Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aroma hio yang pekat menusuk hidung. Sejak siang, umat Tridarma-Buddha, Tao, dan Konghucu-berdoa kepada Dewi Samudra Thian Siang Sing Bo di Kelenteng Tjoe Hwie Kiong. Nuansa sakral di kelenteng yang berada di Jalan Pelabuhan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, itu menjelang sore dua pekan lalu kian terasa. Makin banyak orang melakukan puja khidmat di depan altar sang Dewi.
Hari itu hari ulang tahun sang Dewi. Hari lahir Dewi Samudra dalam kalender Imlek jatuh pada bulan 3 tanggal 23. Dewi Thian Siang dimitoskan sebagai gadis kecil yang menyelamatkan sekelompok nelayan Cina dari ombak besar. Umur gadis ini tak panjang. Setelah kematiannya, gadis itu dipuja sebagai Dewi Samudra. Tempat pemujaannya pun dibangun menghadap ke laut untuk menghormati keberaniannya saat melawan laut.
Semakin malam, perayaan kian meriah dengan digelarnya pertunjukan gamelan dan wayang kulit serta upacara makan mi, yang bermakna panjang umur. Tempo melihat lebih dari 500 orang datang ke perayaan ini-setengahnya berasal dari Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
Perayaan kali ini bukan yang terbesar. Perayaan akbar di Kelenteng Tjoe hanya digelar sepuluh tahun sekali. Terakhir diadakan pada 1 Mei 2011. Acara utama perayaan akbar adalah kirab kimsin: arak-arakan patung dewa. Patung Dewi Samudra bersama dewa-dewi lain diajak berkeliling sejauh dua kilometer dengan titik mula rumah pemujaannya. Mereka dibawa mengitari jalan kampung di sekitar Kelenteng Tjoe, lalu menyusuri bekas Jalan Raya Pos Daendels, dan kembali ke kelenteng itu.
Kelenteng Tjoe di Rembang sudah ada sebelum Jalan Pos dibangun Herman Willem Daendels pada 1808. Bangunan yang ada sekarang merupakan bangunan kedua, yang didirikan pada 1841. Bangunan ini berdiri membelakangi jalan raya.
Sebelum berdiri di tempat yang sekarang, kelenteng ini terletak di Desa Jangkungan, Kecamatan Kaliori. Desa itu menjadi tempat awal berlabuhnya kapal-kapal saudagar dari Cina pada abad ke-15. Tak ada keterangan tertulis sejak kapan Kelenteng Tjoe Hwie Kiong dibangun di Jangkungan dan alasan pemindahannya ke tempat yang sekarang.
"Yang jelas, pada 1740-an, Belanda memecah pecinan," ujar Eddie Soesanto, Ketua Yayasan Dwi Kumala, pengelola Kelenteng Tjoe sejak masa Orde Baru. Satu kawasan pecinan tetap ada di Jangkungan, sebelah barat Rembang. Satu lagi berada di Desa Dresi, sebelah timur pusat Kota Rembang kini. Terbagi duanya pecinan dan dibangunnya Jalan Raya Pos membawa dampak bagi Kelenteng Tjoe.
"Kirab pasti selalu melewati jalan buatan Daendels ini setelah melewati jalan kampung," kata Sekretaris Yayasan, Julianto. Tujuannya berbagi keberkahan bagi masyarakat sekitar.
Jalan Raya Pos Daendels menjadi faktor penting bagi perayaan setiap kelenteng yang berada di sepanjang jalur tersebut. Selain Kelenteng Tjoe Hwie Kiong di Rembang, ada Kelenteng Hok Hien Bio di Kudus. Kelenteng yang berdiri sejak 1750-an itu menghadap persis ke Jalan Ahmad Yani, bagian dari Jalan Raya Pos di Kudus.
Kelenteng ini dikenal memuja Dewa Bumi Hok Tek Tjing Sien, yang berulang tahun tiap bulan 12 tanggal 16 kalender Imlek. Tahun ini, hari lahir Dewa Bumi bertepatan dengan 1 Februari atau 18 hari sebelum Imlek tahun 2566. Seperti perayaan akbar di kelenteng lain, kimsin Dewa Bumi diarak di dalam tandu berkeliling jalan Kota Kudus melalui Jalan Ahmad Yani itu. Daun pohon beringin perlambang kepatuhan menghiasi tandu dewa. Di atap dan kiri-kanan tandu njagong naga emas yang diibaratkan sebagai pengawal dewa.
Rombongan barongsai mengawal prosesi kirab tersebut. Sebanyak 32 "dewa-dewi" undangan datang dari seluruh Indonesia. Sebelum menjalani kirab, para pengangkut tandu patung dewa akan mengitari halaman kelenteng. "Sebagai tanda penghormatan kepada para dewa," kata Bambang Goenarto, ketua panitia kirab. Para pengangkut tandu itu, menurut Bambang, baru akan melakukan perjalanan sejauh dua kilometer setelah merasa kekuatan gaib dari Yang Mahakuasa masuk ke tubuh. Rute arak-arakan bermula dari kelenteng menuju Alun-alun Kota Kudus untuk mengitari pusat pertemuan tujuh jalan. "Entah apa maknanya, kami hanya menjalani yang sudah ada sejak dulu," ujarnya.
Di Jawa Tengah, sebetulnya ada dua kelenteng lain yang bersanding dengan Jalan Raya Pos, yakni Kelenteng Po Ang Hio di Jalan Sultan Fatah, Demak, yang memuja Dewi Samudra, dan Kelenteng Hok Khing Bio di Desa Bumirejo, Kecamatan Juwana, Pati, dengan Dewa Buminya. Namun jarang sekali orang beribadah di dua kelenteng ini sejak kegiatan peribadahan Tionghoa dilarang pemerintah Orde Baru. "Padahal, sebelumnya, kedua kelenteng yang sudah berdiri sejak awal abad ke-16 ini selalu ramai pengunjung," kata Tony Hartono, penjaga Kelenteng Hok Khing Bio.
Sepinya kegiatan peribadahan itu membuat Tony lebih sering menggembok gerbang kelenteng. "Dalam seminggu belum pasti ada yang sembahyang," kata pria 50 tahun itu. Sedangkan Go Eng Lok, 55 tahun, penjaga Kelenteng Po Ang Hio, Demak, sering menitipkan kimsin sang Dewi ke Kelenteng Tjoe Hwie Kiong, Rembang, saat merayakan hari lahirnya. Ini berarti kimsin sang Dewi penjaga kelenteng Demak itu ikut juga mengitari jalan Daendels.
Arak-arakan dewa kelenteng yang paling langsung menyusuri jalan Daendels ada di Jawa Timur, tepatnya di Kelenteng Kwan Sing Bio, Tuban. Kelenteng yang terletak di Jalan R.E. Martadinata ini menggelar upacara akbar ulang tahun Dewa Kwan Kong setiap lima tahun. Dalam kalender Imlek, Dewa Kwan Kong lahir pada bulan 6 tanggal 24.
Saat perayaan kelahirannya, kimsin Kwan Kong akan dibawa mengitari Kota Tuban. Arak-arakan itu menempuh jarak enam kilometer dengan jalur Kelenteng Kwan-Jalan Sudirman-W.R. Supratman-Basuki Rahmat-R.E. Martadinata-Kelenteng Kwan, yang setengah jalurnya merupakan bagian dari Jalan Raya Pos Daendels. Dari perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur sampai ke ujung Kota Tuban, Jalan Raya Pos membentang sepanjang 55 kilometer, berdampingan dengan laut.
Entah kebetulan entah tidak, jalur arak-arakan dewa membentuk pola bujur sangkar. "Bentuk yang baik dalam kepercayaan Tionghoa," ujar Ketua Umum Tempat Ibadah Kwan Sing Bio, Oei Ging Koen, kepada Tempo. Terbentuknya pola bujur sangkar itu memiliki cerita tersendiri. Syahdan, empat kapal milik armada Van Neck dan Laksamana Muda Van Warwijk mendarat di Kambang Putih-nama awal Tuban-pada Januari 1599. Orang Belanda akhirnya membangun permukiman. Salah satunya di sekitar alun-alun lama di Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding.
Mereka membangun jalan dan meluaskan permukiman, termasuk merelokasi kawasan pecinan setelah meletusnya geger pecinan di Batavia, pada 1740, yang menewaskan 10 ribu lebih etnis Cina. Belakangan, jalan utama kota yang sudah ada sebelumnya dihubungkan dengan Jalan Raya Pos. Penyatuan ini berdampak pada luas kelenteng.
Khing Hien, 77 tahun, sesepuh kelenteng, menceritakan bentuk awal kelenteng itu. "Saya dengar secara turun-temurun dari kakek buyut, kelenteng pertama kali dibangun pada 1714. Luasnya hanya 60 meter persegi, persis menghadap ke laut. Bangunan inilah yang menjadi altar sembahyang sekarang," kata Hien. Jarak antara Kelenteng Kwan dan laut hanya 50 meter. Menurut Hien, berdasarkan hong shui, bangunan khas Cina biasanya menghadap ke sungai atau laut.
Jalan Raya Pos Daendels sepanjang empat kilometer, yang kini membentang dari Jalan Sudirman ke Jalan R.E. Martadinata, kemudian dibuat di depan kelenteng itu. Jalan raya ini seolah-olah memotong "hubungan" antara kelenteng itu dan laut utara Jawa. Akibatnya, kelenteng itu menghadap ke jalan raya Daendels.
Mulanya, jalan raya itu hanya selebar tujuh meter. Lantaran banyak truk bermuatan tonase besar kerap melintasi jalan ini pada zaman Orde Baru, pada 1970, pemerintah melebarkan jalan menjadi sepuluh meter. Imbas dari pelebaran itu terlihat pada gerbang kelenteng. Pintu masuk kelenteng itu, yang tadinya berlambang dua naga liong, diubah menjadi berlambang kepiting hijau raksasa. "Tidak ada maknanya, hanya kesepakatan para sesepuh dulu," ujar Hien.
Menurut Hien, Belanda memiliki nama lain untuk kelenteng ini, yakni Gereja San See Hu Cu, yang berarti "Yang Mulia dari San See". San See adalah salah satu provinsi di Cina, tempat kelahiran Kwan Kong. Semasa hidupnya, 162-220 Masehi, pria ini dikenal sebagai jenderal pemberani dan jujur dari Dinasti Han. Itu sebabnya, pada zaman Dinasti Song (960-1279 Masehi), Kwan Kong dipuja sebagai salah satu dewa kepercayaan Taois di Kuil Yam Auw, di tepi danau di Provinsi San See.
Pada 8 Agustus mendatang, Kwan Kong berulang tahun. Sang Jenderal sekali lagi akan diarak menyusuri bekas jalan Marsekal Daendels.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo