Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan kapal kayu warna-warni memenuhi dermaga sisi barat Pelabuhan Perikanan Pantai Tasikagung, Rembang. Pagi itu, Ahad pekan lalu, sebagian di antaranya baru saja pulang dari laut. Dua mobil bak terbuka bergantian datang dan pergi mengangkut hasil tangkapan semalam untuk dibawa ke pelelangan.
Tak jauh dari sana, di sebelah selatan dermaga, para penjual, pembeli perorangan, dan pedagang pasar serta utusan pabrik pengolahan ikan berjubel di Tempat Pelelangan Ikan Tasikagung, yang mulai sesak dengan keranjang kuning berisi ikan. "Ikan sedang melimpah," kata Sukarli, 51 tahun, salah seorang nelayan Rembang.
Sukarli tak asal bicara. Hingga pertengahan Mei lalu, Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan mencatat Tasikagung telah memproduksi 1.341 ton hasil laut, hampir lima kali lipat dibandingkan dengan perolehan bulan lalu. Setelah pemerintah menyetop perizinan kapal penangkap ikan buatan luar negeri, kini Tasikagung menempati urutan keenam pelabuhan perikanan dengan jumlah produksi terbanyak, setelah Belawan, Bajomulyo, Bitung, Tegalsari, dan Brondong.
Ironisnya, meski memiliki potensi sumber daya kelautan yang besar, hingga saat ini Rembang praktis tak mempunyai pelabuhan niaga sendiri buat memasarkan produknya. Untuk aktivitas perdagangan, terutama ke mancanegara, mereka masih mengandalkan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, dan Tanjung Perak, Surabaya, yang sebelumnya harus ditempuh lewat darat.
Padahal peran Rembang sebagai kota pelabuhan dengan sejarah industri galangan kapal telah termasyhur sejak era Kerajaan Majapahit. Daerah sekitar Tasikagung adalah daerah bekas pelabuhan-pelabuhan kuno Rembang. Pada masa Majapahit, menurut Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Rembang Edi Winarno, banyak jalan setapak menyusuri pantai utara dibuat untuk masuk ke pelabuhan-pelabuhan tersebut. "Jalan itu dibuat untuk menopang pelabuhan," ujar Edi. Jalan itu, sekitar 1810, diperbaiki ketika Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, hingga kemudian bernama Pantura.
Sekitar 11 kilometer ke arah timur Tasikagung, Jalur Pantura, melintasi Sungai Kiringan, misalnya, pernah berdiri pelabuhan utama Kerajaan Majapahit. Babad Lasem menceritakan, Rajasawardhana atau Bhre Matahun, suami Bhre Lasem, yang juga seorang dhang puhawang Wilwatikta atau admiral, membangun dan mendirikan kapal-kapal perang Majapahit.
Di sebelah utara Kiringan, masih di pinggir Jalur Pantura kini, pernah pula tercatat keberadaan Pelabuhan Teluk Regol atau Teluk Bonang, yang juga menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal Rajasawardhana. Di situlah suatu ketika saudagar asal Campa yang juga awak rombongan armada Laksamana Cheng Ho merapat. Namanya digunakan menjadi nama desa: Binangun.
Di Rembang dulu terdapat pula Pelabuhan Dasun. Pelabuhan yang dekat dengan Sungai Babagan itu juga dibelah Jalur Pantura. Pada pertengahan abad ke-17, warga Cina, yang membangun pecinan di sisi timur sungai, melebarkan kali itu untuk memudahkan arus perdagangan dan pengembangan galangan kapal. Pelabuhan Dasun sempat menarik perusahaan dagang Hindia Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada pertengahan abad itu untuk memonopoli perniagaan kayu jati. Sejak 1515, wilayah ini memang digambarkan sebagai daerah yang kaya pohon jati oleh pelaut Portugis, Tome Pires, ketika singgah di Jepara dan Rembang.
Namun pelabuhan-pelabuhan kuno tersebut akhirnya lenyap, nyaris tak berbekas. Kiringan kini hanya kali kecil selebar tiga meter, nyaris tak terurus, diapit permukiman dan tambak. Wajah bekas Pelabuhan Dasun dan Teluk Bonang juga tak lebih baik. Menurut Edi, Dasun, yang semula menggantikan Kiringan dan Regol hingga masa pendudukan Jepang, akhirnya binasa menyusul stok jati menipis. Modernisasi juga lebih mengembangkan kapal berbagan besi ketimbang kayu.
Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Rembang Suyono mengatakan, sejak satu dekade lalu, pemerintah telah berupaya mengembalikan kejayaan Rembang sebagai kota pelabuhan lewat Kawasan Bahari Terpadu. Terlebih kepadatan Jalur Pantura di Rembang sudah mencapai 20 ribu kendaraan per hari. "Perlu ada pengalihan beban dari transportasi darat ke laut," ujarnya.
Toh, tak mudah mewujudkannya. Survei yang disokong pemerintah pusat kesulitan menemukan lokasi yang tepat untuk dijadikan dermaga umum. Tasikagung, yang semula diharapkan bisa menjadi pelabuhan terpadu, ternyata terlalu dangkal. Begitu pula sepanjang pantai sisi timur Rembang hingga Lasem.
Akhirnya, enam tahun lalu, lokasi pelabuhan baru ditetapkan di Kecamatan Sluke, sebelah timur pesisir Lasem. Pelabuhan baru bernama Tanjung Bonang itu digadang-gadang bakal menjadi pelabuhan nasional lima tahun mendatang, sebagai alternatif Tanjung Emas dan Tanjung Perak yang mulai jenuh. Bupati Rembang Abdul Hafidz hakulyakin pelabuhan itu akan menggerakkan berbagai potensi perekonomian di Rembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo