Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA tahun lalu, bisnis alat pemanas nasi yang dijalankan Toto Dirgantoro mendadak sempoyongan. Magic jar yang diimpornya dari Korea Selatan babak-belur dihajar produk Cina, yang harganya jauh lebih murah.
Bayangkan saja, untuk produk Korea, harga yang harus dibayarnya US$ 9-11 (Rp 81-99 ribu) sebiji. Sedangkan produk sejenis dari Cina cuma dibanderol US$ 7. Padahal, dari sisi kualitas, kedua produk itu tak jauh beda. Konsumen pun kontan berpaling. ”Saya jelas rugi,” kata Direktur PT Jakarta Cargotama ini, Rabu pekan lalu.
Bukan cuma itu yang membuat kantong Toto terbakar. Bahan baku besi beton yang diimpornya sejak 1997 dari Ukraina dan Rusia ikut tergerus produk sejenis dari Cina. Para distributor, konsumen langganannya, lebih melirik produk asal Negeri Tirai Bambu. Maklum, harga bahan baku besi beton asal Eropa Timur lebih mahal US$ 40-50 per metrikton.
Terpukul oleh dua kejadian pahit itu, Toto akhirnya memutuskan banting setir. Cina menjadi kiblat baru baginya untuk mendatangkan barang impor. Pemanas nasi, bahan baku besi beton, hingga pemutar cakram DVD diburunya hingga ke Guangzhou, yang butuh waktu terbang sekitar 4 jam dari Jakarta.
Dari kota di Provinsi Guangdong itulah, Toto kini biasa mengimpor pemanas nasi hingga 10 kontainer per bulan, senilai total Rp 4,4 miliar. Belum lagi impor pemutar DVD 3-4 kontainer, plus bahan baku besi beton 15 ribu metrikton per bulan.
Toto hanyalah potret kecil dari betapa tak berdayanya kita menghadapi serbuan produk Cina. ”Banyak importir Indonesia kini berkiblat ke sana,” katanya. Tak mengherankan, kini rasanya hampir tak ada ruang terbebas dari produk buatan Cina. Mulai dari peniti hingga jepit rambut. Dari payung hingga televisi, pendingin ruangan, dan komputer. Semua tak luput dari jamahannya.
Itu sebabnya, nilai impor produk Cina dari waktu ke waktu terus membengkak. Tujuh tahun lalu, nilai komoditas nonmigas Cina yang masuk ke Indonesia baru sekitar US$ 1,7 miliar. Jauh di bawah nilai impor asal Jepang yang mencapai US$ 5,4 miliar.
Tapi lihatlah sekarang. Keadaan berbalik 180 derajat. Posisi Jepang yang dulu selalu menempati peringkat pertama pasar impor Indonesia, sejak September 2006 tergusur. Dengan nilai impor US$ 525,5 juta, untuk pertama kalinya impor nonmigas dari Cina menggusur Jepang (US$ 434,2 juta).
Dominasi Cina berlanjut hingga akhir tahun lalu. Berdasarkan data sementara Badan Pusat Statistik, total impor pro-duk Cina sepanjang tahun lalu, yang mencapai US$ 5,5 miliar (Rp 49,5 triliun), juga lebih besar ketimbang Jepang (US$ 5,48 miliar). Ini berkat pertumbuhan mengesankan sebesar 30 persen selama tujuh tahun terakhir.
Adapun lima barang favorit yang paling kerap diimpor adalah mesin dan perlengkapan listrik, buah-buahan, sayuran, barang plastik berbentuk mainan, serta bahan kimia organik.
Serbuan produk Cina itu, menurut Adi Harsono, Presiden Indonesian Business Association of Shanghai, tak lepas dari keterampilan negara itu dalam membenahi diri, sehingga berhasil menjadi pusat pabrikasi dunia. Sedangkan Indonesia, kata Adi, justru gagal mengerjakan ”pekerjaan rumahnya” dengan baik.
Pengawasan barang impor di sejum-lah pintu masuk pelabuhan sangat lemah. ”Akibatnya, produk Cina yang masuk tidak terkontrol,” kata suami Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu itu. Buntutnya, barang selundupan asal Cina pun kian merajalela.
Aryanto Sagala, Direktur Tekstil dan Produk Tekstil Departemen Perindustrian, mengakui adanya dugaan penyelundupan tadi. Indikasinya, data nilai perdagangan keluaran BPS berbeda jauh dengan data yang dilansir kepabeanan Cina.
Data 2005, misalnya. Ketika itu, nilai impor tekstil yang masuk ke Indonesia US$ 220 juta. Setelah dicek di kepabeanan Cina, nilai tekstil tujuan Indonesia ternyata mencapai US$ 770 juta. Perbedaan angka ini terjadi sejak 2002.
Peristiwa yang sama terjadi juga pada produk elektronik. Abdul Wahid, Direktur Industri Elektronika Departemen Perindustrian, mensinyalir 40 persen produk elektronik dari Cina yang beredar dua tahun lalu merupakan hasil selundupan.
Jika begitu kondisinya, jelas saja industri tekstil dan elektronik lokal ngos-ngosan dalam persaingan menghadapi produk Cina. Itu sebabnya, produsen domestik pun lebih suka mengekspor produknya, ketimbang menjualnya di pasar dalam negeri.
MARAKNYA produk Cina bukanlah monopoli Indonesia belaka. Berjuta toko di berbagai penjuru dunia kini tak luput dari serbuannya. Setengah dari pakaian yang dijual di seluruh dunia dan sepertiga telepon seluler yang beredar di pasar global diproduksi di Cina.
Berkat penjualan produknya ke berbagai belahan bumi itulah, nilai ekspor Cina sepanjang tahun lalu melesat ke angka US$ 963 miliar (Rp 8.667 triliun)! Jumlah ini hampir 12 kali lipat nilai ekspor Indonesia pada 2006. Amerika masih merupakan pasar terebesarnya (21 persen). Sisanya tersebar ke Uni Eropa, Hong Kong, Jepang, dan negara Asia Tenggara.
Dengan pendapatan berlimpah-ruah, negeri seribu kaisar ini memang kian makmur. Di kancah global, ekonomi Cina kini berjaya di urutan nomor empat besar dunia. Produk domestik brutonya tahun lalu mencapai US$ 2,7 triliun (Rp 24.300 triliun), sedangkan cadangan devisanya US$ 1,1 triliun. Bandingkan dengan PDB Indonesia yang hanya sekitar Rp 2.700 triliun, dengan cadangan devisa US$ 42 miliar.
Jika menoleh ke belakang, kebangkitan ekonomi Cina sesungguhnya bermula ketika Deng Xiaoping, pemimpin besar Cina, meniupkan peluit tanda dimulainya era liberalisasi ekonomi pada 1978. Kebijakan ini ditempuh guna meningkatkan produktivitas dan standar ekonomi masyarakat. Hasilnya luar biasa. Pertumbuhan di sektor pertanian dan industri pada 1980-an meningkat 10 persen.
Denyut ekonomi Cina berdetak lebih keras sejak 1992, setelah Deng menekankan pentingnya reformasi ekonomi yang berorientasi pada pasar. Pidato yang dikumadangkannya saat berkunjung ke wilayah selatan Cina itu memicu pergerakan petani dari pedalaman ke kota.
Berbekal kartu tanda penduduk dan uang seadanya, mereka merambah kota untuk mengisi pembangunan yang sedang giat-giatnya dilakukan. Sejak 1993, Deng pun kemudian menetapkan 2.000 kawasan ekonomi khusus di negaranya.
Ramuan Deng ternyata mujarab. Naga Asia itu berhasil memangkas laju inflasi lebih dari setengahnya dalam kurun 10 tahun—tinggal 8 persen pada awal 1996. Angka kemiskinan pun susut drastis dari 53 persen pada 1981 menjadi tinggal 8 persen pada 2001. Sebaliknya, pertumbuhan ekonominya tiap tahun meningkat. Tahun lalu bahkan mencapai 10,7 persen—tiga kali lipat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, yang menjadikannya sebagai mesin ekonomi terpanas di dunia.
Semua pencapaian itu membuat Cina kian optimistis. Saat berbicara di World Economic Forum di Davos, Swiss, Januari 2005, Wakil Perdana Menteri Cina Huang Ju bahkan mengumandangkan PDB negaranya ditargetkan menembus US$ 4 triliun pada 2020. Adapun pendapatan per kapitanya diharapkan mencapai US$ 3.000—naik dari saat ini yang besarnya US$ 1.700.
Untuk mencapai cita-cita besar itulah, 300 juta penduduk direncanakan akan hijrah dari pedesaan guna menyiapkan infrastruktur kota. Tiga tahun mendatang, setengah penduduk Cina diperkirakan sudah akan menetap di perkotaan.
Cina sadar, penduduknya yang berjumlah 1,3 miliar—bahkan jauh lebih besar dari total penduduk Jerman, Prancis, dan Inggris— merupakan pangsa pasar yang renyah bagi perusahaan-perusahaan multinasional. Bak magnet raksasa, berbagai industri raksasa dunia berlomba-lomba membenamkan duit investasinya di sana. Untuk tahun lalu saja, hampir US$ 70 miliar yang mengalir masuk ke Negeri Tirai Bambu.
Beberapa perusahaan multinasional itu antara lain Wal-Mart, perusahaan retail terbesar di dunia, juga raksasa produsen ponsel Nokia dan Ericsson. Itu sebabnya, banyak merek terkenal dunia yang masuk ke Indonesia kini berlabel Made in China.
Tak cuma menerima investasi, perusahaan Cina juga gencar melebarkan sayapnya. Salah satu yang menggebrak adalah Lenovo. Pabrikan komputer yang berdiri sejak 1984 itu secara mengejutkan berhasil mengakusisi divisi komputer IBM pada Desember 2004.
Akuisisi ini menjadikan Lenovo sebagai perusahaan komputer terbesar ketiga di dunia pada 2005—naik enam peringkat dari tahun sebelumnya. Pencapaian ini diraih karena Lenovo diizinkan memakai berbagai merek IBM seperti ThinkPad, ThinkVision, ThinkCentre, Aptiva, dan NetVista.
Bagaimana dengan aliran modal Cina ke Indonesia? Kehadirannya cukup terasa di sektor minyak dan gas. Tiga nama yang kini berkibar adalah Petrochina (perusahaan terbesar kedua di Cina), CNOOC, dan Citic Resources Holdings Ltd. Consortium, yang baru saja membeli 51 persen saham KUFPEC (Indonesia) Ltd., unit usaha Kuwait Petroleum Corp, di Blok Seram.
Menurut M. Lutfi, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal, total investasi Cina di Indonesia memang belum besar. Posisinya baru di urutan ke-16. Tapi, perlu dicatat: bila seluruh proyek pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt berbahan bakar batu bara berjalan, posisinya bisa melonjak ke lima besar.
Dengan segala kedigdayaannya itu, Jeffrey D. Sach, ekonom Columbia University, pernah menaksir perekonomian Cina bakal menggusur Amerika pada 2050. Analis Goldman Sachs bahkan meramalkan lebih cepat. Menurut dia, perekonomian Cina sudah akan melampaui Jepang pada 2015 dan Amerika pada 2039. Sedangkan Jerman sudah akan terjungkal pada 2009.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo