Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Musik Meditasi Kosmis

Dengan sitar elektrik, Jin Hi Kim menyajikan sebuah musik meditasi Buddhis yang unik.

4 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VISUALISASI matahari tersorot di layar besar. Pendaran cahaya merah dan hijau mengelilinginya. Kemudian tercipta sulur yang merambat keluar dari pusat surya. Bentuknya seperti asap putih bakaran hio. Lalu muncullah tulisan ”Brings Me of Understanding Myself”.

Di depan layar itu, Jin Hi Kim, perempuan 53 tahun, bersila di atas panggung kecil. Sebuah komungo, sitar berdawai enam asal Korea sepanjang lebih dari satu setengah meter, terpangku di telapak kaki kiri. Tangan kanannya memegang stik dari bambu yang bentuknya seperti pensil. Jari-jari kirinya menekan senar. Nada rendah hasil petikan komungo pun mulai mengalir, memulai komposisi berdurasi 70 menit: Digital Buddha di Teater Salihara, Rabu pekan lalu.

Rangkaian nada yang dihasilkannya bergetar sangat kuat. Bahkan, dalam volume kecil sekalipun, vibrasi itu tak hanya merengkuh telinga, tapi seperti menyelusup lebih jauh dan menekan kerja jantung. Kadang satu nada diulangi berkali-kali dalam berbagai tempo. Kadang pula jari kanan menghantam dawai dengan keras hingga berbunyi tanpa perlu petikan stik. Selingan permainan melodi dengan rhythm menghadirkan nuansa orientalis. Dengan gaya itulah, sebuah musik kontemplatif-meditatif disuguhkan Hi Kim.

Tak lama, perkusionis Amerika Serikat, Gerry Hemingway, mulai memainkan drum. Bukan dengan stik, melainkan dengan tangan. Dua tom-tom menjelma seperti kendang yang ditabuh dengan telapak. Beberapa kali Gerry memukul bagian samping tom-tom hingga menghasilkan kenyaringan logam. Permainan perkusi disesuaikan dengan petikan Hi Kim. Saat Hi Kim bermain dalam tempo cepat, Gerry mendentangkan snare dan simbal. Kakinya juga memijak pedal bas drum dengan sedikit cepat. Tidak riuh, tapi sederhana dan melengkapi.

Gaya permainan Gerry berubah-ubah, berbeda dengan Hi Kim yang cenderung repetitif. Kadang Gerry memainkan stik kuas dengan ujung-ujungnya berbahan karet, kawat, atau besi kecil. Belakangan Gerry juga menggunakan kayu kecil berbentuk seperti kentongan tukang bakso dan bow biola yang digesekkan di samping simbal untuk menghasilkan dengung. Bahkan ia meniup simbal dan menirukan bunyi trompet. ”Bagi saya, yang terpenting bukan gaya permainan, tapi bagaimana permainan saya berkoneksi dengan Hi Kim,” kata Gerry seusai pentas.

Visual di layar karya Benton-C Bainbridge dan Joel Chadman, asyiknya juga seperti mengikuti permainan Hi Kim. Ia bagaikan mandala bergerak. Ketika permainan melambat, lingkaran cahaya mengecil. Saat tekanan nada menguat, pusat lingkaran menghadirkan delapan kelopak yang lama-kelamaan memudar dan digantikan kelopak baru. Terkadang obyek gambar mengklon dan kian banyak. Jelas ini bukan pertunjukan Hi Kim semata, tapi trio yang menyertakan perkusi dan visual art.

Berikutnya, layar menghadirkan dua gambar hitam-putih: tangan kanan Hi Kim yang memetik, dan jari-jari yang menekan dawai. Sebuah orkes mini komungo pun dimulai. Sesekali permainan komungo bergaya canon yang bersahutan. Kadang pula permainan pecah suara disuguhkan Hi Kim.

Konsep permainan solo-kolektif ini berlanjut saat Hi Kim duduk di depan panggung dan memainkan, satu-satunya di dunia, komungo elektrik. Alat musik tradisional dari abad keempat itu terhubung dengan komputer MacBook. Satu kabel lagi tersambung dengan efek Digitech. Suara yang dihasilkan menjadi lebih futuristik dan out of space. Bunyi-bunyian laser atau dengung radar kadang mewarnai permainan. Puncaknya adalah ketika bunyi-bunyian seperti sinyal-sinyal itu dibarengi dengan layar yang menampilkan keindahan cincin Saturnus dari berbagai angle, bopengnya permukaan bulan, sampai asteroid-asteroid.

Mungkin sulit membayangkan bagaimana meditasi Buddhis bisa dilakukan dalam nuansa yang dihadirkan Hi Kim dan Gerry. Penonton datang tentu bukan untuk bermeditasi. Tapi, bagi Kim, meditasi tak melulu duduk diam dan menutup mata. Bila penonton yang datang ada yang merasa seolah kesadarannya terbawa ke ruang angkasa, itu berarti musiknya berhasil.

Pramono, Ismi Wahid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus