Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hutan lebat, tebing terjal dan licin, terowongan labil dan berpasir, serta beberapa sungai harus dilewati Tempo dalam perjalanan ke wilayah Kecamatan Rampi. Dari Masamba—kecamatan terdekat dengan Rampi—orang harus berjalan kaki sekitar 100 kilometer karena kendaraan tak mungkin lewat. Tapi segala kelelahan terbayar lunas saat tiba di Rampi. Mata manusia langsung dimanjakan keindahan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Gunung-gunung menjulang mengitari enam desa—Desa Leboni, Sulaku, Onondowa, Dodolo, Rampi, dan Tedeboe. Terbentang di ketinggian, letak desa-desa itu dari sekitar 200 meter sampai 2.000 meter di atas permukaan laut.
Terlindung gelombang gunung, kehidupan di Rampi seperti beku oleh waktu: mayoritas permukiman berupa rumah panggung kayu tanpa cat sama sekali. Rumah hanya disekat seadanya, bahkan tak bersekat. Perabot amat minim. Tempat duduk hanya menggunakan tikar daun pandan hutan yang dianyam. Kalaupun ada kursi, hanya berupa bangku dari kayu. Jarang sekali ada keluarga yang punya lemari. Jadi, pakaian hanya dilipat seadanya, digantung atau ditumpuk dan dibungkus sarung.
Para ibu memasak menggunakan kayu bakar. Sesekali mereka menikmati ikan nila jika ada warga yang mengeringkan kolam. Kadang mereka juga menikmati daging hasil buruan di hutan. Harga bahan pokok cukup mahal; gula pasir Rp 20 ribu per kilogram dan bensin Rp 12 ribu seliter.
Sedemikian terpencilnya, Rampi belum punya kantor kepolisian, walau berstatus kecamatan selama 10 tahun terakhir. Saat ini hanya ada dua polisi mengawasi seluruh wilayah. "Jumlah penduduk masih sedikit, jarak tempuh jauh, dan jumlah personel di Luwu Utara terbatas, sehingga kami merasa tak perlu membangun kantor polisi di sana," ujar Kepala Kepolisian Resor Luwu Utara Ajun Komisaris Besar Agus Risendi. "Lagi pula, sejauh ini di Rampi tidak ada kasus yang berdampak luas. Semuanya dapat diselesaikan secara adat," dia menambahkan.
Hukum adat di kecamatan berpenduduk 3.000 orang itu kuat dan diberlakukan secara ketat. Beberapa kasus pidana diselesaikan secara adat, tanpa campur tangan polisi. Contohnya kasus pemukulan warga pada 26 Januari lalu di daerah Totahi. Saat membawa pipa dari Desa Bada menuju Desa Sulaku, Epak, 30 tahun, dipukul oleh Taimba, 35 tahun. Penyebabnya sepele: salah paham karena mabuk. Lembaga Adat Desa Sulaku akhirnya memutuskan Taimba membayar denda Rp 1,5 juta. "Istri Taimba menjual beberapa sak semen untuk menambah kekurangannya," ujar Hajah Hadera, pemilik toko kelontong setempat, tempat istri Taimba menawarkan semennya ketika itu.
Lain lagi kisah Rembulan Gasang, 22 tahun. Lima tahun lalu, ia diberi sanksi oleh Lembaga Adat Desa Leboni karena berhubungan badan dengan anak gadis berusia 13 tahun. "Karena tidak mau menikahi gadis tersebut, saya didenda," ujarnya. Bentuk dendanya seperti apa? Selain memberikan ternak kepada pihak yang dirugikan, pelaku diharuskan memberikan ternak kepada warga sebagai tanda perdamaian. Ternak ini biasanya dimasak, lalu dimakan bersama oleh semua warga. "Karena tak punya ternak, saya membayar denda hanya dengan seekor babi," ujar bapak satu anak ini. Toleransi seperti ini biasanya bergantung pada kompromi dengan pihak yang dirugikan.
Menurut Paulus Sigi, 53 tahun, Ketua Lembaga Adat Wilayah Rampi, hukum atau aturan adat yang dijalankan masyarakat di enam desa Rampi adalah warisan turun-temurun. "Aturan leluhur ini masih dijalankan hingga sekarang. Jenis aturan, pelanggaran, dan sanksi dicatat dan dipegang oleh masing-masing ketua dan anggota lembaga adat wilayah dan desa," dia menjelaskan.
Lembaga Adat Suku Rampi pusat, yang berkedudukan di Desa Onondowa, dipegang oleh Paulus. Ia didampingi sembilan anggota dewan adat yang berfungsi sebagai "menteri". Para pejabat dipilih berdasarkan musyawarah antara lembaga adat dan masyarakat. Sanksi bagi tindak pidana yang diatur dalam hukum adat suku Rampi antara lain denda dua kali lipat dari jumlah yang dicuri untuk tindak pencurian. Ada pula hukuman pancung untuk pembunuhan dan fitnah. Untuk pemerkosaan dan perzinaan, hukumannya denda empat ekor kerbau buat korban dan satu ekor kerbau untuk perdamaian. Empat kerbau tersebut diberikan kepada korban serta pasangan yang dikhianati. "Jika sama-sama belum punya pasangan, dendanya cukup dua ekor kerbau," ujar Paulus.
Pemberlakuan hukum adat yang ketat membuat kondisi Rampi tetap aman tanpa aparat. Ternak-ternak warga dibiarkan bebas di alam tanpa dikandangkan. Rumah biasa ditinggalkan tanpa dikunci. "Kami tidak punya penjara," kata Paulus. Namun, agar lembaga adat berjalan selaras dengan lembaga pemerintahan, dalam setiap masalah, mereka selalu merundingkannya dengan aparat pemerintah. "Tapi kami tetap mengutamakan hukum adat," kata Yan Imbo, Camat Rampi.
Hampir semua penduduk Rampi adalah petani miskin. Sawah-sawah hanya ditanami sekali setahun. Jika sedang tidak bertani, sebagian lelaki mencari penghasilan dengan berburu di hutan. Adat mengatur bahwa hewan di hutan-hutan Rampi hanya boleh diburu bila betul-betul dibutuhkan, dan dagingnya tak boleh ada yang terbuang atau berlebih. Aturan yang sama diterapkan saat mereka berburu anoa.
Hasil buruan dikonsumsi dan dijual hanya ke penduduk setempat. Penjualan daging hasil buruan ke luar wilayah desa dilarang oleh hukum adat. Mata pencarian mereka yang lain adalah mencari madu di hutan dan menadah air pohon nira untuk dijadikan arak. Kaum wanita ikut membantu bekerja di kebun dan sawah. Jika pekerjaan di sawah sudah tuntas, mereka pergi mendulang emas di Sungai Malotu.
Karena kehidupan mereka amat bergantung pada alam, aturan menjaga alam juga dicantumkan dalam hukum adat. Misalnya, mereka dilarang menebang pohon, agar hutan lestari dan terhindar dari bencana seperti tanah longsor dan kekeringan. "Kalau ada warga yang membutuhkan kayu untuk membangun rumah, mereka harus melaporkannya ke lembaga adat," ujar Paulus.
Selain itu, terdapat hukum adat yang cukup unik: seorang menantu tak boleh menyebutkan nama mertuanya. "Saya harus mengganti kata-kata yang menggunakan nama mertua saya dengan kata lain," ujar Mun, lelaki penduduk Desa Onondowa. Misalnya, ketika Mun—yang memiliki mertua bernama "Kulit"—ingin bilang ia sedang mengupas "kulit sayur rotan muda", ia mengganti kata "kulit" dengan "jaket". Lain lagi dengan Rin, yang tinggal di desa yang sama dengan Mun. Ia memiliki mertua bernama "Suara". "Setiap kali ada nyanyian di gereja yang syairnya mengandung kata yang sama dengan nama mertua saya, saya terpaksa diam," ujarnya.
Kebiasaan ini bisa ditelusuri dari sejarah suku Rampi. Konon, nenek moyang Rampi, Buhu, ketika berniat meminang Moniwa, pernah berjanji kepada calon mertuanya tidak menyebut nama mereka. Ini menjadi simbol betapa Buhu menghormati mertuanya. Teladan inilah yang akhirnya diikuti keturunan mereka sampai sekarang.
Sejauh ini, belum ada ahli yang meneliti suku Rampi. Soal ini, Tempo mewawancarai beberapa akademikus, antara lain Suriadi Mappangara, dosen sejarah dan nilai budaya tradisional Universitas Hasanuddin. Dia mengaku belum pernah mendengar ihwal suku Rampi—agaknya karena sangat terpencilnya komunitas ini.
Sadika Hamid, Hermien y. Kleden
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo