Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menjejaki Sang Guru

25 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesempatan, kata orang, biasanya cuma datang sekali. Tapi ungkapan itu agaknya tak berlaku buat Aburizal Bakrie. Suatu hari pria yang akrab dipanggil Ical itu bercerita pernah menolak tawaran menjadi menteri dari seorang presiden. "Saya masih ingin menjadi pengusaha," ujar pria 58 tahun kelahiran Jakarta itu.

Ternyata, ketika ia telah mundur dari dunia bisnis—menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada adik-adik dan anak-anaknya—tawaran menjadi menteri datang kembali. Tentu kali ini dari presiden yang berbeda. Dan kini Ical menerima tawaran itu.

Kendati sudah puluhan tahun berkecimpung di bisnis, politik memang bukan dunia yang asing bagi Ical. Di kalangan pengusaha, ia dikenal piawai melakukan lobi bisnis dan politik. Belakangan Ical bahkan terjun langsung ke pusaran politik dengan mengikuti konvensi Partai Golkar untuk mencari kandidat presiden. Dan hasilnya tak terlalu mengecewakan. Meski akhirnya gagal, di putaran pertama ia sempat menduduki tempat ketiga di bawah Akbar Tandjung dan Wiranto.

Sebagai pengusaha, kendati mengelola bisnis besar warisan ayahnya, nama Aburizal Bakrie baru melejit pada 1980-an, bersama sekelompok pengusaha muda segenerasinya. Mereka—antara lain Abdul Latief, Arifin Panigoro, dan Fadel Muhammad—dikenal sebagai kelompok pengusaha dari puak pribumi.

Sukses kelompok ini tak lepas dari kedekatan mereka dengan Ginandjar Kartasasmita. Dalam kurun waktu 1980 sampai 1990-an, Ginandjar memegang sejumlah posisi penting yang memungkinkan dia mencetak pengusaha baru. Ia pernah menjadi Asisten Menteri Sekretaris Negara, Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Dalam Negeri (UP3DN), Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), hingga Menteri Pertambangan dan Energi, dan terakhir Ginandjar menjadi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri ketika Habibie menjadi presiden.

Dengan wewenang yang dimilikinya, Ginandjar dinilai kerap memberikan berbagai peluang bisnis kepada para pengusaha muda itu, sehingga mereka lekas naik daun. Saking dekatnya hubungan itu, banyak kalangan menjuluki mereka sebagai "The Ginandjar's Boys". Bagi mereka, Ginandjar tak hanya patron tapi juga guru di berbagai bidang.

Hubungan dekat Bakrie dengan Ginandjar, misalnya, tergambar dalam divestasi saham Freeport Indonesia. Pada 1991, kontrak Freeport untuk menambang tembaga di Bumi Cendrawasih berakhir. Tatkala ingin memperbarui kontrak, pemerintah—saat itu diwakili Ginandjar sebagai Menteri Pertambangan dan Energi—mengajukan syarat agar Freeport menjual 10 persen lagi sahamnya kepada pihak Indonesia. Sebelumnya, pemerintah Indonesia sudah memiliki 10 persen saham di Freeport.

Entah bagaimana caranya, 10 persen saham itu ternyata jatuh ke tangan Kelompok Bakrie melalui PT Bakrie Copperindo Investments Co. Sesuai dengan laporan kepada Securities and Exchange Commission—Bapepamnya Amerika—Freeport menjual 10 persen saham itu seharga US$ 213 juta. Namun Bakrie saat itu hanya membayar US$ 40 juta. Sisanya US$ 173 juta dipinjamkan oleh Freeport kepada Bakrie dengan syarat: Freeport berhak membeli kembali saham itu bila Bakrie hendak menjualnya.

Setahun kemudian, harga saham Freeport di bursa New York sudah melonjak dua kali lipat. Kenaikan ini antara lain karena perpanjangan kontrak karya dan juga ditemukannya cadangan baru. Bakrie pun berniat menjual separuh saham yang dimilikinya. Mereka hendak membayar utang yang tersisa kepada Freeport dengan uang hasil penjualan saham tersebut.

Ketika itu muncul persoalan hukum yang pelik. Bila Bakrie menjual saham tersebut kepada pihak bukan Indonesia, Freeport Indonesia harus melepas lagi 5 persen sahamnya agar kepemilikan di pihak Indonesia tetap 20 persen. Untuk menyiasati situasi itu, Bakrie akhirnya mendirikan perusahaan baru bernama PT Indocopper Investama dan menempatkan 10 persen saham miliknya di sana.

Freeport kemudian membeli 49 persen saham PT Indocopper. Sesuai dengan peraturan Indonesia, sebuah perusahaan tetap disebut entitas nasional bila kepemilikan asing di perusahaan tersebut tak melebihi 49 persen. Dengan demikian, secara riil Freeport menguasai kembali 5 persen sahamnya. Tapi, secara hukum, pihak Indonesia tetap memiliki 20 persen saham Freeport.

Empat tahun kemudian, Bakrie menjual kembali sahamnya seharga US$ 315 juta kepada Bob Hasan (Nusamba). Alhasil, dalam tempo singkat, Bakrie berhasil meraup keuntungan US$ 275 juta.

Kini Ical menapak karier seperti pernah dilalui patron sekaligus gurunya: menjadi Menteri Koordinator Perekonomian. Lembaran lama telah ditutup. Ia mengatakan tak akan menjadi beban bagi pasangan SBY-JK. "Saya tak pernah punya kasus," ujarnya penuh percaya diri.

Nugroho Dewanto, S.S. Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus