Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Perlawanan Kafilah Lumpur

16 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUMPUR
Penulis: Yazid R. Passandre
Penerbit: Tonggak, Yogyakarta
Cetakan: I, November 2011
Tebal: 471 halaman

Menimbang kata "lumpur" yang secara lugas dipajang sebagai judul novel karya Yazid R. Passandre ini, sepintas lalu terbayang betapa meluapnya kekecewaan, sakit hati, bahkan amarah ribuan keluarga korban lumpur Lapindo yang hendak digambarkan pengarang. Namun dugaan itu ternyata meleset. Novel setebal 471 halaman ini menukilkan riwayat sejumlah bocah di Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo. Akibat semburan lumpur panas, mereka kehilangan tempat tinggal, arena bermain, dan gedung sekolah.

Tanur, Senjah, Banjar, dan Panji, bocah usia sekolah dasar, yang menjadi poros pengisahan, digunakan pengarang untuk memetakan akibat dari sebuah mahabencana buatan manusia. Penduduk 16 desa di tiga kecamatan itu harus kehilangan tanah, lahan sawah, dan nyala gairah guna melanjutkan hidup. Tengoklah nasib Daya, janda muda yang tersia-sia, yang harus bekerja demi menyekolahkan Tanur. Ada pula Mak Inah, tetua kampung, yang dibunuh secara keji oleh kaki tangan Suro, kepala desa yang membujuk agar Daya menjual sepetak tanahnya.

Tak banyak yang berkelakuan manusiawi sejak kedatangan orang-orang yang hendak mengeruk gas alam di kedalaman tanah Renokenongo. Kalaupun ada, itu hanya Mak Inah (almar­humah) yang paling teguh pendirian mempertahankan tanahnya. Ada pula Kiai Sola, yang dalam situasi miskin berani mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak Renokenongo. Perlawanan lunak (tanpa dukungan siapa-siapa) dari segelintir orang lemah inilah yang dikisahkan pengarang.

Muslihat Suro, yang bersekongkol dengan para pengusaha pengeboran gas alam, pun akhirnya menguap setelah Renokenongo digemparkan oleh peristiwa semburan lumpur panas. Dalam waktu singkat, perkampungan mereka tenggelam. Maka dengan berat hati mereka harus meninggalkan rumah dan segala kenangan tentang kampung halaman. Tanur, Banjar, Panji, Sanip, Daya, dan Ustad Kasan menamai iring-iringan pengungsian mereka dengan "Kafilah Lumpur". Mereka berjalan dengan langkah berat dan perasaan terhina.

Buku ini sama sekali tak berpretensi mengungkap data rumah yang tenggelam dan tentang perdebatan sengit apakah semburan lumpur itu bencana alam atau petaka akibat kelalaian manusia. Pengarang hanya menghidangkan semacam alegori dengan membangun peristiwa-peristiwa sederhana tapi ironis.

Tengoklah ketika Ustad Kasan harus berhadapan dengan pertanyaan kanak-kanak Tanur di pengajian musala. "Apakah peraturan-peraturan dari pemimpin yang ingkar janji tetap harus dipatuhi?" Mereka seolah-olah hendak menyentil tokoh-tokoh terkemuka di sekitar wilayah bencana, yang semestinya turun tangan memperjuangkan ganti rugi, tapi entah karena apa justru bungkam.

Damhuri Muhammad, esais, pekerja buku.

Intel Cekoslovakia di Tragedi 1965

PROLOG G-30-S 1965: ASAL-USUL DOKUMEN GILCHRIST
Penulis: T.H. Bambang Murtianto dkk
Penerbit: Insan Merdeka
Tebal: 299 halaman

Sebuah dokumen penting sampai di meja Menteri Luar Negeri, Kepala Intelijen, sekaligus orang dekat Presiden Sukarno, Soebandrio, pada Mei 1965. "Dibikin" Duta Besar Inggris Sir Andrew Gilchrist, dokumen ini berisi daftar jenderal sekutu Inggris dan Amerika Serikat di Angkatan Darat. Benarkah Gilchrist yang membuat surat itu?

Buku Prolog G-30-S 1965 yang disusun Bambang Murtianto dan kawan-kawan ini menemukan jawaban menarik: dokumen Gilchrist ternyata buatan agen intelijen Cekoslovakia. Penulis mengutip keterangan Ladislav Bittman, Wakil Ketua Departemen D—penyebar berita palsu—Dinas Rahasia Cekoslovakia. Tesisnya, Uni Soviet memerintahkan negara sekutunya itu memperkuat posisi mereka dengan menyebarkan kabar bohong yang mendiskreditkan Amerika, musuh mereka di Perang Dingin.

Bagaikan ikan lapar, Soebandrio melahap pancingan itu. "Our local Army friends" berkembang jadi Dewan Jenderal, yang akan mengkudeta Bung Karno. Di pagi buta, 1 Oktober 1965, Letnan Kolonel Untung menculik enam pemimpin Angkatan Darat untuk mematahkan rencana itu, yang memulai lembaran hitam sejarah Indonesia.

Jejak Militer di Papua

SEKURITISASI PAPUA
Penulis: Tim Imparsial
Penerbit: Imparsial
Tebal: 363 halaman

Apa hukuman bagi penduduk yang membantu Organisasi Papua Merdeka? Warga di Distrik Paniai, Papua Barat, mendapat hukuman ini: ramai-ramai direndam di parit dan disiram dengan air dingin. Jika tak ingin direndam, warga mesti menyetor bebe­rapa ayam ke kantor komando ra­yon militer dan uang Rp 150-500 ribu.

Hukuman ini dilaporkan Imparsial pada 1998 dengan judul Kasus Penyiksaan di Distrik Paniai. Laporan ini bersama laporan lain, termasuk pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua Theys Eluay, dikumpulkan dalam sebuah buku yang diberi judul Sekuritisasi Papua. Diterbitkan Juni tahun lalu, buku ini menyorot kiprah TNI sejak Papua bergabung dengan Indonesia pada 1963. Inilah buku pertama yang memberi gambaran tentang kebijakan militer, beserta implikasinya terhadap perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di Papua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus