Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRUK terbuka bermuatan pengeras suara bergerak pelan dari kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur menuju kantor Gubernur. Di belakangnya, sekitar seribu petani tembakau dan cengkeh yang tergabung dalam Aliansi Petani Tembakau Indonesia membuntuti. Mereka akan menemui Gubernur Jawa Timur Soekarwo.
Hari itu, Rabu pekan lalu, mereka meminta Gubernur Soekarwo menyampaikan petisi mereka kepada pemerintah Indonesia agar menolak usulan rekomendasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Produk Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) Organisasi Kesehatan Dunia. Rekomendasi yang akan disahkan pada November mendatang di Uruguay itu melarang penambahan bahan lain dalam produk tembakau dan pengurangan lahan pertanian untuk tembakau.
Menurut Ketua Aliansi Petani Tembakau Indonesia Soedaryanto, rekomendasi itu dipastikan bakal memukul rokok kretek Indonesia. Sebab, beda dengan rokok putih, rokok kretek—rokok ”asli” Indonesia itu—selalu memakai cengkeh sebagai bumbu tembakau. ”Larangan itu akan membuat jutaan petani tembakau dan cengkeh menganggur,” kata Soedaryanto.
Di depan para petani, Rabu pekan lalu itu, Soekarwo menegaskan ia mendukung keinginan mereka. ”Saya pasti dukung keinginan petani,” kata Soekarwo. Apalagi, ujarnya, 50 persen produksi tembakau berasal dari Jawa Timur.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Jawa Tengah, Nurtanto Wisnu Broto, menuding DPR telah meninggalkan para petani. ”Kali ini kami tidak mau kecolongan lagi,” katanya menunjuk disahkannya Undang-Undang Kesehatan pada September tahun lalu. Menurut Nurtanto, DPR tidak mau mendengar aspirasi petani tembakau. ”Kami ditinggal,” ujarnya. Padahal, ujarnya, jumlah petani tembakau ada sekitar enam juta orang, yang mestinya aspirasi mereka didengar DPR. Dengan masuknya ayat yang menyatakan tembakau dan produk tembakau sebagai zat adiktif, ujarnya, itu bakal mengancam petani yang mengandalkan hidupnya dari tanaman tembakau.
Nurtanto mengingatkan, tembakau kretek sudah ada sejak berabad lalu. Salah satunya diceritakan dalam kisah Roro Mendut dalam Babad Tanah Jawa. Dikisahkan bahwa Roro Mendut pun, perempuan cantik jelita itu, pembuat rokok kretek. ”Kalau Roro Mendut masih hidup, dia pasti ikut mengajukan uji materi Undang-Undang Kesehatan ini,” ujar pemilik kebun tembakau seluas lima hektare di Temanggung itu, serius.
LANGKAH hukum untuk melawan munculnya ayat tembakau sudah diambil Bambang Sukarno, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Pada Maret silam Bambang mengajukan gugatan uji materi ayat itu ke Mahkamah Konstitusi. Ia menilai pengkategorian tembakau sebagai zat adiktif yang dirumuskan dalam Pasal 113 ayat 2 Undang-Undang No. 36/2009 tentang Kesehatan tidak adil. ”Kok, hanya tembakau yang disebutkan mengandung zat adiktif. Tanaman lain seperti ganja dan kopi tidak,” ujarnya.
Temanggung, yang terletak di kaki Gunung Sindoro dan Sumbing, terkenal sebagai sentra tanaman tembakau. Menurut Bambang, ada 47 ribu orang di Temanggung yang hidupnya bergantung pada tembakau. Luas lahan tanaman tembakau di daerah itu sekitar 13 ribu hektare. ”Pengkategorian tembakau sebagai zat adiktif membuat petani waswas,” ujarnya.
Bukan sekali ini Bambang berupaya melenyapkan ayat tembakau itu. Beberapa hari sebelum undang-undang ini disahkan, misalnya, ia juga mengirim surat ke Ketua Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat dan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Kesehatan. Ia meminta ayat tembakau itu dicabut. Suratnya datang terlambat. Semua fraksi di DPR saat itu kadung menyetujui rancangan tersebut. Alhasil, meskipun ayat itu sempat hilang, nyatanya Undang-Undang Kesehatan itu lalu dikoreksi, ayat itu pun masuk. Tembakau dinyatakan sebagai zat adiktif.
Bambang menunjuk ancaman lain: Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau. Jika rancangan ini berlaku, katanya, industri rokok langsung sekarat. ”Karena rokok tidak boleh dijual eceran dan iklan rokok dilarang,” ujar Bambang mengutip sebagian isi rancangan tersebut.
Untuk memperkuat gugatannya di Mahkamah Konstitusi, Bambang sudah menghadirkan petani tembakau sebagai saksi. Parmuji, petani asal Desa Wonosari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, mengatakan tembakau adalah sumber utama nafkah keluarganya. ”Kalau industri rokok mengurangi produksi, kami akan mati pelan-pelan,” kata Parmuji.
Selain itu, Bambang memboyong dua nenek yang, menurut dia, umurnya hampir seratus tahun, Siyami dan Poninten, ke Mahkamah. Menurut Bambang, dua warga Wonosari itu sejak remaja sudah mengunyah kinang yang juga dicampur tembakau. Keduanya, ujar Bambang, hingga kini sehat walafiat.
Menurut ahli farmakologi Amir Syarief, nikotin yang ada di tembakau tergolong zat adiktif. Nikotin, ujar Amir, akan menimbulkan ketergantungan psikologis dan fisik. ”Pemakainya sulit menghentikan ketergantungan itu,” ujarnya. Sebatang rokok, kata Amir, mengandung 10 miligram nikotin. Padahal, nikotin 2 miligram saja sudah bisa menimbulkan efek euforia dan rasa senang kepada mereka, para pecandu rokok.
Peneliti dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Abdilah Ahsan, menyatakan jumlah perokok tidak pernah surut. Pada 1995, misalnya, ada sekitar 34 juta orang dan pada 2007 angka itu sudah di atas 65 juta. Hampir setengah juta di antaranya anak-anak.
Sidang uji materi yang diminta Bambang kini tinggal menunggu putusan. ”Sudah diagendakan untuk pleno mengambil keputusan,” kata hakim konstitusi Harjono, Kamis pekan lalu.
Selain Bambang, yang menggugat Undang-Undang Kesehatan ini ke Mahkamah Konstitusi adalah 12 petani tembakau Temanggung. Selain meminta pasal 113 ayat 2 dihapus, para petani anggota Asosiasi Petani Tembakau itu meminta pasal 114 dan 199 dihapus. Pasal 114 memerintahkan industri rokok mencantumkan bahaya rokok dalam kemasannya, dan pasal 199 mengatur ancaman pidana (maksimal lima tahun penjara) untuk industri yang tidak melaksanakan ketentuan pasal tersebut. ”Pasal 114 itu diskriminatif,” kata Wakil Kamal, kuasa hukum pemohon. Kalau pola pikirnya seperti ini, ujarnya, restoran junk food mestinya juga mencantumkan peringatan kesehatan lantaran mengandung banyak kolesterol, yang membahayakan kesehatan.
Wakil Kamal berharap pemerintah segera membahas Rancangan Undang-Undang Tembakau yang lebih menguntungkan petani tembakau. Wakil membantah permohonan uji materi yang dilakukan para petani disponsori industri rokok. Menurut dia, para pemilik industri rokok semuanya tiarap ketika Undang-Undang Kesehatan disahkan. ”Seharusnya merekalah, pemilik pabrik rokok yang kaya-kaya itu, yang bergerak, bukan petani,” ujarnya.
Sutarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo