Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI pinggang penari, pohon willow di hutan Gyerim, Kota Gyeongju, Provinsi Gyeongsang Utara, meliuk ditimpa angin. Semua orang Gyeongju percaya, hutan inilah yang menjadi salah satu cikal bakal lahirnya Kerajaan Silla. Kerajaan yang berkuasa selama sepuluh abad dan wilayah kekuasaannya membentang dari semenanjung utara di Pyongyang (Korea Utara) hingga semenanjung selatan di Pulau Jeju (Korea Selatan).
Tercatat sebagai situs bersejarah nomor 99 di Korea, hutan Gyerim yang masuk salah situs bersejarah Taman Nasional Gyeongju di wilayah Sabuk Tumuli Park ini sudah terdaftar dalam UNESCO World Heritage sejak 2006.
Menurut legenda, di hutan Gyerim—berarti ayam—raja pertama Silla bernama Talhae mendengar ayam menangis. Mendengar tangisan itu, Talhae menyuruh pengawalnya mencari asal-muasal suara itu. Mendapati sumbernya, mereka hampir tak percaya pada penglihatannya. Bukan ayam yang ditemukan, melainkan sebuah kotak emas berisi anak manusia. Oleh Raja Talhae anak ini kemudian diberi nama Kim Alji. Kelak, Kim Alji-lah yang menurunkan klan Kim, klan dengan jumlah terbesar di seluruh Semenanjung Korea, sekaligus menjadi klan turun-temurun keluarga Kerajaan Silla.
Masih kalah jauh bila dibandingkan dengan keindahan hutan tropis Indonesia, tapi pemerintah Korea telah berhasil membuat tempat bersejarah itu jadi menarik dan eksotis bagi wisatawan. Tempat itu dirapikan habis-habisan. Pohon willow yang merupakan ciri khas hutan itu ditata sedemikian rupa, berderet-deret, ibarat barisan penari di atas tanah berpasir putih. Patut diketahui, menanam pohon willow dan beberapa jenis lain di daerah yang tanahnya tak begitu subur itu bukan pekerjaan yang mudah. ”Perlu digali lebih dalam, dan kadang harus membalik tanah sampai tujuh kali,” ujar Ho, salah seorang penanam rumput di sana.
Manakala Korea sedang memasuki musim panas, suhu udara mencapai 38 derajat Celsius. Hanya lima jenis tanaman yang bisa bertahan dalam cuaca sepanas itu: willow, bunga canola, bunga mugunghwa, bunga lotus, dan rumput. ”Kalau musim gugur, semua bunga itu hilang, berganti pepohonan dengan daun yang kemerahan,” tutur Ho. Menurut Ho, rumput satu-satunya tanaman yang bertahan di Gyeongju selama pergantian empat musim. Maka, hampir seluruh lahan di Gyeongju tertutupi hijaunya rumput. Rumput di Gyeongju inilah yang menjadi saksi berabad-abad lalu atas kejayaan Dinasti Silla. Rumput di kota ini digunakan para pembuat makam sebagai karpet penutup makam keluarga kerajaan.
Di tengah-tengah hutan, di dekat pohon tempat ditemukannya kotak Kim Alji, dibangun sebuah kuil merah menyala. Sayangnya, ketika Tempo mengunjungi tempat itu sebulan lalu, kuil itu terkunci rapat. Di sebelah timur, sekitar lima ratus meter dari makam ini, tersebar makam keluarga kerajaan Dinasti Silla. Bentuknya seperti jejeran perbukitan hijau, rata-rata tingginya mencapai 12 meter dengan diameter 47 meter dan tersebar hampir di seluruh Gyeongju. Meski tersebar, hanya ada satu kompleks makam yang paling terkenal dan didaftarkan sebagai situs bersejarah nomor 155, yaitu Cheonmachong.
Cheonmachong berarti kuda terbang dengan delapan kaki. Nama ini diambil dari sebuah lukisan yang terpahat di salah satu makam. Menurut mitologi Korea, kuda terbang ini menjaga makam beserta harta kerajaan yang tersimpan di dalamnya. Di dalam kompleks Cheonmachong ini ada 41 makam keluarga kerajaan yang belum semuanya selesai diekskavasi. Hanya satu makam yang sudah selesai, dan dibuka untuk umum.
”Yang ditemukan pertama kali adalah fosil manusia yang masih mengenakan mahkota dan sabuk emas kerajaan,” ujar Lee, salah satu pemandu wisata sekaligus penjaga makam. Meskipun penduduk Gyeongju mengetahui ada berbagai macam harta berharga milik kerajaan yang terkubur di makam-makam itu, tidak ada satu pun yang berani menggali dan mencurinya. Padahal banyak makam di luar kompleks Cheonmachong yang bersebelahan dengan rumah penduduk, pertokoan, penginapan, bahkan pompa bensin. ”Bentuk makam itu tetap sama dengan ratusan abad lalu,” kata Lee. ”Jika berjalan melewati makam-makam itu seperti berloncatan di masa lalu,” ujarnya.
Bila terus berjalan 700 meter ke utara dari Gyerim dan Cheonmachong, kita akan menjumpai menara pengamat bintang tertua di Asia Timur bernama Cheomseongdae, yang dibangun saat pemerintah Ratu Seondeok pada 632-649 Masehi. Menara ini membantu petani mengamati pergantian musim, berdasarkan perubahan formasi bintang. Dilihat sepintas lalu, menara yang tercatat sebagai situs sejarah nomor 33 ini tampak biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa selain bentuknya yang seperti vas bunga. Tapi, bila dihitung secara saksama, jumlah batu yang disusun tanpa perekat itu memiliki konstruksi yang simetris hingga berdiri kukuh setinggi 9,4 meter.
Keunikan lain, jumlah susunan batu melingkar di bagian atas bangunan ini mencapai 27 buah. Susunan itu diasosiasikan sebagai urutan Ratu Seondeok, sebagai pemimpin ke-27 Dinasti Silla. Sedangkan secara vertikal, dari tengah ke bawah, 12 batu besar yang menjadi fondasi bangunan itu diasosiasikan sebagai jumlah tahun dalam perhitungan kalender Cina.
Menurut kitab sejarah Samguk Sagi dan Samguk Yusa, Ratu Seondeok merupakan pemimpin perempuan pertama Korea dan menjalankan pemerintahan berdasarkan ilmu pengetahuan. Pada zaman Ratu Seondeok, perhitungan ilmu alam diterapkan dalam mengolah lahan pertanian. Maka sejak dibangun menara pengamat bintang itu, hasil pertanian di Gyeongju melimpah- ruah. Hingga sekarang, pertanian menjadi sumber mata pencarian utama masyarakat Gyeongju, selain industri pariwisata.
Alunan instrumen Yoga bergema di seluruh penjuru Taman Air Anapji. Di setiap pojok taman ini diselipkan sebuah pengeras bersuara jernih. Agar tidak terlihat dari pandangan pengunjung, pengeras suara ini diselipkan di balik batu berbentuk kubah jamur. Siapa pun yang datang ke taman itu akan merasakan kantuk yang teramat sangat. Bukan membosankan atau capek berjalan mengelilingi taman yang luasnya mencapai 36 hektare itu, melainkan suasana rileks yang tercipta dari taman air tempat raja-raja Silla menyambut tamu kenegaraan mereka.
Di atas taman air itu terdapat tiga pendapa merah yang terpisah jauh. Satu pendapa terletak di timur, satu yang paling besar di tengah, dan satu lagi di bagian barat. Saat ini pendapa itu digunakan sebagai tempat memajang barang-barang hasil ekskavasi arkeologi Anapji pada 1975.
Semua pendapa itu menghadap ke arah yang sama: kolam air dengan pulau-pulau buatan di tengahnya. Pulau buatan itu berisi pepohonan khas Asia Timur. Ikan koi hilir-mudik di sela pulau-pulau itu. Tempo, yang saat itu duduk di pendapa tengah, sempat melihat kemunculan seekor kura-kura yang berenang menghampiri.
”Wah, Anda beruntung, kura-kura itu menuju ke arah Anda,” ujar seorang ibu. Menurut mitologi setempat, kura-kura di kolam itu jarang sekali muncul. Jadi, bila pengunjung bisa melihat seekor kura-kura di kolam itu, tandanya keberuntungan dan keabadian akan menghampirinya.
Sayangnya, kura-kura itu tidak pernah mendatangkan keberuntungan dan keabadian bagi Anapji. Tiga pendapa di taman air itu pernah terbakar saat Korea berada di bawah penjajahan Jepang. Sebelumnya, pada 1879, Jepang berusaha merebut Korea yang berada dalam pengaruh Cina.
Kemudian, pada 1905, Jepang memaksa Korea menandatangani Perjanjian Eulsa, yang menjadikan Korea sebagai daerah jajahannya. Pada masa penjajahan itulah, Jepang membakar situs-situs bersejarah peninggalan kerajaan. Demi mempertahankan hartanya dari amukan Jepang, keluarga kerajaan yang berada di bawah Dinasti Joseon membuang barang berharga mereka ke dalam kolam.
Kini pemerintah Korea Selatan memasukkan Anapji ke proyek renovasi situs bersejarah terpenting di Gyeongju. Anapji telah dikeruk dan dibangun kembali pada 1974. Penggalian arkeologi jangka panjang juga dilakukan di tempat itu, mulai Maret 1975 hingga Desember 1986. Dari penggalian kolam itu didapatkan 33 ribu peninggalan bersejarah.
Meski sudah tidak asli lagi, taman air ini masuk situs bersejarah nasional yang rencananya akan didaftarkan pemerintah Korea Selatan ke UNESCO World Heritage. Karena itu, pemerintah Korea memolesnya habis-habisan.
Di taman cantik itu kini dibangun drainase yang membersihkan aliran air ke kolam setiap hari. Di sekitar taman juga dibangun toilet yang bersihnya minta ampun. Kebun bunga Lotus dengan daun-daunnya yang lebar tersebar indah mengelilingi Anapji.
Sore itu, bunga lotus merah jambu sedang mekar, menggoda pengunjung untuk mampir dan berfoto sesaat. Tambah lagi tagline menarik dari spanduk yang dipajang di depan pintu masuk ”Selamat datang, murah, hanya 1.300 won,”. Dan memang, ini bukanlah usaha pemerintah yang sia-sia.
Cheta Nilawaty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo