Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langit cerah dan pemandangan indah yang tampak dari jendela pesawat adalah awal yang menyenangkan dari perjalanan menemui para pemburu anoa di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Pesawat Sabang Merauke Air mengantar Tempo dari Masamba ke Desa Onondowa di Kecamatan Rampi, pertengahan Januari lalu. Sebelumnya, perjalanan 450 kilometer dari Makassar ke Masamba ditempuh dengan bus selama 10 jam.
Di hari yang beranjak siang, pesawat berkapasitas 16 penumpang itu lepas landas dari Bandar Udara Andi Jemma. Kecamatan Rampi yang terpencil dengan kontur tanah berbukit-bukit terhampar di depan mata. Deretan yang menjulang seolah-olah menjadi pagar bagi enam desa di kecamatan itu: Leboni, Sulaku, Onondowa, Dodolo, Rampi, dan Tedeboe. Nama-nama desa diurutkan seturut tinggi-rendahnya dari permukaan laut. Yang terendah sekitar 200 meter, yang tertinggi kurang-lebih 2.000 meter dari permukaan laut. Perjalanan kami tuntas dalam 15 menit.
Keesokan harinya, masih dalam cuaca cerah, saya berjalan kaki bersama empat warga desa tersebut—Haeruddin, 40 tahun, Emi (28), Yon Abbas (26), dan Ambo (24)—menuju lokasi para pemburu. Lepas dari jalan desa, kami melewati kebun-kebun kakao dan kopi. Setelah kami menyeberangi sungai selebar 30 meter, perjuangan baru dimulai. Perjalanan mulai menanjak dan licin. Beruntung, akar pepohonan bisa dipakai sebagai tumpuan kaki dan pegangan tangan.
Beberapa saat kemudian, kami keluar dari kerimbunan hutan dan disambut savana. Dari sini kami bisa melihat jalur menanjak yang akan dilalui. Di padang rumput datar, seharusnya perjalanan jadi menyenangkan. Tapi matahari yang terik membuatnya jadi lebih berat. Beberapa kali kami harus berhenti mengatur napas sambil meneguk minuman untuk melepas dahaga.
Jalur berikutnya adalah turunan tajam dan licin. Meski memakai tongkat, saya tetap beberapa kali terjatuh. Hingga akhirnya kami mendapati sungai selebar tiga meter. Di seberang sungai, Ambo dan Emi, yang tiba lebih dulu, telah menyalakan api dengan belanga menggantung di atasnya. Perut kami memprotes karena sudah lewat waktu makan siang. Jam tangan saya menunjukkan pukul 14.30. Nasi putih, mi instan, dan ikan kering bakar menjadi sajian istimewa.
Rehat makan siang cukup mengembalikan tenaga guna perjalanan selama 4-5 jam menuju tempat bermalam. Beberapa kali menyeberangi sungai membuat kaki basah hingga sepatu tak nyaman lagi. Tapi mengganti sepatu dengan sandal gunung ternyata seperti makan buah simalakama. Ini membuat pacet dan lintah gampang menempel dan menyedot darah.
Hari mulai menggelap ketika kami tiba di tujuan. Empat teman seperjalanan saya sangat sigap dan kompak membangun tenda. Setelah tenda berdiri, tanpa diperintah, ada yang bergegas mencari kayu bakar, ada yang membersihkan dan meratakan tanah perkemahan, serta memasak. Kami menutup hari pertama dengan duduk mengelilingi perapian dan mengobrol ditemani kopi panas. Sesekali tawa kami meledak memecah malam.
Pagi-pagi, kami melanjutkan perjalanan. Seperti sehari sebelumnya, tanjakan-tanjakan yang sangat terjal menjadi santapan utama. Tanah yang masih basah mengakibatkan saya sempat terpeleset dan nyaris masuk jurang. Haeruddin alias Papa Sukri cepat menangkap tangan saya. Sesampai di puncak, saya mendapati pemandangan yang membuat miris. Banyak batang pohon mati oleh bekas kebakaran.
Hampir seharian penuh kami melalui beragam medan perjalanan. Kadang jalan mendaki terus-terusan, lalu menurun tajam. Kerap hanya ada hamparan datar. Hujan yang turun menjelang sore membuat suasana gelap. Kondisi itu sempat membuat Emi dan Ambo sebagai penunjuk jalan kehilangan arah. Kerap mereka berdebat sebelum menentukan jalur. Haeruddin, paling senior dalam rombongan kami, memilih diam. Saya sendiri hanya bisa pasrah, ikut melangkah seolah-olah tanpa arah melalui hutan yang gelap dan basah. Beberapa kali saya sempat terjatuh karena jalan licin atau kaki tersangkut akar pohon.
Secercah harapan muncul setelah dari kejauhan cahaya menyembul. Saya mencoba melangkah perlahan, menahan sakit di kaki yang bengkak setelah terjatuh. Semakin lama, cahaya tadi makin jelas. Dugaan kami tak meleset: itulah tenda pemburu Desa Onondowa dan Sulaku. Kami pun lega.
Setelah bersih-bersih, barulah saya masuk ke tenda dan berkenalan dengan para pemburu: Sera Kae, 29 tahun, yang menjadi punggawa—sebutan buat ketua tim—lalu anggotanya, Deri Tandu, 29 tahun, dan Laribu Kumpi, 40 tahun.
Tiga hari berikutnya, saya mengembara mengikuti jejak para pemburu anoa. Untuk menjangkau semua lokasi yang berada di kawasan hutan Rampi, kami harus menempuh medan berat—mirip rute yang kami tempuh dua hari sebelumnya—bahkan, boleh dibilang, lebih berat.
Di tengah pengembaraan itu, kami sampai di Tokudi. Menurut cerita masyarakat Rampi, lokasi ini merupakan salah satu tempat persembunyian Abdul Qahar Muzakkar ketika memimpin pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. "Pada 1953, banyak orang Rampi yang mengungsi ke Sulawesi Tengah karena anak buah Qahar memaksa kami masuk Islam jika tidak ingin dipancung," kata Paulus Sigi, 53 tahun, Ketua Lembaga Adat Wilayah Rampi, yang dikenal dengan sebutan Tokoi Tongko. Para pengungsi kembali ke Rampi setelah Qahar meninggal pada 3 Februari 1965.
Medan semakin berat, melalui puncak gunung yang begitu terjal, lalu menuruni lembah. Beruntung, banyak rotan bisa dimanfaatkan sebagai pegangan dengan dililitkan pada sebatang pohon. Kami juga harus turun melalui tebing, tepat di samping air terjun. Lumut dan batu lembap membuat pijakan amat licin.
Selama hampir dua jam kami berjalan dengan kaki yang basah, sebelum berhenti sejenak untuk memasak dan makan siang. Rasanya makanan baru sampai di leher ketika Sera kembali menyuguhkan medan pendakian yang betul-betul membuat manusia menyerah. Terjalnya minta ampun. Sera turun tangan, menarik tangan saya, berjaga-jaga jangan sampai saya terpeleset dan jatuh ke jurang.
Sesampai kami di puncak, puluhan monyet hutan berlarian naik ke pohon melihat kedatangan kami. Hujan memaksa kami berhenti dan membangun tenda. Setelah tenda berdiri, kami menuju Kana, tempat minum anoa di kawasan Tokudi. Lagi-lagi butuh perjuangan ekstra untuk sampai ke sana, menuruni jurang yang amat terjal dan licin. Lelah, dingin, dan sepi melahirkan suasana mencekam pada malam itu.
Setelah gagal menangkap anoa di Kana, kami memutuskan kembali ke Onondowa. Bekal tersisa hanya beberapa sendok gula dan beras untuk beberapa hari. Padahal kami masih membutuhkan waktu 3-4 hari berjalan kaki di hutan untuk sampai ke kampung. Karena tak ada pilihan, terpaksa kami hanya makan nasi putih. Terkadang kami mencari umbu (rotan muda) yang bisa dijadikan sayur. "Sebenarnya sih saya sudah bosan makan umbu, tapi tidak ada pilihan," kata Papa Sukri.
Setelah mengembara menjelajahi habitat anoa dan mengikuti jejak para pemburu sepanjang delapan hari, kami tiba kembali dengan selamat di Desa Onondowa. Kelelahan yang mendera tiba-tiba menguap.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo