Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Detik-detik kematian stalin

Lewat buku "a journey for ourtimes" harrison e salisbury mengungkapkan data baru sekitar kematian stalin. dalam bab "the days of stalin's death". (sel)

11 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN Februari, di Moskow, terasa mulur. Hari-harinya lebih panjang. Angin beruap es bertiup mengiris, sementara salju tak henti-hentinya turun di bawah langit kelabu. Para wanita Rusia menyeret gontai mantel abu-abu mereka di jalan-jalan yang lembab. Hantu mengintip dari tiap pojok, membikin harapan mati dan kehidupan berhenti. Apalagi Februari 1953. "Berhari-hari saya dicekam rasa gamang dan ketakutan," tulis Harrison E. Salisbury. "Empat tahun lamanya saya berada di Moskow sebagai koresponden The New York Times. Saya kenal kota ini. Dan saya tahu apa yang sedang terjadi di balik semua adegan itu." Dari menggali kembali keberadaannya di Moskow, 1949-1954, Harrison E. Salisbury menghasilkan sebuah memoar berjudul A Journey for Our Times. Dan satu bagian dari memoar, The Days of Stalin's Death, cukup mengasyikkan. Karena itu, kita biarkan saja Salisbury melanjutkan sendiri kisahnya. Semua petunjuk mengarah ke sana. Tersebar desas-desus tentang berbagai penangkapan - terhadap orang-orang Yahudi di Ukraina, sejumlah tokoh di Deparlu, bahkan terhadap istri Menlu Vyacheslav M. Molotov. Secara umum, dituding apa yang disebut "komplotan para dokter" - karena ada sembilan dokter Kremlin, sebagian besar Yahudi, yang dituduh bertanggung jawab terhadap matinya sejumlah tokoh politik dan militer. Pergeseran misterius pun terjadi di Georgia dan di kalangan polisi rahasia. Saya tidak ragu-ragu, Stalin sedang "disiapkan" melebihi apa yang dilakukannya sendiri pada masa lalu. Rekan saya, Thomas P. Whitney, dari Associated Press, dan saya sendiri mulai bergadang di Kantor Telegraf Pusat, menunggu-nunggu pengumuman resminya. Pekan setelah 1 Maret tahun itu adalah minggu tugasku. Dan saya memanfaatkan petang Selasa 3 Maret di kamar hotel untuk memonitor kantor berita Soviet, Tass. Ketika itu belum ada radio transistor, sehingga yang menjadi andalanku adalah pesawat radio penerima gelombang pendek Hallicrafters yang besar - yang saat itu menjadi kebahagian seorang komandan CIA. Milikku berwarna abu-abu angkatan laut saya peroleh dari opsir AL yang meninggal. Ukuran dan potongannya bagai lemari arsip besi. Tass mengirimkan laporannya ke berbagai koran daerah di seluruh Uni Soviet melalui radio - mendiktenya kata demi kata, mengeja nama demi nama. Kadang-kadang, diktean Tass memberikan pokok-pokok penting sebelum ia muncul dalam berita telegram utama Tass. Saya mendengarkannya dengan sebelah telinga, sambil menyiasati 15-an surat kabar daerah. Saya berusaha menemukan kunci permasalahan dari apa yang sedang terjadi di balik layar bilik Stalin. Stalin merayakan hari lahirnya yang ke-73 pada bulan Desember sebelumnya. Selama 29 tahun ia berkuasa di Rusia, sebagai di ktator dari segala di ktator. Dalam masa itu negerinya dipagut teror yang mencekam dan berkepanjangan. Angin perang dingin begitu santer bertiup, sehingga saya hampir tak pernah bertukar sepatah kata pun dengan seorang Rusia di luar lingkungan resmi - kecuali koki dan sopir atau segelintir pelayan Hotel Metropol. Itu pun tak lama, setelah itu mereka segera membuang pandang jika melihat saya melintas di koridor. Beberapa saat sebelum tengah malam, dengan menenteng mesin tulis jinjing, saya pergi ke kantor telegraf di Jalan Gorky. Di sana saya menunggu harian Pravda - organ Partai Komunis Uni Soviet terbitan hari itu, dan Izvestia, surat kabar utama Pemerintah. Apa yang sedang saya nanti? Apa yang menakutkan saya dan tiga koresponden Amerika lainnya yang masih bertahan di Moskow, menggeletuk di tengah perang dingin yang sedang mencapai titik didihnya? Hanya ini barangkali: tak seorang pun tahu apa yang akan dikerjakan Stalin selanjutnya. Kami menunggu sejarah 1930-an berulang di antara kalangan atas Soviet sendiri. Pembersihan terjadi lagi, saat revolusi memakan ke dalam, ketika para pahlawan dinyatakan sebagai pengkhianat, dan kegelapan tiba-tiba turun di tengah hari. Berbagai pikiran itulah yang datang melintasi benak ketika saya tegak terkantuk-kantuk di Lorong Masuk 11 khusus untuk wartawan asing Kantor Telegraf Pusat. Kulirik arloji: 2.30 dinihari. Belum ada tanda-tanda munculnya surat kabar. Sejauh yang dapat saya lihat, satu-satunya yang masih terjaga di kantor telegraf itu hanya Vasilyeva, perempuan yang bertugas menerima naskah berita yang akan dikawatkan. Wajahnya hanya tampak melalui lubang kecil di dinding kaca yang berkabut. Pada pukul 3.30 koran belum juga datang, sehingga saya menelepon kantor pengiriman Izvestia. Perempuan yang menerima di seberang sana mengaku tidak menerima kabar beritanya. Pada pukul 4.00 pun surat kabar masih belum muncul. Saya menghubungi lagi. Tidak ada tanda-tanda. Saya mulai gelisah. Jean Noe, koresponden Agence France Presse yang jatuh tertidur di bangku kecil dekat dinding, telah terbangun. Terdengar ia memanggil seseorang. Saya kembali menghubungi Izvestia. Perempuan tadi mengatakan, koran terlambat terbit. Pada pukul 5.00 saya menelepon Tass. Tidak ada, kata suara lelaki yang menyambut - mereka tidak mendengar apa-apa. Tapi dari geletar suaranya ia seperti menyimpan sesuatu. Jean Noe juga mati akal. Kami menghadapi masalah yang sama, tapi ia diam saja. Kami bersaing hancur-hancuran. Beberapa menit sebelum pukul 6, saya menelepon Tom Whitney. "Datanglah," kataku. "Koran terlambat sekali. Sedang terjadi sesuatu, tentunya." Baru pada detik-detik menjelang pukul 8 pagi, segepok koran dibawa masuk oleh seorang wanita bertubuh kecil. Nah, di tengah halaman muka Pravda dan Izvestia terdapat pengumuman pendek yang menyatakan bahwa Stalin mengalami pendarahan otak. Menurut pengumuman itu, yang ditandatangani Menteri Kesehatan A.F. Tretyakov, Stalin dalam keadaan tak sadar diri dan mengalami kelumpuhan setempat. Keadaannya kritis. Serangan pendarahan otak terjadi pada malam 1-2 Maret, "di kediamannya di Moskow" - dan ini berarti Kremlin. Sekarang Rabu pagi. Berita telah digantung sekitar 48 jam. Dalam seketika saya menjadi lega. Saya telah tenggelam dalam ketakutan kalau-kalau ada pengumuman baru tentang "komplotan para dokter". Jangan-jangan akan menimbulkan penyingkapan baru, penangkapan terhadap anggota Politbiro atau malahan koresponden asing, disusul dengan pemeriksaan perkara. Tetapi kini Stalin sendiri yang terganyang. Ini diikuti dengan perasaan yang tak terhindarkan: Siapa yang akan tertuding sebagai penyebab kematian Stalin? Dan tanda tanya lain menggelitikku ketika mempersiapkan laporan, dan hendak mengirimkannya sebagai berita "penting". Stalin telah menangkapi para dokter yang merawat kesehatannya selama beberapa tahun dan kini nyawanyaberada di tangan para dokter baru yang tidak dikenal. Apakah ini sekadar pergeseran yang ironis? *** Dua hari berikutnya melekat benar dalam benakku. Saya menggelandangi Moskow, berbicara dengan para diplomat - dari Amerika, Inggris, dan Prancis. Kulanggar pantanganku berbicara dengan orang-orang Rusia jalanan. Mereka sangat menahan diri, tertutup. Mereka konon tidak tahu apakah penyakit yang menimpa Stalin baik atau buruk bagi dirinya. Dan mereka tidak akan memperbincangkannya dengan orang asing. Saya pergi ke Sinagog (gereja Yahudi) Moskow di Jalan Arkhipov dan mendengar Rabi Kepala Schliffer mengajak jemaahnya berdoa untuk "pemimpin dan guru yang kita cintai, losif Vissarionovich Stalin". Sang rabi kemudian mengumumkan hari berdoa dan berpuasa untuk orang yang anehnya pernah melancarkan kampanye anti-Semit, yang mengisi hari-hari orang Yahudi Soviet dengan teror. Saya datang ke Katedral Yelokhov yang megah. Di sana saya mendengar kepala kaum Ortodoks Rusia, Aleksei, memimpin jemaahnya berdoa khusyuk bagi Stalin. "Semua orang Rusia dan semua orang di mana saja berdoa kepada Tuhan demi kesehatan beliau yang sedang gering," ucapnya santun. Beratus lilin dinyalakan di depan altar bujang dan remaja putri sisi-menyisi di samping orangtua mereka. Bulu kudukku merinding menyaksikan mereka berlutut dalam doa untuk manusia yang beratus kalimenodai Gereja Ortodoks. Moskow sedang melintasi saat-saat yang paling dramatis, tetapi gema yang membias keluar hanya sedikit. Lebih banyak orang memang mengerubungi papan-papan koran dinding. Para pengantre menggerombol di sekitar toko dan warung. Para pelayan Hotel Metropol bercakap-cakap, hampir berbisik, dalam kelompok-kelompok kecil - tak sepatah kata boleh lolos ke telinga orang asing. Sampai dengan Kamis 5 April, Stalin telah sakit selama tiga setengah hari. Itu menurut hitungan resmi. Bergadang satu malam di kantor telegraf dan hanya lelap dua atau tiga jam, saya mulai merasa bahwa pengumuman itu diberikan untuk menyiapkan rakyat bagi kematian sang mahadiktator. Pertanyaan yang telak-melak lalu menggelitik diriku: Mengapa harus menunggu lama dari malam Sabtu, ketika ia dikatakan terserang pendarahan otak, sampai pukul delapan Rabu pagi, saat pengumuman itu dikeluarkan? Dugaan saya, para "kawan terdekat" Stalin demikian mereka biasa menyebut dirinya - harus menunggu untuk melihat kemungkinan apa yang bisa terjadi dengan penyakit "beliau". Jika ada kemungkinan penyembuhan sebagian, mengapa harus mengucapkan sesuatu? Stalin tentu tidak dapat memaafkan kelancangan yang bukan hak. Kelancangan yang bisa mempercepat mereka sampai ke hadapan hamba polisi rahasia. (Saya belum mendengarnya saat itu, tapi hanya beberapa bulan sebelumnya, Stalin telah berkata, "Kalian buta seperti anak kucing baru lahir. Tanpa dia, mereka tidak akan selamat."). Karenanya, mereka mestinya merasa lebih safe menunggu - tidak cuma 24 jam, tapi ditambah 24 jam lagi - dan ketika akhirnya mereka menyiarkan pengumuman pada Rabu pagi, semua sudah tahu ujung kejadiannya. Saya memusatkan perhatian ke Kremlin, ke tempat, menurut dugaanku, Stalin terbaring sekarat. Baru kemudian, melalui rangkaian percakapan blak-blakan Nikita S. Khrushchev dengan berbagai orang Rusia dan asing pada 1956 - setelah "pidato rahasia"nya di depan Kongres XX PKUS - terungkap bahwa Stalin terserang penyakit di vila luar kotanya di Kuntsevo, dekat Moskow. Selama beberapa tahun Stalin tinggal di kediamannya itu - disebut Blizhny ("yang terdekat") untuk membedakannya dengan yang lain, vila-vila yang lebih jauh. Karenanya, ia acap terlihat mondar-mandir ke Kremlin di dalam konvoi-konvoi yang melaju dengan kencangnya di jalan-jalan. Merasa akan memperoleh berita besar tentang kematian Stalin, saya memutuskan mendirikan pangkalan di Kantor Telegraf Pusat dan tinggal di sana sampai beliau meninggal. Pada Kamis pukul 7 petang, saya memboyong Hallicrafters saya - seberat 40 atau 50 pon - ke kantor kawat. Tidak tampak seorang rekan pun, hingga gentar juga saya membawanya masuk Soalnya, tindakan ini terbilang belum pernah dilakukan seorang pun sebelumnya. Belum sampai 10 menit berlalu, dua orang serdadu berseragam muncul dengan bedil berbayonet terhunus. Oh, Tuhan, pikirku, saya segera ditangkap pada malam kematian Stalin. Mereka tampak bengis. Mereka ingin tahu, jenis mesm apa gerangan yang kubawa ke sana. Saya katakan: ini perangkat radio penerima. Perangkat radio di kantor kawat? "Vospreshchayetsya!" terlarang! Mereka menyangka bahwa benda itu adalah pesawat radio pemancar, lalu memerintahkan saya membawanya keluar. Saya melaksanakannya dengan sukacita. Untungnya, mobilku sudah menanti di luar. Kuberikan Hallicrafters kepada sopirku, Dimitry Grigorievich, yang menyetelnya pada gelombang siaran diktean Tass, dan kuminta ia mendengarkan berita tentang kematian Stalin. Bila ia mendengarkan sesuatu, ia datang diam-diam - diam-diam, kataku ke kantor telegraf, dan berbisik ke telingaku. Saya kembali masuk. Rekan-rekan mulai datang. Kami saling menatap penuh arti, seperti anjing-anjing kelaparan. Ada siaran pers baru pada pukul 8.45 malam: kesehatan Stalin menurun. dengan cepat. Saya langsung mengirimkan berita ke London untuk diteruskan, kemudian berkeliling dengan mobil yang dilarikan cepat-cepat ke sekitar Kremlin. Terlihat banyak mobil diparkir di Lapangan Merah. Cahaya lampu menerobos dari gedung-gedung pemerintah. Bendera berkibar penuh di puncak tiang bangunan utama istana. Kembali ke kantor telegraf, saya mempersiapkan kerangka laporan yang dapat segera saya minta kawatkan jika Stalin benar-benar mati. Saya menguping pada siaran berita tengah malam. Nol. Beberapa detik setelah pukul 4 pagi, sopirku menyelonong masuk dan berbisik ke telingaku. Diam-diam saya bangkit dan memberikan naskah berita yang sudah disiapkan tentang kematian Stalin kepada petugas kantor kawat. Saya juga menyerahkan pesan kode yang sudah disepakati sebelumnya, tertuju kepada editor luar negeri The Times, Emanuel Freedman: "Freedman, rekening pengeluaran terakhir diposkan malam tadi. Salam, Salisbury." Sebelum saya sempat kembali ke mesin tulisku, keributan sudah pecah. Para petugas pengirim telegram mulai sibuk, meneriakkan sambungan telepon ke London dan berlarian ke meja telepon untuk menjawab panggilan. Dalam beberapa menit, seorang tukang listrik berseragam yang terkantuk-kantuk muncul. Saya lihat, ia merenggut belakang swichboard telepon dan menyentakkan sampai putus kabel utamanya. Moskow menyiarkan berita kematian Stalin di dalam beberapa bahasa. Tetapi kami koresponden di Moskow tidak dapat mengirimkan sepatah kata pun. Sebuah kopi naskah yang saya siapkan untuk dikawatkan - termasuk pesan "rekening pengeluaran"-ku kepada editorku - diberangus sensor. Saya menyelinap keluar untuk menelepon Spaso House, kedutaan AS, menghubungi Jacob Beam teman lama saya dari London yang kini menjadi kuasa usaha di Moskow. Saya tahu inilah saatnya ia tidak keberatan tidurnya terganggu. "Ia meninggal pukul 9.50 malam tadi, Jake," kataku. "Trims," jawab Jake, dan memutuskan hubungan. Saya cagak-cagak di sana sampai 5.30 pagi, lalu keluar keliling ke pusat kota. Hari masih gelap, dan bintang-bintang merah gemerlap bagai permata di menara Kremlin. Lonceng menara Spassky mendengungkan waktu. Anggota Polantas dalam seragam tebal dan kerah bulu domba berdiri di gardunya di bawah cahaya benderang lapangan pusat. Tidak ada kendaraan lalu lalang. Ketika kembali ke kantor telegraf, saya melihat sebuah konvoi kecil truk sedang menuju Jalan Gorky. Saya menulis lagi naskah berita, menyerahkannya dan mengirimkan nota protes kepada sensor sambil meminta agar berita itu diperbolehkan dikirim. Jawabannya - seperti yang saya duga - nol. Kembali saya keluar dari kantor telegraf. Moskow mulai menggeliat. Bis-bis berlarian. Lagi dan lagi konvoi berdatangan ke jantung Moskow - truk-truk hijau lumut, dengan para serdadu duduk berbanjar dengan tangan masing-masing memegangi bahu temannya. Ada 22 orang tiap truk, merupakan pasukan khusus bertopi merah biru dari M.V.D. (Depdagri), yang bertangsi di sekitar kota. Saya bingung, dan bertanya tanya sendiri apakah kudeta sedang berlangsung. Beberapa saat sebelum pukul 8, bendungan pecah. Naskah berita kami mendapat kliring dan hubungan telepon kami mendapatkan sambungan. Saluran ke Paris tersambung, dan saya mendiktekan naskah berita saya untuk di-relayke New York. Saatnya sudah tengah malam. *** Ketika saya meninggalkan kantor telegraf, kota sudah penuh dengan kesibukan. Dvorniki, portir gedung-gedung, mulai mendandani bangunan dengan hiasan mawar hitam dan warna serba merah, serta bendera-bendera merah dengan pinggiran hitam di puncak-puncak tiang. Di Gedung Tiang-Tiang, dulu klub para bangsawan, para pekerja merentangkan pita hitam dan merah, dan menggantungkan potret Stalin berbingkai keemasan di dinding-dinding. Di sini, jasad Stalin akan dibaringkan. Di sebuah bangunan kuno yang anggun, dengan tiang-tiangnya yang putih dan kandil-kandil kristal, tempat keningratan para tzar memperagakan dirinya dulu. Di sini, satu demi satu, Stalin menyeret para bolshewik tua Lev Kamenev, Grigory Zinoviev, Nikolai Bukharin dan lainnya - ke Mahkamah, kemudian ke Bukit Lubyanka. Itulah nama penjara polisi rahasia, tempat para komunis bangkotan itu disudahi hidupnya dengan butir peluru pistol Nagan di batok kepala. Cocok sekali, kukira, Stalin terbaring di ruang ini. Dengan satu atau lain cara, mereka semua mengakhiri hidupnya di sini di tengah kemilau warisan senidinasti Romanov. Kembali melangkah ke Lapangan Merah, saya melihat kerumunan sekitar dua atau tiga ribu orang berdiri di seberang Gerbang Spassky. Mereka sedang menunggu jasad Stalin dibawa keluar. Hanya beberapa jam setelah pengumuman kematian Stalin, orang-orang mulai berdatangan dan berkumpul atas kemauannya sendiri - tanpa perintah, tanpa agitprop. Belum pernah saya menyaksikan sebelumnya ada orang-orang yang sudi berkumpul atas kehendaknya sendiri, di Rusia ini. Di sana sini, seorang perempuan tua menangis sedikit - cara lama untuk berkabung. Nah, sekarang pasukan keamanan ada di manamana. Mereka bergerak masuk dari segala penjuru. Bis-bis berhenti. Para penumpang mobil dan truk melenyap. Lalu, tank-tank muncul di pangkal Jalan Gorky. Tidak ada pasukan reguler - cuma pasukan keamanan bertopi biru-merah. Mereka menempati sekitar garis lingkar "tenggorokan" Moskow. Bergerak tahap demi tahapdan mengepit makin rapat, mereka menyumbat arus lalu lintas dan memblokir jalan-jalan dengan barikade truk dan tank. Lihat, sekarang mereka mulai memasuki Lapangan Merah, hanya beberapa gelintir mulanya. Mereka mencegah rakyat masuk, kemudian perlahan-lahan tapi pasti - tanpa paksaan, tanpa perintah - berhasil menggiring balik kerumunan massa ke luar lapangan. Dengan demikian, mereka berhasil melapis sisi luar pusat kota. Selama beberapa hari kemudian, saya berhasil menggelandang di jantungnya jantung kawasan pengamanan Moskow. Menyelinap perlahan-lahan ke Lapangan Merah, lapangan yang di jaga ketat - tak seorang pun boleh berada di sana kecuali yang ada urusan dengan penyiapan pemakaman Stalin. Saya datangi lokasi permakaman seolah-olah saya bertugas melakukan inspeksi atas nama Komite Sentral PKUS. Mengawasi apa yang sedang dikerjakan, dan pergl tanpa dapat gangguan dari penjaga keamanan. Tidak pernah terlintas di benak mereka bahwa ada yang berani melintasi kawasan terlarang itu, tanpa hak. Peristiwa yang mirip terulang ketika saya meninggalkan Hotel Metropol pada hari Ahad pagi-pagi sekali. Dengan berjalan kaki, saya dengan santai melalui barikade demi barikade, saat para prajurit menghangatkan tubuhnya di api tabunan. Seluruh lingkar dalam - disebut "kota batu putih" - berada dalam penguasaan pasukan keamanan, seperti juga "lingkaran kebun" dari jalan-taman di dekatnya. Saya kemudian pergi ke stasiun kereta api Kursk, bermaksud menumpang kereta listrik pergi ke Saltykovka. Di desa ini saya menyewa sebuah gubuk yang saya gunakan pada bulan-bulan musim panas. Yang ingin saya ketahui dengan pergi ke sana: apa yang terjadi di daerah pedesaan. Tetapi di stasiun saya menjumpai seorang warga Moskow yang sedang berang karena membaca pengumuman dalam tulisan tangan. Diumumkan bahwa layanan kereta api ke luar Moskow tetap berlangsung seperti biasa, tetapi tidak akan ada kereta yang kembali ke ibu kota. Jika saya pergi juga ke pedalaman, jangan harap saya bisa kembali pulang, pikirku. Alasannya tidak sulit diduga. Ketika Lenin meninggal pada tahun 1924, puluhan ribu orang Rusia pedalaman bergelantungan di kereta-kereta api untuk menghadiri pemakamannya di Moskow. Hal ini tidak boleh terjadi terhadap pemakaman Stalin. Tidak seorang pun dapat masuk ke ibu kota. Moskow, dan semua jalan masuknya, berada dalam pengawasan ketat pasukan keamanan. Kenyataan ini segera menyadarkan saya bahwa Moskow berada di dalam genggaman Lavrenti P. Beria, kepala polisi rahasia. Para serdadu itu adalah pasukannya, berikut semua tank, truk, senjata semua miliknya. Ia renggut Kremlin ke dalam genggaman kekuasaannya. Sialan, saya tidak mendapatkan jalan untuk melaporkan semua perkembangan keadaan. Sensor berhasil menjegal semua upaya. Tapi saya harus memuji "pengendalian-lalu lintas" yang efisien oleh polisi. "Keahlian" mereka dalam mencegah kemacetan lalu lintas di jantung kota. Juga terhadap "langkahlangkah khusus" yang mereka ambil untuk mengendalikan ratusan ribu pelayat jenazah Stalin di Gedung Tiang-Tiang. Belakangan saya mengetahui alasan khusus kepekaan dan keketatan sensor: Beberapa ratus penduduk Moskow tewas ketika antrean para pelayat tidak dapat mengendalikan diri dan terperangkap dalam kekacauan. Ini terjadi di lingkar dalam Moskow. Stalin dimakamkan pada Senin pagi, 9 Maret. Tiga tokoh tampil berpidato di puncak mausoleum Lenin Georgi Malenkov, Lavrenti Beria, dan Vyachevlav Molotov. Malenkov, lelaki setengah baya berwajah bocah, muncul luar biasa menari k. Ia berbicara dalam bahasa Rusia tinggi dan indah. Saat itu ia men janjikan dirinya sebagai rezim baru yang berpendidikan. Berita tampil dalam kesan yang menjilat dan sekaligus merendahkan rekan-rekannya. Di atas segalagalanya, mereka berada di dalam genggamannya, yang menguasai pasukan keamanan. Molotov, lain sendiri penampilannya. Bagiku tampak ia paling merasakan kehilangan. Namun kata-kata yang diucapkannya tumpul rasa, seperti lazimnya. Tiada perasaan kepenyairan dalam dirinya, yang senantiasa menampilkan kekerasan hati, sehingga menerima julukan mengejek: kamyennyizad - batu padas. Tetapi ketika kata-katanya keluar, wajahnya seputih kapas. Buru-buru saya menggoreskan kesan di buku notes: "Suaranya begitu sendu!" Saya tahu istrinya berada dalam tahanan. Yang saya tidak tahu bahwa sejak istrinya ditahan pada 1949, Molotov sendiri mulai diasingkan dari lingkaran dalam Stalin, tidak diikutkan dalam acara minum-minum larut malam di Blizhny. Stalin telah menetapkan Molotov sebagai sasaran berikut mimpi buruknya. Molotov sehdiri tahu itu. Namun, dialah yang justru nyaris menangis ketika berbicara tentang tuannya yang tiran itu. PADA pukul 11.50 siang, Molotov menutup pidatonya. Orkes Tentara Merah, 300 orang semuanya, memainkan "Mars Penguburan" Chopin. Para pemimpin turun dari puncak mausoleum. Peti jenazah berwarna hitam merah, di dalamnya Stalin berbaring, diletakkan di depan gerbang makam. Suasana pun menjadi hening. Jarum jam menara Spassky menunjuk ke atas. Lonceng menara berdentang dan tembakan kehormatan menggema. Malenkov, Molotov, Beria, dan lainnya mengangkat keranda dan mengusungnya bersama masuk ke dalam pemakaman. Setiap pabrik di Moskow menjeritkan peluitnya, kemudian jatuh kembali ke dalam keheningan. Tembakan mengguntur sampai pukul 12.30. Di seluruh Rusia, setiap kendaraan berhenti bergerak setiap kereta api, trem, bis, truk, mobil. *** Pada tahun-tahunku di Moskow, saya sering kali membaca nama Stalin - tertera 200 kali di halaman depan surat kabar Pravda pada hari yang sama. April 1953, bulan setelah kematiannya, nama Stalin menghilang dari pers Soviet. Tetapi apa pun yang dilakukan, para penggantinya tidak mampu mengikis kesan begitu mendalam yang ditinggalkan Stalin. Bahkan setelah rahasia Stalin teru ngkap pada tahun 1956 yang membuahkan kutukan terhadap Stalin, sehingga dosa-dosanya diketahui di seluruh Rusia dan dunia, masih banyak pertanyaan yang tak terjawab. Tiga puluh tahun kemudian, teka-teki masih tetap bertahan. Dalam keadaan bagaimana dan dengan cara apa Stalin melancarkan pembersihan dan memaksakan pengakuan Bukharin, Zinoviev, Kamenev, dan yang lainnya masih belum diketahui. Sosok Stalin, yang begitu sering dituduh memanipulasikan "penyakit fatal" dan menggunakan racun untuk memusnahkan saingan dan musuh-musuhnya, tetap merupakan kabut yang menggelantung di atas pentas Rusia. Pertanyaan serupa juga muncul kembali terhadap hari-hari akhir Stalin. Setelah Beria ditangkap pada bulan Juli 1953, saya mulai menyadari bahwa dalam bulan-bulan terakhir kehidupan Stalin, Beria sendiri sudah banyak kehilangan kekuasaan. Jelas, sudah nasibnya dia masuk "sabetan akhir" Stalin. Apakah lelaki bermuka berlemak itu membiarkan dirinya begitu saja masuk dalam jerat? Segera setelah penangkapannya, saya mendengar cerita tentang bagaimana ia bersimpuh sujud di ranjang pembaringan Stalin ketika mengetahui si sakit mulai pulih kesadarannya dan menghiba-hiba, "Maafkan hamba maafkan hamba." Belakangan, saya mendengar pula bahwa, saat dihadapkan ke mahkamah militer untuk mendengarkan pembeberan para janda kawan-kawan separtai yang dibunuhnya, ia kembali sujud bersimpuh terampun-ampun. Begitu kerasnya ia menghibahiba, sehingga memaksa pengawal menyeretnya ke gudang bawah tanah Lubyanka untuk menerima nasibnya di hadapan regu penembak. Pengecut memang, si Beria ini. Tapi apakah ia dan kawan-kawan Politbiro-nya menunggu seperti "kucing buta" sampai tuannya membinasakan mereka? Saya tidak menganggap demikian. Banyak tokoh penting lingkaran Stalin lenyap begitu saja. Seorang di antara mereka adalah pengawal pribadinya, Jenderal Nikolai Vlasik. Lainnya adalah sekretaris pribadinya yang bengis, Aleksandr Poskrebyshev, yang ditangkap - baru sekarang saya tahu - pada Februari 1953. Komandan Kremlin mati tiba-tiba Februari itu juga. Para dokter yang merawat Stalin bertahun-tahun diam-diam diciduk, pada musim uur 1952. Stalin menyimpulkan bahwa Marsekal Klimenti Voroshilov, teman minumnya sejak hari-hari di Tsaritsyn, 1912, telah bertahun-tahun menjadi spion Inggris. Anastas 1. Mikoyan, rekan anggota Politbiro yang seasal (Kaukasus), juga masuk daftar hitam. Lingkaran dalam Stalin menyusut menjadi hanya Malnekov, Beria, Bulganin, dan Khrushchev. Apakah kuartet itu yang mendorong laju kematian Stalin? Setelah "pidato rahasia" Khrushchev, kisah melodramatis pada hari-hari menjelang kematian Stalin beredar di Moskow dari mulut ke mulut. Tentang Voroshilov yang mencampakkan kartu anggota partainya di meja depan Stalin. Tentang Lazar Kaganovich dan Molotov yang menyerang tuan mereka. Tentang seluruh anggota Politbiro yang menentang rencana pembersihan Stalin terhadap Yahudi Kusia untuk kemudian dikirim ke Siberia. Dikisahkan pula kemudian bahwa rencana itu sudah demikian matangnya sehingga Pengarang Ilya Ehrenberg dipilih menyampaikan petisi kepada Stalin. Dalam petisi itu, llya memohon agar memperbolehkan Yahudi Rusia pindah sendiri ke Siberia sehingga luput dari tindak amarah orang Rusia "pribumi" terhadap kejahatan mereka. "Kejahatan" itu adalah: terlibat dalam "komplotan dokter", dan rencana mendirikan Negara Yahudi di Cremea, dan lain-lain yang tak masuk akal. Sumber informasi penting tentang jam-jam akhir Stalin adalah penuturan yang diberikan Khrushchev dalam memoarnya, yang terbit di Barat, dan dari percakapan-percakapannya. Apa pun variant-nya salah satu unsur dari kisahnya dapat dinilai konstan. Pada petang dan malam Sabtu 28 Februari sampaiAhad 1 Maret, dia, Malenkov, Beria, dan Bulganin sedang ngeriungdengan Stalin. Mereka menonton film di Kremlin, kemudian pergi ke dacha ("pondok") Blizhny dan minum-minum sampai pukul 5 atau 6 pagi. Khrushchev bilang, Stalin sehat-sehat saja, cukup bersemangat, tapi agak mabuk. Hari Sabtu petang, Khrushchev menunggu panggilan telepon dari Stalin untuk undangan ke Blizhny. Ini kebiasaan yang sudah lama. Ketika ia sudah berada di tempat tidur, datang telepon dari Malenkov, yang bercerita tentang para pengawal di Blizhny yang mengkhawatirkan: Stalin tidak muncul untuk santap malam, yang biasanya dilakukannya pada sekitar pukul 11. Malenkov mengusulkan agar Khrushchev, Beria, dan Bulganin bertemu di vila (Blizhny) dengan segera. Saat menjelang empat sekawan itu bertemu di sana, perwira pengawal mengirimkan seorang pelayan tua, Matryona Petrovna, masuk ke kamar Stalin kamar tempatnya bekerja, makan, tidur, di sebuah dipan dan menyelenggarakan perminuman. Nenek Petrovna menemukan Stalin tertidur di lantai. Waktunya kira-kira pukul 1 dinihari. Para pengawal mengangkat dan meletakkan beliau ke atas dipan. Khrushchev berkata bahwa ia dan rekan-rekannya tidak menganggap"pantas" menyatakan kehadiran mereka ketika Stalin berada "dalam keadaan tak layak begitu". Mereka kemudian pergi. Tetapi, katanya, mereka kembali lagi ke vila beberapa jam kemudian - lagi-lagi atas permintaan para pengawal. Matryona Petrovna dikirim untuk kedua kalinya. Stalin masih tetap terlelap, tapi itu "jenis tidur yang tidak biasa". Empat Serangkai lalu memanggil beberapa dokter, yang menemukan Stalin dalam keadaan setengah lumpuh, akibat suatu serangan penyakit. Ia dalam keadaan koma. Khrushchev tidak menyebutkan waktu terjadinya peristiwa, tapi tentunya dinihari Minggu, 2 Maret. Anak perempuan Stalin, Svetlana, dan putranya, Vasily, dipanggil datang ke dacha pada hari Senin mungkin di awal petang. Pada saat itu, Mikoyan dan sejumlah besar pejabat tinggi sudah hadir di sana. Molotov tidak. Ia tidak diperbolehkan masuk ke kamar sekarat Stalin. Svetlana, yang berada di sana sampai pukul 9.50 hari Kamis, 5 Maret, menuturkan kepada kita jam-jam terakhir ayahnya melalui buku Dua Puluh Surat kepada Seorang Kawan. Buku itu terbit setelah ia bermukim di Amerika Serikat, 1967. Gambarannya mendukung bukti-bukti bahwa Stalin mendapat serangan penyakit. Namun, belum terdapat penjelasan tentang peristiwa-peristiwa yang ganjil pada malam Minggu, 1 Maret. Tentang: para pengawal memanggil empat sekawan anggota lingkaran dalam setelah tengah malam, dan kegagalan mereka bertindak begitu tiba di tempat. Ada kemungkinan bahwa tidaklah lazim bagi Stalin menjadi sangat mabuk, lalu jatuh tertidur. Tapi datang ke vila, tidak menengok Stalin yang tak sadar diri, meninggalkan pergi, dan kemudian datang kembali, pada Ahad pagi-pagi sekali, adalah peristiwa yang menimbulkan tanda tanya besar. Apakah mereka menganggap pada mulanya, seperti dalih Khrushchev, bahwa si tua bangka itu hanya jatuh mabuk kembali? Atau, apakah mereka mengharapkan sesuatu yang lebih serius terjadi, dan bahwa jika membiarkannya beberapa jam lagi memungkinkan mereka mendepaknya untuk selama-lamanya? Apakah mereka sungguh-sungguh tahu yang lebih serius merupakan kesalahan? Apakah pada Sabtu malam sebelumnya Stalin masih sesegar, sering, seperti yang digambarkan Khrushchev? Atau, apakah suatu percekcokan besar telah pecah ? Menurut salah satu penjelasan Khrushchev, mereka tahu bahwa perkara dokter akan disidangkan pada pertengahan Maret. Apakah mereka membiarkan peristiwa-peristiwa berkembang sendiri dan menggulung semuanya? Tiga di antara mereka -- Malenkov, Beria, Khruschev - adalah tokoh-tokoh pintar, licin, ahli, peka, yang memang cukup banyak di Rusia. Apakah ketiga orang itu melangkah berbareng ke tubir curam tanpa berusaha menyelamatkan dirinya masing-masing? Inilah persoalan yang dengan rajinnya diperdebatkan selama 30 tahun oleh para ahli dan sejarawan Uni Soviet. Beberapa di antaranya yakin bahwa rangkaian kejadian yang menyusuli peristiwa sakit dan matinya Stalin adalah wajar-wajar saja. Sejarawan Harvard, Adam B. Ulam, termasuk di antara mereka. Lainnya, seperti tokoh sejarahwan emigran Soviet Abdurakhman Avtor, khanov, yakin bahwa Stalin adalah korban komplotan yang di dalamnya Berita menjadi pemeran utamanya. Svetlana pernah mempertanyakan penyakit fatal ayahnya, sebelum ia kabur dari Uni Soviet. Saya pernah berbincang-bincang dengan kerabat dekat salah seorang anggota Politbiro yang berada di vila pada hari matinya Stalin. Orang itu percaya bahwa Stalin telah didorong agar lebih cepat masuk ke liang lahad. Saya sendiri telah mempelajari bukti-bukti yang sahih dan tidak shahih, memperkuat dugaan bahwa kematian Stalin berlangsung secara tidak wajar. Saya yakin bahwa ketika Stalin memulai tidurnya yang panjang pada akhir minggu 28 Februari - 1 Maret, salah seorang atau semua dari keempat pembantu utama Stalin telah bermain melebihi sekadar penonton. Saya tidak pernah berharap memperoleh bukti yang kuat, yang eksplisit, dari hipotesa itu. Jika bukti itu memang ada, tak diragukan lagi telah dimusnahkan sejak lama - bersama dengan begitu banyak fakta kejahatan yang dibuat Stalin sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus