Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Oasis di teluk persia

Sebuah reportase menarik dari anthony weller lewat chicago tribune. bahrain negara paling bebas, paling kosmopolitan dan permisif. orang-orang arab saudi bisa sedemikian santai, minum-minum. (sel)

11 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG tengah hari, di kolam renang sebuah hotel bertaraf internasional di Al Manamah, Bahrain, ada panorama yang menarik. Kolam renang itu sendiri tidak terlalu besar. Namun, untuk ukuran Teluk Arab, kolam itu bisa jadi paling kosmopolitan. Dalam serban berwarna putih, seorang laki-laki Kuwait, yang datang ke Bahrain untuk urusan real estate, tengah asyik bermain backgammon dengan seorang penjaja barang elektronik dari Jerman. Si Jerman ini tak canggung mengenakan celana renang kendati kawannya berpakaian serba tertutup. Permainan dimenangkan orang Kuwait yang memakai serban itu. Tak jauh dari mereka, seorang bankir Swiss tertidur di kursi malas. Dua orang Kenya, dalam pakaian bisnis, sedang melamun di pojok, memandang ke kejauhan. Tiga orang nyonya berkulit pucat tengah asyik bergosip dalam aksen Inggris. Suami ketiganya adalah insinyur yang bekerja pada pengilangan minyak di kawasan Teluk. Di sudut yang teduh, dekat dengan panel tempat tergantungnya tujuh buah jam dinding perekam waktu di tujuh pusat keuangan di dunia, dua orang Jepang tengah asyik bermain pingpong. Agaknya pagi tadi mereka telah berhasil menanamkan modal. Di kolam, tiga orang pramugari Sri Lanka berenang tanpa berkesudahan. Sampai-sampai beberapa orang Saudi yang tengah menikmati liburan mereka - pada Kamis sore dan Jumat - terbengong-bengong. Tempat itu memang Bahrain. Menurut Encyclopedia Britannica nama itu berasal dari bahasa Arab Al Bahrayn, yang berarti "dua lautan". Selama ribuan tahun, Bahrain telah menjadi lintasan penting di kawasan Teluk Arab - yang dikenal pula dengan nama Teluk Persia. Di arena yang selalu diliputi krisis ketidaksetiaan dan peperangan, ia telah menjadi sebuah negeri yang dipercaya setiap orang - khususnya para penanam modal. Daya tariknya selama berabad-abad telah menembus batasan dunia Arab. Tradisi ini telah menjadikannya sebagai negara paling bebas, paling kosmopolitan, dan permisif di kawasan Teluk. "Maka, orang-orang Arab Saudi bisa sedemikian santai, minumminum, lantas menggapai Timur Jauh untuk mendapatkan hiburan yang lebih semarak," tulis Anthony Weller, yang kemudian menuliskan catatan perjalanannya ke sana dalam koran Chicago Tribune April lalu. Pas tengah hari, suasana tenang di kolam renang hotel itu mendadak koyak. Dari segala penjuru terdengar dengung azan. Dengan bergegas, orang-orang Kuwait dan Arab yang tadi asyik berleha-leha di pinggir kolam bangkit dan pergi. Di luar, cahaya matahari menyilaukan mata. Di Government Road - tempat bercokolnya bank-bank internasional dan kawasan yang selalu memikat sekitar dua juta pendatang tiap tahun - corong masjid-masjid masih terus memanggil, memekikkan azan. Dengan kubah-kubah berwarna hijau pirus, menaranya terbuat dari batu bata jingga, sementara di pucuknya dipoles biru, masjid-masjid itu tampak seperti terpisah dari bangunan-bangunan berarsitektur Barat yang terlihat kaku. Al Manamah, ibu kota negeri itu, adalah sebuah metropolitan dengan bangunan-bangunan modern terbuat dari kaca dan baja berhimpitan dengan suasana kota Persia yang sudah terbentuk berabad-abad lalu. Souk, atau pasar, menyediakan buah-buahan, binatang, dan keriuhan. Hanya beberapa menit berjalan kaki dari hotel, Anthony Weller sudah sampai ke sana. "Tapi," katanya, "suasananya berjarak berabad-abad lampau. Perbedaan dengan suasana di luarnya begitu tajam - dunia-dunia yang tak saling berhubungan." Sejumlah apartemen dan bangunan perkantoran baru tumbuh di tepian Teluk. Dibangun atas jaminan bank-bank "lepas pantai" (offshore, karena jauh dari negeri asalnya), suatu hal yang menyebabkan Bahrain menjadi pusat perbankan internasional terbesar ketiga di dunia. Orang bilang, setelah Tokyo, maka Al Manamah adalah kota termahal di dunia bagi kaum bisnis yang singgah sejenak di situ. Negeri dengan sistem pemerintahan monarki turun-temurun yang dikepalai seorang sheik ini terdiri dari beberapa pulau. Luasnya 622 kilometer persegi, sebagian besar terdiri dari tanah datar berpasir. Dataran tertinggi hanya 137 meter dari permukaan laut, terletak di pulau utama, yaitu Bahrain. Pulau-pulau penting yang lain adalah Muharraq dan Sitrah. Jumlah penduduknya kini 350.000 - sebagian besar keturunan Arab yang berimigrasi dari Kuwait dan Qatar pada abad ke-18. Sekali waktu, penduduk Bahrain terkenal sebagai pelaut, pedagang, pembuat kapal, nelayan, penyelam mutiara, dan peternak keledai. Begitu, paling tidak menurut buku Lands and People. Buku ini juga menyebutkan bahwa kini kebanyakan warga Bahrain melibatkan diri dalam industri minyak. Tentu banyak pula industriawan pendatang. Antara lain dari Arab Saudi dan negeri-negeri Arab lainnya. Selain itu, ribuan pendatang lain tercatat sebagai pekerja konstruksi bangunan. Umumnya dari Korea, Muangthai, Pakistan, India, dan Filipina. Kelompok ini bekerja di bawah pengawasan ahli-ahli Inggris dan Amerika. Al Manamah pun disodok dan dibangun, hampir secara geradakan dan tergopoh-gopoh - seperti tak akan berakhir. "Ya, begini terus. Tak bakal ada buntutnya," kata Walker. Laki-laki berbadan kukuh keturunan Skotlandia ini sudah sembilan tahun di Bahrain, bekerja sebagai manajer kontrakan membawahkan 300 orang dalam industri konstruksi. Di Glasgow dulu ia adalah seorang tukang kayu. Di sini, ia hidup senang. "Di sini tidak ada pajak pendapatan, Bung," kata Walker pada Anthony Weller. "Uang pun mudah serta tak ada kriminalitas. Anda tahu, orang-orang sini bersujud di hadapan Allah. Tapi sementara itu, kita pun bisa mendapatkan semua kaset video yang kita maui - jelas edisi bajakan. Kita bayar seharga popcorn." Selepas magrib, Anthony Weller menemui Mohammed, pengusaha pribumi Bahrain, yang kali ini tengah menikmati minuman di tepi kolam renang. Mohammed, 41 tahun, bermata legam dan tindak-tanduknya kalem. Yang direguknya minuman beralkohol, barang terlarang di negeri-negeri kawasan Teluk lainnya. Ini sempat membuat Anthony Weller tercengang. Mohammed salah tingkah. Sambil menggaruk kepalanya yang tertutup ghatra, pengusaha sukses ini berkata, "Saya memang kacau, maka saya mencengkeram alkohol." Mohammed cukup terdidik, bisa berbahasa Inggris dan Prancis dengan baik. Bahkan katolikisme pernah juga ia pelajari. "Lho, boleh kan," katanya "Yah, saya memang suka minum. Sekali waktu bersenang-senang dengan wanita, meskipun saya sudah menikah. Tapi,. ..suatu hari nanti saya akan menghentikan semua kebrengsekan ini. Lalu saya akan berhaji ke Mekah. Ingat itu, Bung." Tiba-tiba ia jadi serius. "Lho, belum pernah ke Mekah," tanya Anthony Weller. Si Bahrain menggelengkan kepalanya. "No, no. Sudah sih sudah, dua kali. Tapi untuk urusan dagang," kata Mohammed. Pada kesempatan lain, seorang arsitek pribumi menuturkan kepada Anthony Weller hal-hal yang berkaitan dengan perangai model Mohammed itu. Sang arsitek yang tak mau disebutkan namanya itu berkata, "Anda mesti mengerti tentang kemunafikan rata-rata manusia, yang dalam Islam rasanya lebih akut ketimbang di Barat. Kepribadian manusia seperti terbelah. Katakanlah, antara kehidupan profesionalnya di dunia non-lslam dan kehidupan tradisional yang dijalaninya bersama keluarga. Antara tanggung jawabnya kepada Allah dan kenikmatan pribadinya." Si arsitek nyerocos terus. "Juga antara cara hidup orangtuanya dan kehidupan yang ia rancang untuk anak-anaknya. Terbelah antara kesetiaannya terhadap penguasa dan pandangan pribadi mengenai keadilan. Lebih dari itu, terputusnya kaitan antara ajaran yang ia terima sewaktu lahir dan pendidikannya kemudian. Ya, Bahrain, lantaran sejarahnya, telah menjadi pemaaf untuk orang-orang semacam itu." Di Bahrain semua ketegangan saraf boleh lepas. Petugas pabean tak akan cerewet soal barang selundupan. Para pendatang tak bakal risi dengan tingkah laku sopir taksi, maka hari-hari berlalu begitu saja tanpa terasa sudah tinggal lama. Si arsitek yang mengenakan setelan jas necis - dan staf wanita di kantornya juga mengenakan pakaian model Barat itu menyambung lagi, "Tapi, daerah ini bukanlah kota yang dirundung kutukan, bahkan juga bagi kami. Ini sebuah paradoks," katanya. Seorang warga Kuwait di Bahrain bisa mendapatkan makanan tradisional mereka, yang mengingatkan masa 30 tahun lampau, ketika kemakmuran belum mereka dapatkan. Tapi bisa juga bersenangsenang ke disko. Orang-orang kaya Arab Saudi yang akan berjudi atau mengumbar nafsu tentu akan ke Monte Carlo atau Bangkok selama dua minggu. "Tapi mereka pasti akan singgah dulu di Bahrain," kata Pak Arsitek yang rupanya punya banyak informasi. Pada 1971, Bahrain menyatakan diri merdeka dansegera menjadi anggota PBB. Sebelumnya, urusan pertahanan dan luar negeri ditangani Inggris. Perjanjian kerja sama antara Inggris dan Bahrain pertama kali dibuat pada 1820. Kemudian pada 1861 kedua negara ini menandatangani perjanjian baru, yang menetapkan Bahrain berada di bawah perlindungan Inggris. Sejak itu, perompak laut dan perdagangan budak - yang sudah terkenal lama di kawasan Teluk - berakhir. Dalam pada itu, keluarga Sheik Al Khalifah - asal provinsi Hasa di Arab - yang menguasai Bahrain sejak 1783 tetap saja menjalankan kekuasaan monarkinya, sampai kini. Isa bin Sulman Khalifah, sheik yang berkuasa sekarang, adalah seorang laki-laki berjenggot belum mencapai usia 50 tahun. Keluarga Khalifah mengambil Bahrain dari tangan orang-orang Persia, yang sempat menguasai Bahrain sejak 1602 sampai 1783. Sebelum orang-orang Persia, orang-orang Portugis pernah bercokol mulai tahun 1521. Meskipun berbagai penguasa bergantian mengangkangi Bahrain warna Islam dengan akar Arabnya masih saja hidup - sebuah ketahanan kebudayaan yang memang sudah tumbuh di situ sejak Islam masuk pada abad ke-7. Sejarah agaknya ikut menentukan negeri Islam ini menjadi longgar, terutama bila dibandingkan dengan negeri-negeri di sekitarnya. Ralph Izzard, wartawan kawakan dari Inggris yang telah 18 tahun menetap di situ, mengingatkan sisi lain yang juga membentuk fungsi Bahrain. "Negeri ini merupakan persinggahan tradisional bagi kebudayaan Sumeria di Teluk dan kebudayaan Lembah Sind di sisi timur. Kepada para pelaut di zaman kuno, Bahrain menyediakan pelabuhan persinggahan yang aman dari perompak. Karena ia pulau, sehingga praktis tak bisa diserbu begitu saja. Selain itu, juga menyediakan air tawar," kata Ralph. Tentu saja para musafir tidak hanya singgah di pinggir, tapi luga menembus padang pasir dan melakukan perdagangan. Maka, semua orang pun berdatangan ke situ, untuk - seperti kata para pelaut - mempertebal keuntungan. Dan mulailah pertukaran barang-barang dengan sistem sungai. "Pulau ini telah menjadi pusat kegiatan seluruh pedagang di kawasan Teluk," kata Ralph lagi. Bankbank mutiara sempat tumbuh di mana-mana, sampai kemudian melemah karena kalah bersaing dengan Jepang pada masa sesudah Perang. Bank-bank mutiara inilah konon yang menjadi sumber iri hati,semangat kebendaan dan akhirnya perebutan kekuasaan. Salah satu keturunan Persia saudagar paling makmur yang mungkin bisa menjadi dinasti kekuasaan masa lalu adalah keluarga Ali Reza. Adalah di Bahrain, ketika pada 1932 orang menemukan sumur minyak yang pertama kali di negeri Arab kawasan Teluk. Berproduksi sejak 1934, sumur minyak di Jabal ad-Dukhan menghasilkan 3.800.000 ton setahun - suatu jumlah yang relatif kecil. Namun, pengilangan di Sitrah cukup meyakinkan, dengan kesanggupan 12.000.000 ton per tahun. Peranan Bahrain sebagai eksportir minyak (yang sudah diolah) lebih penting ketimbang kedudukannya sebagai pemilik tambang. Melihat semua itu, wajar kalau pemerintah Iran sampai 1970 dengan getol mengajukan tuntutannya atas wilayah Bahrain. Tuntutan yang tak berdasar, tentunya, sehingga pihak mana pun tak ada yang mau menggubrisnya. Sore hari, Anthony Weller berjalan menyusuri pasar, menembus gang-gang, melintasi pintu-pintu kayu jati, di bawah cahaya lampu yang kusam. "Inilah sebuah dunia rahasia dengan suasana abad lampau," tulisnya. Di sebelah dalam souktoko-toko memang dibuka kembali pada tengah hari. "Sangat riuh, " katanya. Ribuan orang, terutama orang India dan Arab Muslim, berseliweran di situ. Atau sekadar duduk-duduk di jalanan. Ada juga yang tiduran di atas kereta. Sebagian lagi berdiri terbengong-bengong sembari membuang pandang ke mana-mana. Di bagian penjualan rempah-rempah, kedai-kedai bertonjolan ke jalanan - penuh dengan kantungkantung berwarna oranye, hitam, merah dadu, dan cokelat. Barang-barang ini dipayungi tenda dengan warna-warna ungu, keemasan, dan hijau yang sangat seronok. Perempuan-perempuan dengan aba warna hitam yang menutupi seluruh tubuhnya - sebagian besar dengan santai membiarkan wajahnya dipandang orang - berendeng mengerubungi toko-toko perhiasan. Seperti serombongan ngengat raksasa. Pada saat tangan masing-masing menggapai gerendel pintu, tersibaklah penutup lengannya - gelanggelang emas bergemerincing. "Di toko perhiasan di sini, barang-barangnya dijual bukan berdasarkan teknik pengerjaannya, tapi bobotnya," tutur Anthony Weller. Wartawan itu terus berjalan melintasi kedai-kedai cukur, tempat penjualan biri-biri dan domba, tokotoko perkakas elektronik, lorong tukang timah, dan pasar buah. Sementara itu, musik India mengalun di sepanjang jalan dan dari corong terdengar seorang wanita bersenandung, merintih, dalam bahasa Arab. Malam pun kemudian larut. Esok paginya, Anthony Weller ngeluyur ke dermaga. Dhow atau kapal derek berangkat dari sini mengangkut sejumlah penumpang menuju Arab Saudi, yang jaraknya 15 mil. Kini, dhow- perahu tradisional itu - sudah bermesin. Orang-orang di dermaga memekik-mekik. Ini cara mereka menunjukkan perasaan kepada para saudara yang baru saja datang berkunjung. Karena selalu penuh penumpang, yang kaya dan mlskin bercampur di geladak, di bawah tenda. Kaum laki-laki bertempat di haluan yang berkarpet, sementara para wanita dan anak-anak di bagian buritan. Banyak juga di antara mereka yang bepergian tanpa suami. Seorang wanita muda dengan anggun melempar senyum ke Anthony Weller. "Sebelum ia menutup cadarnya, sempat terlihat gaun yang dikenakannya di balik aba, bikinan Dior," kata Anthony. Dari dermaga, siang harinya wartawan pengelana itu menuju ke Zallaq, kawasan pantai milik emir, yang terbatas untuk orang Barat dan keluarga pemilik. Memasuki wilayah ini dilarang membawa kamera. Penjaga di pintu gerbang yang mengenakan seragam militer dan menenteng senapan mesin akan mengamankan kamera, bila seorang pengunjung membawanya. "Kenapa begitu ketat, saya tidak tahu," tulis Anthony Weller, "Tapi barangkali untuk mencegah kejadian yang tak enak. Siapa tahu di pantai ada cewek-cewek berbikini dan sang emir di situ pula, nah, kalau ini dipotret dan ketahuan, bisa gawat. Sebab, yang begitu itu tidak ada di Arab Saudi." Seperti kebanyakan negeri-negeri kawasan Teluk, Arab Saudi juga menyebarkan banyak dana ke Bahrain. Akibatnya, 200 bank di negeri itu terus makmur. Di tepi pantai, Anthony Weller mendekati seorang laki-laki yang tengah asyik mengamati perahu layar di kejauhan. Dialah Sheik Isa bin Sulman Khalifah. "Selama dua minggu di Bahrain, saya sudah melihat fotonya ada di mana-mana. Ternyata, tampang aslinya lebih mengesankan," tutur Anthony. Dengan ramah sang emir mengulurkan tangannya dari balik thobe yang dikenakannya. "Bagaimana, apa yang Anda kerjakan di Bahrain? Bekerja? Sangat menyenangkan bertemu dengan Anda, semoga Anda betah di sini," ujar Sheik Isa dengan bahasa Inggris yang sempurna. "Seperti orang-orang Bahrain lainnya yang saya temui, ia ramah," tutur Anthony. "Semua yang saya temui mengesankan bahwa Bahrain terus menjaga citranya sebagai tempat persinggahan di kawasan ini. Warganya hidup dengan wajar, tak curiga, tidak tegang, dan tidak tamak. Senapan-senapan itu dan kesigapan petugas keamanan, semua seperti sandiwara saja." Hidup di Bahrain, menurut Weller, memang penuh persaingan, tapi dalam cara yang terselubung. Banyak lapangan bisnis yang dipegang oleh keluarga-keluarga tertentu. Dan keluarga penguasa berada paling atas. Kekuasaan bersifat mutlak, tapi bukannya tidak ada retakan di temboknya. Keluarga penguasa adalah Islam Suni, sementara sebagian besar penduduknya penganut Syiah. Kasak-kusuk yang terdengar, kelompok Suni lebih diutamakan pemerintah, dengan niat sekaligus menekan pengaruh Persia. Anthony Weller memenuhi undangan makan malam dari William Ballantyne, ahli hukum dari Inggris yang menjadi penasihat hukum di Al Manamah. Ballantyne, 60, yang bisa berbahasa Arab dengan lancar, setiap tahun selalu menyediakan waktu untuk tinggal beberapa bulan di Bahrain. Hal ini sudah berlangsung 35 tahun. Rumah Ballantyne seperti bangunan dalam dongeng-dongeng Persia kuno. Halamannya lebar, ada tangga dengan tegel warna biru. Tempat duduk yang terbuat dari batu merapat ke dinding, sementara air di kolam berkecap-kecap. Pohon kurma berdekatan dengan pepohonan lainnya. Permadani Persia merata di setiap sudut. Tuan rumah dan seorang tamunya terdengar berbicara soal perlunya penegasan kembali ajaran Islam di seluruh Teluk, karena pengaruh hubungan dengan Barat yang makin meningkat. Zaman makin kisruh: Golongan muda tak mau bebas begitu saja, tapi juga ogah pada tradisi. "Pada akhirnya," kata Ballantyne, "mereka akan kembali mengakui bahwa kehendak Allah akan berlaku di bumi. Untuk itu mereka yakin benar." Ballantyne tertawa. "Saya tentu tidak punya keraguan. Bagaimana Anda, Bung? Manusia tak akan sekuasa itu, dan inilah yang pasti." Laki-laki yang mulanya berpendidikan Kristen ini kini memeluk Islam dan sikap spiritualnya telah terpengaruh semangat lokal. "Membaca Quran membuahkan berbagai pikiran pada saya. Dan saya merasa lebih menguasainya ketimbang Injil," kata Ballantyne. "Satu hal yang tak boleh dilupakan, bahwa Bahrain bersuasana mistis. Tak ada banyak tempat yang seperti ini, dengan peradaban tinggi dan masyarakatnya memiliki basis yang baik." Memang, Bahrain adalah "oasis" yang bertata krama tempat warganya bisa menemui penguasa sekali seminggu untuk mengadukan masalahnya. Bahrain lebih dari sekadar pulau untuk urusan bisnis. Kemudahan yang disebabkan posisinya telah menjadi karakter nasional. Namun, masyarakatnya yang unik menjadi terbuka, sebagian lantaran kemakmuran yang mereka dapatkan bertahap selama berabad-abad . Dari balkon rumah Ballantyne, di tengah malam itu Anthony Weller memandangi Al Manamah. Gelap, benar-benar tak ada lampu yang masih menyala, kecuali dari beberapa hotel. Bahrain sedang beristirahat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus