Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Beberapa aktivis cilik datang dari keluarga pegiat lingkungan.
Mereka kerap diajak orang tuanya dalam kegiatan-kegiatan lingkungan.
Orang tua juga ikut mendukung dan memperkuat mental mereka.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Itulah peribahasa yang sangat cocok mewakili Sardiyoko dan anaknya, Bhre Bawana Praja Kawula. Meski masih berusia 10 tahun, Bhre berani bersuara dan beraksi tentang isu lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama kawan-kawannya, Bhre membentuk Otis Community, sebuah organisasi kecil yang bekerja mengolah sampah puntung rokok menjadi sejumlah barang kerajinan tangan. Kini, nama Bhre semakin dikenal sebagai aktivis lingkungan cilik setelah terpilih menjadi salah satu penerima penghargaan Ashoka Young Changemakers 2023. Aksi Bhre dianggap Yayasan Ashoka Indonesia, sebuah jejaring kewirausahaan sosial global, sebagai agen pembawa perubahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isu lingkungan rupanya sudah lekat dengan Sardiyoko. Ia pernah menjabat Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur. Walhi merupakan organisasi non-profit lingkungan hidup independen terbesar dan terluas di Indonesia.
Bahkan, kakak Bhre, Gardana Wong Alit, lebih dulu menuai prestasi di bidang lingkungan. Beberapa tahun lalu, Gardana sukses berinovasi memanfaatkan daun sirih. Atas prestasi itu, Gardana sempat mendapat penghargaan dari Presiden Joko Widodo dan dikirim Wali Kota Surabaya sebelumnya, Tri Rismaharini, ke Australia untuk mengikuti kegiatan bertema lingkungan hidup selama dua pekan.
Aktivitis lingkungan muda Bhre Bawana Praja Kawula bersama orang tuanya, Sardiyoko, di Surabaya, Jawa Timur, 2 Juni 2023. TEMPO/Kukuh S. Wibowo
Bagi Sardiyoko, pesan kelestarian lingkungan sangat penting untuk disematkan dalam mendidik anak-anaknya. Ia yakin, isu kelestarian lingkungan bisa menjadi modal hidup yang baik untuk anak-anaknya kelak. Pesan yang disampaikan Sardiyoko pun sederhana dan mudah dipahami.
Sebagai contoh membuang sampah pada tempatnya. Selain itu, Sardiyoko menjelaskan tentang bahaya sampah plastik sekali pakai bagi lingkungan. Karena itu, ia selalu berpesan agar anaknya membawa wadah minum ketimbang membeli botol minuman sekali pakai. "Hanya itu pesan yang saya tekankan," ujar Sardiyoko.
Selain itu, Sardiyoko mendampingi anak-anaknya saat mencari ide dan berinovasi seperti yang dilakukan Gardana dan Bhre. Dalam kegiatan menyulap sampah puntung rokok yang dilakukan Bhre, misalnya, Sardiyoko ikut membantu mengolah sampah puntung rokok menjadi berbagai bentuk kerajinan tangan.
Mulanya Sardiyoko sempat bingung dengan banyaknya sampah puntung rokok yang dikumpulkan Bhre dan kawan-kawan. Berbekal video tutorial pemanfaatan sampah plastik menjadi berbagai barang kerajinan, ia pun tertarik mengimplementasikan hal serupa pada sampah puntung rokok.
Ketelatenan dan suntikan semangat dilakukan Sardiyoko saat menemani Bhre berkreasi. Sebab, eksperimen mereka mendaur ulang puntung rokok sempat beberapa kali gagal. Setelah menemukan model yang cocok, Sardiyoko selanjutnya membimbing Bhre mendaur ulang dari tahap paling awal sampai jadi.
"Adapun tembakaunya didaur ulang menjadi pupuk. Kami manfaatkan semua,” tutur Sardiyoko.
Aktivitis lingkungan muda, Aeshnina Azzahra Aqilani (kanan) dan ibunya, Daru Setyorini melakukan kegiatan brand audit untuk mengetahui produsen dengan produk terbanyak yang mencemari Kali Ciliwung wilayah Condet di Jakarta. Dok. Pribadi
Bukan hanya Bhre, aktivis cilik Aeshnina Azzahra datang dari keluarga pegiat lingkungan. Remaja berusia 16 tahun itu adalah putri Prigi Arisandi, biolog, aktivis lingkungan, dan pendiri Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton)—sebuah organisasi yang berfokus pada rehabilitasi sungai.
Prigi mengatakan, ia kerap mengajak Nina—sapaan Aeshnina—berkegiatan lingkungan. Sebagai contoh, ketika Prigi melakukan penelitian di sungai dekat dengan tempat penimbunan sampah di Desa Sumengko, Gresik. Tempat itu untuk menampung sampah plastik impor.
Saat itu, Prigi meneliti sampel air sungai, air limbah, dan ikan yang dekat dari lokasi penimbunan sampah tersebut. Hasilnya, dari air dan ikan yang dibedah, ditemukan mikroplastik. Selanjutnya, Nina mencari tahu sendiri di Internet tentang bahaya mikroplastik dan negara mana saja yang mengekspor sampah plastik itu ke Desa Sumengko. "Sebagai orang tua, saya hanya membantu menunjukkan fakta dan menanamkan pesan bahwa manusia harus memberikan manfaat kepada manusia lain."
Prigi juga mengaku sering mengajak Nina melakukan aksi protes atau unjuk rasa. Bahkan saat Nina masih duduk di taman kanak-kanak. Contohnya saat unjuk rasa di depan kantor Gubernur Jawa Timur soal pencemaran sungai hingga matinya ikan-ikan di sungai. "Itu mungkin yang selalu diingat Nina bahwa protes merupakan cara untuk menuntut keadilan," ujar Prigi.
Selain itu, Prigi membantu Nina memperkuat mentalnya. Sebab, ia sadar bahwa kegiatan yang dilakukan Nina, seperti mengirim surat terbuka kepada Kanselir Jerman dan Presiden Joko Widodo, serta bicara tentang isu kerusakan lingkungan, merupakan kegiatan berisiko. "Jadi, sebagai orang tuanya, saya harus membesarkan hatinya."
KUKUH S. WIBOWO | INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo