Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ong Tik Hauw masih ingat betapa meriahnya arak-arakan patung Hok Tek Ceng Sin, Dewa Bumi, dan pengawalnya, Houw Ciong Kun atau Jenderal Harimau, saat perayaan Cap Go Meh di Bogor, April lalu. Kedua dewa itu digotong di dalam tandu dari Kelenteng Hok Tek Bio atau Yayasan Vihara Dhanagun di Jalan Suryakencana 1, Bogor-tempat mereka bersemayam sehari-hari. Dari situ, dua dewa tersebut diboyong menuju Jalan Siliwangi, lalu memutar melalui Jalan Pajajaran, hingga kembali ke Vihara Dhanagun melewati Jalan Otista.
Arak-arakan itu diikuti puluhan toapekong milik vihara-vihara lain dari seluruh Jawa Barat. Bahkan ada yang dari kelenteng-kelenteng Jawa Tengah. "Jalan sesak dengan orang yang ingin lihat dewa," kata Ong, 50 tahun, tokoh Tionghoa di Bogor. Arak-arakan yang disaksikan Presiden Joko Widodo itu diikuti pawai budaya berbagai macam kesenian.
Terasa suasana peleburan yang kuat saat itu. Cap Go Meh bukan hanya milik penganut Tridarma atau masyarakat Tionghoa, melainkan milik seluruh masyarakat Bogor. Adalah menarik bahwa di dalam Kelenteng Hok Tek Bio juga ada tempat peziarahan Mbah Bogor. Mbah Bogor dalam kepercayaan masyarakat Sunda tradisional disebut-sebut sebagai sosok gaib Eyang Raden Suryakencana. Keberadaan Eyang Suryakencana ini di Gunung Gede bersama Prabu Siliwangi.
Kelenteng Hok Tek Bio tampak memberi tempat kepada kepercayaan lokal semacam itu. Bahkan Dewa Houw Ciong Kun, Dewa Macan-yang dalam legenda Cina dikisahkan sebagai seekor macan sakti pengawal Hok Tek Ceng Sin-juga dikaitkan dengan keberadaan Raden Suryakencana dan Prabu Siliwangi. Jenderal macan itu dipercaya menjaga Raden Suryakencana dan Prabu Siliwangi.
Sejak abad ke-16, kawasan Suryakencana yang dekat dengan Istana Bogor itu memang permukiman orang Cina. Tapi tak ada yang tahu kapan persisnya pecinan di daerah ini berdiri. Seingat Ko Ayung, 80 tahun, pengurus Yayasan Vihara Dhanagun, berdasarkan cerita yang dia dapat secara turun-temurun, pecinan sudah ada sejak 1700-an. "Saat itu, orang Cina dibawa ke Bogor untuk dijadikan tukang," ujarnya. Kawasan Suryakencana sendiri adalah bagian dai Grote Postweg atau Jalan Raya Pos. Tapi rute Jalan Pos di Bogor tidak sepenuhnya dibuat Daendels. Ia memanfaatkan jalan di Bogor yang sudah dikerjakan Gustaaf Willem van Imhoff, gubernur jenderal ke-27, pada 1744.
Kelenteng Hok Tek Bio sendiri dibangun pada 1860-an atau 30 tahun setelah Jalan Raya Pos selesai dikerjakan. Mulanya, kata Ayung, kelenteng ini hanya berupa bangunan gubuk. Pada 1872, gubuk tersebut dilebarkan menjadi bangunan seluas 180 meter persegi dengan tiga ruang sembahyang. Sejak saat itulah pihak kelenteng selalu menggelar perayaan Cap Go Meh, yang jatuh pada hari ke-15 bulan Cia Gwee, bulan pertama kalender Cina.
Arak-arakan barongsai dan liong yang mengikuti dewa memang paling ditunggu warga saat Cap Go Meh tiba. "Keduanya menjadi daya tarik utama," kata Karta Lugina, sesepuh kelenteng dan penasihat Perguruan Bangau Putih. Tiap tahun, Perguruan Bangau Putih menyediakan para jago kungfu untuk memainkan barongsai.
Mengharukan, setelah mengelilingi rute panjang yang sebagian melalui rute Jalan Pos itu, saat sampai kembali di Kelenteng Hok Tek Bio, kita bisa melihat bahwa yang dilakukan pertama kali oleh berbagai barongsai dan liong itu adalah berlutut, sujud takzim di depan joli atau tandu patung Hok Tek Ceng Sin dan Houw Ciong Kun, sang macan, yang lebih dulu sampai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo