Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari kepulan asap itu, aroma daging bakar menguar—menularkan rasa sangit yang sangat di hidung. Tiga pemburu meriung di seputar "tungku pengasapan" di tengah hutan lebat. Tak sedikit pun terganggu oleh bau daging yang menyengat, mereka asyik mengobrol sembari sibuk mengasapi daging. Ini jenis daging yang mungkin jarang—atau belum pernah—muncul di meja makan kita: daging anoa. Bentuk binatang ini mirip sapi kerdil—tapi aroma dagingnya amat berbeda dengan sapi panggang, yang mudah menerbitkan selera. Aroma daging anoa asap membuat kepala sedikit berputar.
Pengasapan berlangsung 24 jam nonstop demi menjaga kualitas daging anoa hasil buruan. "Kalau proses pengasapan baik, daging bisa tahan hingga tiga bulan," ujar Sera Kae, 29 tahun, punggawa atau ketua kelompok berburu. Sera kami jumpai di depan tendanya, di kedalaman hutan Rampi yang harus ditempuh dengan berjalan kaki selama dua hari dari desa terdekat, Onondowa. Ia penduduk desa itu—satu dari enam desa di Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Letak Desa Onondowa sekitar 450 kilometer dari Makassar.
Untuk sampai ke sana, Tempo ditemani empat penunjuk jalan. Perjalanan dengan kaki memakan waktu dua hari menembus hutan dan padang savana untuk mencapai base camp para pemburu—tepatnya satu tenda tempat para pemburu rehat sejenak sebelum memulai perburuan. Sehari-hari Sera adalah peladang. Lelaki berperawakan tinggi ini berburu untuk menambah penghasilan. Di tim ini, Sera dibantu Deri Tandu, 29 tahun, dan Laribu Kumpi, 40 tahun. Selama enam hari berburu di hutan—pertengahan Januari lalu—para pemburu asal suku Rampi ini berhasil mendapatkan beberapa ekor babi dan anoa. "Ada yang terperangkap jerat, ada juga yang kami buru dengan bantuan anjing," kata Sera.
Sera berburu sejak berumur 10 tahun Awalnya, tentu saja, dia hanya ikut para pemburu senior. Tapi gen pemburu mengalir dalam darahnya. Pria berambut gondrong itu cepat belajar. Sera amat fasih membaca tanda-tanda alam, seperti mendengarkan angin, memperhatikan langit, mempelajari aliran sungai, dan menyimak bunyi-bunyian untuk menandai waktu. Saat berusia 17 tahun, Sera mulai berburu sendiri. Sejak tahun lalu, dia dipercaya menjadi punggawa—pada usia 28 tahun. Modalnya, selain kecakapan teknik berburu, adalah ketenangan, kesabaran, kerja keras, dan empat ekor anjing.
Berburu dengan anjing kami lakukan setelah Deri dan Laribu pulang ke desa mengantarkan hasil buruan. Tujuan kami adalah tempat minum favorit anoa, yakni kolam air hangat di tepi sungai. Butuh setengah hari berjalan kaki untuk sampai ke tempat ini. Tak mudah menemukan anoa di dataran tinggi. "Perkiraan sementara, hanya ada 2-3 ekor untuk setiap hektare," kata dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Elhayat Labiro, saat kami hubungi sepulang dari perburuan, bulan lalu.
Perhitungan jejak di Taman Nasional Aopa Watumohai pada 1995 menunjukkan bahwa kerapatan individu anoa hanya lima ekor per 10 kilometer persegi. Artinya, kami hanya bisa menemukan hewan yang pemalu itu dalam radius dua kilometer. Itulah mengapa hewan ini sulit ditemui. Setelah berjam-jam mengintai dari balik rerimbunan pohon, kami tak menjumpai seekor pun anoa yang datang minum. Malam datang, kami tetap setia menunggu. Sekitar pukul 23.00, barulah dua ekor anoa turun ke tepi sungai untuk minum. Suara kamera yang baru dikeluarkan dan sorot lampu senter membuat keduanya langsung kabur.
Perburuan dilanjutkan keesokan harinya. Tombak dan parang disiapkan, tapi anjing harus ditinggalkan. Dari jarak sekitar 50 meter, kami melihat anoa tengah asyik makan. Sayang, suara patahan kayu yang kami injak membuatnya kaget dan berlari. Tak mau kehilangan untuk kedua kalinya, Sera memburunya sambil membawa tombak. Ia berlari dari balik pepohonan, menuruni bukit, lalu mendaki lagi hingga mencapai puncak bukit sebelah dengan cepat. Ia berlari dalam hutan belantara seolah-olah di lapangan bola. Perburuan yang melelahkan, tapi tanpa hasil.
Di hari berikutnya, kami berjalan menuju Tokudi, lalu ke Kana, melewati tebing dan jurang. Perjalanan yang sulit ini harus dilakukan karena anoa senang "bersembunyi" di hutan yang jarang dijamah manusia. "Khusus anoa pegunungan, banyak tersebar di hutan perawan yang ada jenis buah, daun-daun, rumput-rumput, lumut, dan pakis sebagai bahan makanannya," kata Dewi Sulastriningsih, Pengendali Ekosistem Hutan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan, pada 2008.
Itulah sebabnya, menurut Kepala Laboratorium Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Universitas Hasanuddin Profesor Amran Achmad, keberadaan anoa dalam sebuah ekosistem merupakan indikasi bahwa hutan tersebut masih sehat. Berada di "ibu kota" anoa, kami tetap harus menunggu lama untuk bisa melihat binatang ini.
Dua jam sudah kami duduk di atas sebatang pohon yang melintang di tepi sungai. Suasana begitu gelap. Hanya ada beberapa bintang di kejauhan dan beberapa ekor kunang-kunang yang terbang di sekitar kami. Sera dan Ambo—salah satu penunjuk jalan—sempat menangkap beberapa ekor dan meletakkannya di telapak tangan saya, yang sedari tadi hanya duduk karena kaki sudah terasa beku dan kebas.
Tak lama kemudian, tiga ekor anoa muncul dari balik pepohonan, turun ke Kana untuk minum. Sadar akan kehadiran kami, anoa ini langsung berlari ke arah rerimbunan pohon, membuat saya, yang hanya membawa kamera saku, kesulitan mengambil gambarnya. Hanya sorotan cahaya matanya yang sempat tertangkap kamera. Tak lama kemudian, dua ekor anoa kembali muncul, tapi belum sempat minum, mereka sudah lari. Tampaknya, mereka membaui "aroma musuh".
Karena kondisi fisik sudah amat lelah, kami kembali ke tenda untuk beristirahat, apalagi waktu sudah menunjukkan pukul 00.00 Waktu Indonesia Tengah. Menurut Sera, pertama kali ia datang ke tempat ini, ia biasa mendapati 30-40 ekor anoa berkumpul di Kana untuk minum.
Berburu anoa memang sulit. Karena itu, para pemburu lebih senang memasang jerat. Perangkap dibuat amat sederhana, hanya berupa tali nilon sepanjang 2,5 meter yang dikaitkan pada batang pohon kecil. Ujung lainnya adalah simpul seperti laso koboi yang ditaruh di atas susunan kayu. Di bawahnya, ada lubang menganga. "Begitu hewan menginjak jebakan, kayu akan terpental ke atas sehingga hewan akan tergantung," kata Sera.
Cara ini jauh lebih efektif. Jerat-jerat ini dipasang tatkala mereka masuk hutan, dan diperiksa saat akan pulang. "Sekali ngecek bisa mendapat 10 ekor (hewan)," kata Alif Sinta, 30 tahun, punggawa lain yang kami temui beberapa hari kemudian. Hasil yang banyak ini didapat karena setiap kelompok bisa memasang ratusan jerat di seluruh kawasan yang mereka "kuasai". Kelompok Sera menguasai kawasan Koru, Rante, Koladu, hingga Tokudi. Sedangkan Alif mematok Tokunyi, Lekke, Rante, hingga Denge.
Hasil buruan mereka, selain dimakan sendiri, dijual kepada tetangga dan penduduk kampung. Anoa kecil hanya menghasilkan 8-9 tusuk besar daging. Anoa yang agak besar bisa menjadi 13-15 tusuk. "Setiap tusuk kami jual Rp 25-30 ribu," ujar Laribu, salah seorang anggota kelompok Sera. Daging hasil buruan ini cukup laris. Biasanya, tak sampai tiga hari setelah tiba di kampung, daging asap sudah ludes.
Di kawasan tersebut, anoa memang dimakan layaknya sapi atau kerbau. Padahal hewan endemis Sulawesi ini pada 1931 sudah digolongkan sebagai satwa langka. Kelangkaannya itulah yang membuat mamalia yang kerap disapa sapi hutan ini dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Menangkap, apalagi membunuhnya, tentu saja merupakan pelanggaran serius.
Baik Alif maupun Sera mengaku tahu anoa merupakan satwa yang dilindungi dan sudah di ambang kepunahan. Tapi mereka mengaku tak pernah dilarang atau ditegur oleh pemerintah setempat. Apalagi, dalam hukum adat suku Rampi—satu-satunya hukum yang benar-benar mereka taati—sama sekali tak ada larangan perburuan. "Berburu anoa dan rusa belum dilarang. Kami hanya mengatur agar hewan buruan dimanfaatkan sebaik-baiknya, jangan dibiarkan mati percuma," kata Paulus Sigi, 53 tahun, Ketua Lembaga Adat Wilayah Rampi.
Hal ini dipraktekkan dengan, misalnya, keharusan bahwa setiap perangkap yang belum berhasil menjerat anoa dinonaktifkan saat para pemburu pulang kampung. Itu agar hewan yang terjerat tidak mati percuma. Selain melepas jerat saat pulang, para pemburu berusaha menernakkan anoa. Menurut Alif, jika yang tertangkap adalah anoa yang masih kecil (berumur sekitar setahun) dan cukup sehat, para pemburu akan memeliharanya. "Kalau masih berusia satu tahun, cepat jinak. Tapi, jika sudah di atas dua tahun, sudah ganas," ujarnya.
Perburuan dan konsumsi anoa dipicu pula oleh sebab lain. Di desa-desa terpencil di pegunungan, sulit memperoleh sumber protein. "Tak seluruh masyarakat punya ternak," kata Camat Rampi, Yan Imbo. Itulah sebabnya dia belum kunjung memasyarakatkan aturan yang melarang perburuan anoa.
Menurut Imbo, jika masyarakat dilarang berburu, pemerintah harus siap mengantisipasinya dengan menyiapkan sumber-sumber pencarian protein alternatif, seperti ternak.
Selama alternatif belum ada, perburuan seperti yang dilakukan Sera akan tetap terjadi.
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo