Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kaphe-kaphe di serambi mekah

Pengarang: h.c. zentgraaff jakarta: beuna, 1983 resensi oleh: t. ibrahim alfian. (bk)

11 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ACEH Oleh: H.C Zentgraaff Penerbit: Beuna, Jakarta, 1983, 499 halaman KARYA H.C Zentgraaff ini ditulis ketika ia menjadi pemimpin redaksi surat kabar De Java Bode pada 1938, berisi beberapa kisah Perang Aceh - perang terlama dalam sejarah Kolonial Belanda di Indonesia. Dalam buku ini, kecuali mengungkapkan pengalaman pribadi, Zentgraaff memakai bahan-bahan dari arsip perang, mewawancarai tokoh-tokoh utama Perang Aceh, dan menanyai veteran-veteran Belanda serta para janda di Negeri Belanda yang suaminya tewas dalam peperangan di Aceh. Ia juga berhasil merekam pengalaman Teuku Raja Sabl, putra pahlawan nasional Cut Meutia, yang bertualang di hutan Keuretoe selama 14 tahun (halaman 241-265). Usaha Zentgraaff menerapkan metode sejarah dalam karyanya ini memberi nilai sejarah pada kisah-kisahnya, dan cukup berimbang. Walau ditulis oleh seorang Belanda, apalagi salah seorang terkemuka dalam Vaderlandsche Club, persatuan orang-orang Belanda kolonial yang sangat antipergerakan kebangsaan, Zentgraaff tldak menulis manis setiap orang Belanda dan membusuk-busukkan setiap orang Aceh. Kata Zentgraaff: "Orang-orang Aceh, baik pria maupun wanita pada umumnya telah berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu yang mereka pandang merupakan kepentingan nasional atau agama mereka. Di antara pejuang-pejuang itu terdapat banyak sekali pria dan wanita yang tidak kuran satrianya daripada bangsa-bangsa lain, mereka itu tidak kalah gigihnya daripada tokoh-tokoh peran terkenal kita" (halaman 2). Berlainan dengan buku-buku sebelumnya, yang jarang menyajikan kata-kata baik terhadap lawan Belanda, Zentgraaff, sebagai beka bintara pasukan Belanda yang bertarung di Tanah Rencong, meskl memberi tempat layak kepada pejuang Aceh, tetap tak dapat melepaskan dirinya dari prasangka kolonial. Lihat tulisannya mengenai Van Daalen, komandan pasukan Belanda yang membantai 870 laki-laki dan 613 wanita serta anak-anak di Kuto Reh, Likat, dan Kuto Lengat Baru, Juni 1904, yang mendapat penghargaan tinggi dari Kerajaan Belanda: "Tidak adakah - demikian orang bertanya - seorang penyair di negeri Belanda yang dapat menggubah sebuah ballada nasional tentang kisah kepahlawanan ini? Sebuah kisah yang akan dibaca oleh generasi muda dengan napas yang tersentak-sentak? Haruskah selalu mengenai kisah penangkapan ikan paus Nova Zembla? Tidakkah nilai perjalanan Van Daalen lebih tinggi lagi?" (halaman 324). Juga Van Heutsz, penakluk Aceh bertangan besi, yang kemudian menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda, sangat disanjung Zentgraaft. Memang, dari Zentgraff--seorang wartawan ulung kepercayaan Gubernur Jenderal De Jonge dan penerjemah politik kolonial Belanda yang konservatif - tidak dapat diharapkan lebih dari itu. Yang menarik dari Zentgraaff adalah betapa kritisnya ia terhadap berbagai sumber resmi. Katanya: "Jika para pembaca berulang-ulang membaca berita-berita busuk yang kebanyakannya bohong, yang dtuhs oleh para pimpinan tertinggi di Aceh pada masa itu yang menyebut tentang sukses-sukses besar yang mereka peroleh, tentang paslflkasi, tentang tindakan-tindakan yang bijaksana sekali, maka Anda akan memahami mengapa laporan-laporan Aceh yang dijilid rapi dalam buku-buku berwarna biru, pada masa-masa itu diberi nama "bollong-bohong biru" (halaman 283). Ia juga mengecam keputusan pimpinan tentara di Kutaraja, yang setelah Teuku Umar berbalik ke pihak Aceh pada 1896, demi balas dendam, antara lain, mengenakan denda 30.000 gulden pada rakyat Lhong pada tahun berikutnya. Rakyat Lhong yang tidak dapat mengumpulkan uang sebanyak itu dirampas ternaknya dan dibawa ke Kutaraja dengan perahu. Sebagian kerbau dan lembu itu harus dibunuh karena luka yang dideritanya, sebagian lagi mati kelaparan (halaman 279-280). Juga diperintahkan oleh gubernur militer agar rumah-rumah besar di kampung-kampung dibakar, jika penduduknya tidak membayar denda (halaman 281). Zentgraaff juga mengisahkan kehancuran ulama-ulama Tiro sampai gugurnya Tengku di Tiro terakhir, Tgk. Ma'at, pada 11 Desember 1911. Para ulama itu ditakuti, karena elite agama ini dapat memobilisasikan rakyat. Caranya, antara lain, dengan menyebarluaskan hikayat Perang Sabil yang dapat menggugah pendengarnya untuk membunuh kafir dan syahid di Jalan Allah. Tidak heran jika sastra perang ini dipandang sangat berbahaya oleh Belanda. Karya-karya sastra seperti ini bila ditemukan Belanda disita dan dibakar. Adalah berkat pengaruh H.T. Damste dan Snouck Hurgronje, hikayat-hikayat perang itu tak semuanya dimusnahkan. Hanya dengan mempelajari hikayat-hikayat perang itu, menurut Hurgronje, sikap dan peri laku orang Aceh dapat dipahami Salah satu di antara hikayat Perang Sabil yang terkenal adalah milik Teuku Cut Ali, pemimpin perlawanan di Aceh Barat. Teuku Cut Ali, yang terbunuh di tangan Gosenson pada 25 Mei 1927, menurut Zentgraaff, adalah "seorang yang bersemangat pahlawan yang dikagumi juga oleh- pihak kita" (halaman 379). Hikayat milik Cut Ali ini, yang kemudian diterjemahkan Zentgraaff, menyajikan nyanyian perang mengenai Abdul Wahid yang memerangi kafir, lalu syahid. Ia, menurut cerita, sebenarnya tidak mati, tapi langsung masuk surga Kalkausar, memperoleh kenikmatan tiada ternilai, antara lain, 70 bidadari cantik jelita. HIKAYAT-hikayat itu tak hanya menggugah pria, juga wanita. Wanita Aceh, tulis Zentgraaff: "gagah berani, adalah penjelma dendam kesumat terhadap kita yang tak ada taranya serta tak mengenal daman Jlka ia turut bertempur, maka tugas itu dilaksanakannya dengan suatu energi yang tak kenal maut dan biasanya mengalahkan prianya. Ia adalah pengemban dendam yang membara yang sampai-sampai ke liang kubur atau di hadapan Maut pun masih berani meludah ke muka si kaphe (kafir)" (halaman 78). Tokoh terakhir yang dimaksud adalah Cut Nyak Dhien, yang kemudian dibuang ke Sumedang dan meninggal 6 November 1908. Sumbangan lain dari Zentgraaff? Jika ia tak mewawancarai Sersan W.J. Mosselman, kita mungkin tak mengetahui kisah Srikandi Cut Mutia, yang dengan rambut terurai menghunus pedang menyerang pasukan Belanda. Ia gugur terkena peluru 25 oktober 1910. Buku ini tidak hanya bercerita tentang perang belaka, juga menampilkan dimensi-dimensi manusiawi dalam kehidupan manusia. Ditulis dengan bahasa jurnalistik yang memukau, buku ini sangat menarik minat orang, sehingga ketika pertama kali terbit pada tahun 1938, dalam waktu satu minggu sudah terjual 5.000 eksemplar. T. Ibrahim Alfian. Sejarawan dan staf pengajar pada Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus