencana pengembangan AIKO versi beta, yang akan diluncurkan Agustus nanti. Dia juga dipercaya memimpin renovasi Xylarium menjadi perpustakaan besar.
Ratih tak pernah berhenti meneliti kayu. Apalagi ada satu hal yang masih mengganjal di pikirannya. “Yang masih jadi misteri: di mana otak pohon berada?” Ratih bertanya-tanya.
Ratih Damayanti
Tempat dan tanggal lahir:
Jember, 9 Februari 1980
Pendidikan: S-1 Institut Pertanian Bogor; S-2 Institut Pertanian Bogor; S-3 University of Melbourne, Australia
Pekerjaan: Kepala Laboratorium Anatomi Lignoselulosa Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Penghargaan: Satyalancana Karya Satya X oleh Presiden RI (2018); Peserta Terbaik Pertama Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional Peneliti LIPI Tingkat Lanjutan Gelombang VI (2017); Mahasiswa Berprestasi Sekolah Pascasarjana IPB (2009 dan 2010)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo