Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PHK massal masih berlangsung di industri padat karya.
Industri yang berorientasi ekspor paling terguncang.
Kementerian Perindustrian mengoptimalkan penggunaan produk lokal.
JAKARTA — Kabar muram terus saja berdatangan dari industri manufaktur padat karya. Pada Senin lalu, PT Horming Indonesia, produsen sepatu merek Puma di Cikupa, Kabupaten Tangerang, mengumumkan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 600 dari total 2.400 orang karyawannya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang Rudi Hartono mengatakan, manajemen PT Horming sudah menyampaikan rencana PHK tersebut secara resmi sejak sepekan sebelumnya. PHK terpaksa dilakukan karena sepinya pesanan dari pasar Eropa.
“PHK tidak bisa dihindari karena kondisi perusahaan,” ucapnya kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan ini, kata Rudi, serupa dengan keputusan yang diambil PT Tuntex Garment, produsen pakaian olahraga merek Puma, yang telah lebih dulu menyampaikan penutupan pabrik pada April lalu. Tuntex melakukan PHK kepada lebih dari 1.200 karyawannya karena efek pandemi dan lesunya pasar Eropa.
Penutupan pabrik dan PHK massal di dua perusahaan tersebut menjadi cermin lesunya kinerja industri manufaktur nasional di tengah tren penurunan permintaan global. Industri tekstil dan alas kaki mengalami penurunan permintaan terbesar dari pasar ekspor yang selama ini menjadi andalan.
Baca juga: Rapor Merah Industri Tekstil dan Alas Kaki
Kondisi industri manufaktur nasional yang melemah tampak pula pada skor Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis S&P Global, Senin lalu. Menurut lembaga riset ekonomi tersebut, skor PMI Manufaktur Indonesia pada Mei 2023 turun ke 50,3 dari 52,7 pada April 2023, dan menjadi skor terendah dalam enam bulan terakhir.
PMI Manufaktur merupakan indikator ekonomi yang mencerminkan keyakinan para manajer bisnis di sektor manufaktur. Skor PMI di atas 50 menunjukkan level ekspansi, sedangkan di bawah 50 menandakan level kontraksi. Artinya, PMI Indonesia tidak jauh dari level kontraksi.
Menurut S&P Global, penurunan PMI Indonesia ke level yang sama dengan November 2022 terjadi karena pelemahan permintaan dari dalam dan luar negeri. S&P Global menyebutkan, penurunan skor PMI Indonesia juga mencerminkan minimnya tingkat pembukaan lapangan kerja baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekerja menyelesaikan pembuatan pakaian di pabrik garmen di Tangerang, Banten. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Terguncang Kelesuan Global dan Gejala Deindustrialisasi
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, industri yang berorientasi ekspor menjadi kelompok yang paling terguncang di tengah kondisi saat ini, terlebih jika memiliki karakteristiknya sebagai industri padat karya.
“Kabar penutupan pabrik masih terus bermunculan untuk industri alas kaki dan sepatu. Mereka kesulitan berjualan karena pasarnya dibatasi, permintaan turun,” katanya kepada Tempo, kemarin, 6 Juni 2023.
Hariyadi mengungkapkan, penurunan permintaan terjadi pada pasar Eropa dan Amerika, dengan jumlah penurunan pesanan mencapai 30-50 persen dari kondisi normal. Industri pun kini berupaya bertahan, salah satunya dengan mencoba memanfaatkan peluang pangsa pasar domestik.
Baca juga: Pertumbuhan, Inflasi, dan Potensi Manufaktur
Direktur Eksekutif Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono berpendapat, penurunan PMI Manufaktur yang cukup dalam perlu diwaspadai. Pasalnya, meski masih berada di zona ekspansi, dan lebih tinggi daripada negara-negara lain di kawasan, PMI Manufaktur sebesar 50,3 merupakan yang terendah dalam enam bulan terakhir.
“Pelemahan ini mengindikasikan PMI Manufaktur kita sudah mendekati zona kontraktif, dan sektor manufaktur kita berpotensi jatuh semakin dalam,” ujarnya. Untuk komparasi, PMI Manufaktur Vietnam sebesar 45,3; Malaysia 47,8; Korea Selatan 48,4; dan rata-rata dunia 49,6.
Ia menganalisis, pelemahan kinerja industri tak hanya disebabkan oleh penurunan permintaan ekspor, tapi juga banyak tertekan kenaikan biaya produksi, termasuk kenaikan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia sejak Agustus 2022. Saat ini, suku bunga acuan BI berada di level 5,75 persen.
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, mengungkapkan, indikasi berikutnya yang patut diwaspadai adalah gejala deindustrialisasi, di mana industri manufaktur atau pengolahan tak lagi bisa berperan sebagai basis pendorong utama perekonomian.
Terlebih, kontribusi sektor ini terhadap produk domestik bruto (PDB) secara nasional juga terus menurun. Pada 2008, kontribusi sektor pengolahan terhadap PDB Indonesia mencapai 27,8 persen; tapi pada 2022 kontribusinya merosot, yaitu hanya 18,3 persen.
“Penciptaan lapangan kerja kurang bermutu, pekerja sektor informal terus meningkat jumlahnya, sehingga efek pengganda dari investasi di dalam negeri itu tidak terasa,” kata dia.
Dua Resep Pemerintah
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita membenarkan bahwa dinamika perekonomian global menjadi salah satu faktor utama pemicu pelemahan kinerja industri manufaktur. “Meski melambat, PMI masih berada pada level ekspansi selama 21 bulan terakhir. Kondisi permintaan baru dan lapangan kerja juga masih cukup baik,” ucapnya.
Kementerian Perindustrian pun berkomitmen untuk mengembalikan kinerja industri manufaktur nasional dengan dua cara. Pertama, menerapkan kebijakan optimalisasi produk lokal melalui Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).
“Kami akan terus memacu permintaan domestik melalui program tersebut. Belanja kementerian/lembaga dan pemerintah daerah akan terus dipantau, terutama yang memiliki anggaran belanja besar,” kata Agus.
Adapun realisasi belanja produk dalam negeri oleh kementerian/lembaga, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan badan usaha milik negara (BUMN) pada 2022 mencapai Rp 762 triliun. Sedangkan target tahun ini sebesar Rp 1.100 triliun.
“Para pelaku industri manufaktur harus dapat memanfaatkan peluang tersebut untuk mengembangkan bisnis usahanya dengan menciptakan produk yang berkualitas dan kompetitif,” ucapnya.
Cara kedua adalah melakukan temu bisnis atau business matching produk dalam negeri, dengan mempertajam identifikasi kebutuhan produk belanja pemerintah, meningkatkan jumlah produk industri dalam negeri sebagai substitusi impor, hingga pembelian langsung melalui e-katalog pemerintah.
Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Abdurohman, membantah anggapan bahwa telah terjadi gejala deindustrialisasi di Indonesia. “Deindustrialisasi merupakan proses jangka panjang, di mana terjadi penyusutan secara terus-menerus kontribusi sektor manufaktur pada perekonomian,” ujarnya.
Adapun saat ini sektor manufaktur masih menjadi sektor penyumbang PDB terbesar, yaitu hampir 20 persen. “Memang ada tendensi penurunan sektor manufaktur kita. Namun penguatan proses penciptaan nilai tambah melalui penghiliran hasil mineral dan pertanian potensial menunjukkan hasil yang signifikan,” ucap Abdurohman.
Ia menambahkan, penghiliran lanjutan dari olahan barang mentah hingga produk jadi akan menciptakan nilai tambah yang besar bagi perekonomian, khususnya sektor manufaktur. Dengan demikian, penghiliran bisa dianggap sebagai terobosan upaya revitalisasi industri manufaktur atau reindustrialisasi.
JONIANSYAH HARDJONO (TANGERANG) | GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo