Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERADA di ketinggian 1.500 meter dari atas permukaan laut, Desa Legok Sari, Kecamatan Tlogomulyo, Temanggung, Jawa Tengah, itu jauh dari kesan desa ”gunung”. Dihuni 1.625 penduduk, desa itu merupakan sentra penghasil tembakau di Kabupaten Temanggung. ”Dari ribuan warga desa, hanya satu warga yang tidak menanam tembakau,” Kata Kepala Desa Legok Sari, Subakir, kepada Tempo, yang Jumat pekan lalu ”menjenguk” desa itu.
Menurut Subakir, bertanam tembakau sudah menjadi mata pencaharian utama warganya. Setiap warga rata-rata memiliki lahan tembakau sekitar 100 meter persegi sampai 2 hektare. Dengan kondisi tanah yang subur dan iklim yang cocok, tembakau di desa itu terkenal paling jempolan seantero Temanggung. Kualitas tembakau Legoklah yang melambungkan nama Temanggung sebagai sentra penghasil tembakau kelas premium. Tak mengherankan jika harga jual tembakau Legok tinggi.
Tahun ini saja, dengan cuaca buruk karena kerap hujan, harga tembakau Legok mencapai Rp 90 ribu per kilogram. Adapun tembakau di daerah lain harganya jatuh sampai Rp 2.000 per kilogram. Turunnya harga karena kualitas tembakau tak matang dan membusuk akibat terlalu banyak mengandung air. Kalau sepanjang musim tanam tidak turun hujan, harga tembakau Legok bisa mencapai Rp 200 ribu sampai Rp 350 ribu per kilogram. Jenis srinthil bahkan bisa mencapai Rp 800 ribu. Di daerah lain, menurut Subakir, paling banter Rp 150 ribu per kilogram. ”Jadi petani tembakau di Temanggung itu untung,” kata Subakir.
Dari dua hektare lahan miliknya, Subakir mencontohkan, sekali panen bisa menghasilkan tembakau kering 900 kilogram per hektare. Tahun ini, karena cuaca buruk, lahannya hanya bisa menghasilkan 600 kilogram tembakau kering per hektare. Dengan harga saat ini sekitar Rp 90 ribu per kilogram, menurut Subakir, satu hektare lahan menghasilkan Rp 54 juta sekali panen. Karena biaya produksi per hektare Rp 30 juta, keuntungan satu hektare lahan bisa mencapai Rp 24 juta sekali panen. ”Itu baru keuntungan saat kondisi cuaca buruk,” katanya.
Dari bertani tembakau, pria 45 tahun itu mengaku bisa menyekolahkan ketiga anaknya sampai ke perguruan tinggi. Pria tamatan SMP ini juga berhasil menyekolahkan istrinya hingga meraih gelar sarjana administrasi pedesaan. Selain memiliki satu mobil dan beberapa motor, Subakir bisa membangun rumah dua lantai. ”Kalau mengandalkan gaji kepala desa, tidak cukup,” katanya.
Kondisi serupa dialami Kasiran, petani tembakau dari Desa Wanu Tengah, Temanggung. Memiliki lahan 2.000 meter persegi, Kasiran mengaku memperoleh 1,5 kuintal tembakau kering sekali panen. Dengan harga Rp 50 ribu per kilogram, pria 47 tahun itu bisa membawa pulang Rp 7 juta sekali panen. Dari tembakau, pria tamatan sekolah dasar ini bisa menyekolahkan dua anaknya ke perguruan tinggi, membangun rumah dua lantai, dan membeli dua sepeda motor.
Kasiran menyimpan uang hasil panen tembakau sebagai tabungan. Sehari-hari, kebutuhan keluarganya ia penuhi dari penghasilan menjadi tukang ojek. Karena musim tanam dan panen tembakau hanya sekali setahun, Kasiran menanam padi dan jagung di lahannya itu. Tahun ini, kata dia, adalah tahun yang tidak menguntungkan karena kualitas tembakaunya jelek. Kasiran memilih memborongkan semua hasil panen tembakaunya seharga Rp 4,5 juta.
Yang kerap merugikan petani, menurut Kasiran, adalah tata niaga tembakau di Temanggung. Saat menjual hasil panen, petani harus melalui tengkulak dan grader (juragan gudang). Tengkulak turun langsung ke desa-desa untuk mencari dan membeli tembakau dari petani. Mereka tidak langsung membayar kontan tembakau yang dibeli. Biasanya dipakai girik atau kertas seperti cek sebagai tanda jadi pembelian. Setelah itu, petani membawa tembakaunya ke grader. Di sinilah, menurut Kasiran, kecurangan kerap terjadi.
Ia mencontohkan, awalnya petani dan tengkulak sepakat menetapkan harga satu kilogram tembakau kering Rp 50 ribu per kilogram. Saat dibawa ke gudang, grader menyebut harga itu tak cocok untuk tembakau yang dibawa. Harga akhirnya melorot jadi Rp 35 ribu. Padahal, kata Kasiran, tengkulak dan grader itu menjual tembakau ke pabrik dengan harga Rp 75 ribu sampai Rp 85 ribu.
Kecurangan lain yang kerap terjadi adalah pengurangan di gudang. Sebelum masuk gudang, biasanya petani menimbang keranjang tembakaunya. Setelah masuk gudang penjualan, kata Kasiran, timbangannya berkurang 3-5 kilogram. ”Bisnis ini isinya mafia semua,” kata Kasiran.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia cabang Temanggung, Achmad Fuad, menilai tata niaga tembakau saat ini memang kerap merugikan petani. Pemilik gudang atau pemodal, kata Achmad, kerap mengijon hasil panen tembakau dengan cara memberi petani pinjaman modal tanam. Alhasil, petani tak punya pilihan menjual ke tempat lain. Harga yang diberikan biasanya jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tempat lain. ”Sedangkan bunga pinjaman yang diberikan bisa sampai 50 persen,” ujarnya.
Sistem girik, kata Achmad, juga merugikan petani. Harga yang sudah disepakati petani dan tembakau diubah ketika barang sampai ke gudang. Padahal pabrik rokok sudah membanderol harga tembakau itu. Kecurangan lain yang tidak bisa dibiarkan, ujar Achmad, adalah pengurangan bobot dengan alasan penyusutan. Beban pajak pembelian 0,25 sampai 0,5 persen, yang seharusnya ditanggung tengkulak, dibebankan ke petani. ”Tengkulak itu untungnya dari mana-mana.”
Maksun, tengkulak di Temanggung, mengatakan bahwa dalam tata niaga tembakau di Temanggung dan di mana pun, petani memang tidak bisa langsung menjual hasil panennya ke pabrik rokok. Hanya tengkulak atau juragan gudang yang bisa menjual langsung ke pabrik rokok, seperti Gudang Garam, Djarum, dan Bentoel. Di Temanggung sendiri terdapat 400 tengkulak. ”Harus ada kartu anggotanya kalau mau menjual ke pabrik,” ujarnya.
Keuntungan tengkulak, kata Maksun, diperoleh dari selisih nilai beli petani dengan harga beli dari gudang. Di tingkat petani, tengkulak menaikkan nilai tawar dengan sistem girik atau semacam cek. Modal pembeliannya berasal dari pinjaman bank. Sistem girik ini kerap ampuh sehingga gudang bisa membeli harga yang dibawa tengkulak. Ada juga yang memotong timbangan dengan alasan penyusutan. ”Tapi tak selamanya kami diuntungkan,” kata Maksun.
Menurut Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Temanggung, Rumantiyo, tata niaga tembakau di Temanggung masih wajar. Kendati Tengkulak memang masih menerapkan sistem girik, kata Rumantiyo, belum ada kecurangan. ”Kalau tengkulak nyari untung, itu biasa.” katanya.
Bagi Temanggung, kata Rumantiyo, tembakau telah menjadi urat nadi perekonomian warga. Dalam catatan pemerintah setempat, ada 47 ribu keluarga menjadi petani tembakau di kabupaten itu. Petani itu terbagi atas pemilik lahan, penggarap, atau penyewa lahan. Selain petani, ada perajin keranjang, buruh perajang daun, dan pemilik kendaraan angkut. Masa terbesar perputaran uang di Temanggung terjadi saat musim panen tembakau tiba. ”Ibaratnya, jualan apa pun saat itu pasti laku,” kata Rumantiyo.
Banyaknya gudang atau perwakilan pabrik rokok di Temanggung, kata Rumantiyo, juga mendatangkan lapangan kerja bagi penduduk sekitar. Hampir semua pabrikan rokok besar, semisal Djarum, Gudang Garam, dan Bentoel, mendirikan gudang untuk menampung tembakau dari petani Temanggung. Gudang-gudang itu belum termasuk milik pabrikan rokok kecil.
Yang tidak disadari warga Temanggung, dari tembakau jempolan yang mereka tanam, telah lahir orang-orang Indonesia yang masuk daftar orang terkaya di dunia pada tahun ini versi majalah Forbes. Bos Djarum, Robert Budi Hartono dan Michael Hartono, misalnya. Nilai kekayaan mereka sebagian besar disumbang dari perusahaan rokok. Sebelum meninggal, medio 2008, bos Gudang Garam, Rahman Halim, juga tercatat sebagai orang Indonesia yang masuk daftar orang terkaya di dunia.
Anton Aprianto, Anang Zakaria (Temanggung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo