Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lelaki itu menembak dengan sepucuk pistol Smith & Weston ke arah seorang lelaki bertulang pipi menonjol dan berkemeja garis-garis. Adegannya serupa dengan foto karya Eddie Adams, fotografer AP, yang merekam Jenderal Nguyen Ngoc Loan, Kepala Kepolisian Nasional Vietnam Selatan, mengeksekusi seorang tawanan Viet Kong pada 1 Februari 1968 di jalanan Saigon. Foto Adams jadi sangat terkenal dan diganjar Hadiah Pulitzer pada 1969.
Fang Lijun, pelukis kontemporer Cina, memindahkan foto itu ke atas kanvas tanpa banyak perubahan. Hanya posisi bangunan di latar belakangnya, yang pada foto berada di kanan, dipindahkannya ke kiri. Dan pada lukisan cat minyak Fang, pistol itu tidak memuntahkan peluru, melainkan semacam janin merah jambu, yang pada ujungnya berubah jadi kupu-kupu beraneka warna.
Lukisan 2008.10.1 itu adalah lukisan terbesar yang dipajang Fang Lijun dalam pameran tunggalnya, "The Breakthrough", di CP Foundation, Jalan Suryopranoto 67-A, Jakarta Pusat. Pameran yang berlangsung sejak 4 Maret lalu hingga 5 April mendatang ini menampilkan sekitar 10 lukisan dan satu instalasi. Lukisan itu juga menjadi karya dengan tema sosial-politik paling mencolok di antara lukisan Fang lainnya.
Fang Lijun adalah seniman yang tumbuh pada masa Revolusi Kebudayaan (1966-1976). Dia lahir dari keluarga kelas menengah di kota kecil Handan di Heibei Selatan pada 1963. Ayahnya sebenarnya kader di Divisi Mesin Jawatan Kereta Api. Tapi, karena dianggap golongan keluarga petani kaya, sang ayah selama revolusi itu "dihukum" jadi masinis di pedesaan. Bahkan, dalam sebuah unjuk rasa, kakek Fang pernah diseret demonstran ke atas mimbar dan lehernya dikalungi papan bertulisan "Tuan Tanah Fang", dan massa yang marah berteriak, "Turunkan tuan tanah Fang!"
Keadaan berubah setelah Ketua Mao meninggal pada 1976 dan Revolusi Kebudayaan berakhir. Fang kemudian belajar keramik di Sekolah Teknik Industri Ringan Hebei di Kota Tangshan, Hebei, pada 1980. Lalu dia diterima di sekolah seni terkenal Cina, Akademi Seni Rupa Pusat, di Beijing, pada 1985. Di sinilah sosok Fang sebagai perupa mulai mengemuka, terutama setelah bertemu dengan Li Xianting, kritikus seni Beijing terkenal.
Walaupun masuk Jurusan Seni Cetak Akademi Seni Rupa, Fang malah menampilkan seri lukisan cat minyak untuk tugas akhirnya pada 1988. Di sini pula dia pertama kali memperkenalkan lukisan dengan figur kepala botak, yang kemudian sering muncul di kanvasnya. Fang muncul bersama sejumlah seniman Cina lain pada masa itu, seperti Liu Wei, Yue Minjun, Zhang Xiaogang, dan Wang Jinsong. Li Xianting menyebut tren seni generasi ini sebagai Realisme Sinis, gaya lukisan yang mencerminkan kekecewaan terhadap utopia politik dan artistik. Dalam hal ini lukisan Fang Lijun, yang sering menampilkan orang botak dengan mulut bengkok seperti menguap, menjadi salah satu ciri tren ini.
Li Xianting menyebut Fang sebagai seniman paling berbakat dari generasinya. Pada 1993, lukisan Fang, Series 1, No. 3, yang juga menampilkan orang botak sedang menguap, jadi sampul The New York Times Magazine. Nama Fang makin berkibar setelah karyanya dipamerkan di Biennale Venesia, Biennale Sao Paulo, dan berbagai museum seni penting di dunia. Harga tertinggi lukisannya di balai lelang mencapai US$ 4 juta lebih atau sekitar Rp 36 miliar.
Namun tak ada lagi orang botak mengantuk dalam pameran Fang Lijun di Jakarta. Dia masih menyajikan gambar orang, tapi kali ini merupakan potret wajah teman-temannya, dalam seri lukisan Portrait bertahun 2007. Mereka ada yang botak, berjambul, atau berkacamata. Ekspresi mereka pun macam-macam, dari yang tertawa lebar, mengernyit, hingga meringis. Fang tak memanipulasi ekspresi dan bentuk mereka. "Memang aslinya begitu. Mereka difoto secara sembunyi-sembunyi, lalu saya gambar," katanya seraya tertawa.
Selebihnya, lukisan Fang lebih simbolis, khususnya pada instalasi ikan 2010-2011, yang juga digarapnya dalam tiga tahun terakhir ini. Instalasi itu terdiri atas lukisan cat minyak, potongan halaman buku dan kliping majalah, yang disusun berderet sepanjang sekitar 10 meter. Dari kiri ke kanan, karya itu seperti narasi kronologi, yang diawali dengan potongan gambar majalah berupa anak kecil bermain-main dengan ikan, lalu komik ikan yang meloncati tembok, dan ikan yang meloncati gapura.
"Itu dari idiom Cina tentang ikan yang meloncat melewati dinding Buddha. Ini simbol hoki. Selama ini ikan hanya dipakai sebagai idiom kebaikan, hoki, dan hoki. Tapi tidak pernah diperlihatkan hal-hal yang tidak baik, seperti penyakit, banyak ikan mati, kena limbah, dan jadi makanan," kata Fang.
Di bagian tengah, dia menaruh lukisan besar ikan emas, di bagian atas dan di bawahnya bergerombol tikus dan kelelawar, perlambang penyakit dan kematian. Lukisan ini seakan-akan jadi dinding batas, karena lukisan-lukisan sebelah kanannya menampilkan berbagai nasib yang dialami ikan: ditangkap, dibakar, dan dimasak. Di bagian ujung, ia malah menderetkan gambar ikan yang dibelah, ususnya diburaikan, dan usus merah darah itu dikerubungi lalat. Fang melukisnya dengan sangat realistis hingga ke bagian perinciannya.
Karya-karya Fang kali ini menunjukkan pergeseran minat dan temanya ke arah yang simbolis. Apakah dia benar-benar meninggalkan Realisme Sinis? Tampaknya tidak. Lukisannya tetaplah realistis, nyata, dan mencoba menunjukkan sisi gelap dari kenyataan. Terobosan yang kini dia lakukan adalah bagaimana dia meninggalkan ikon yang selama ini melekat padanya, seperti orang botak menguap itu. Dengan cara ini, dia menawarkan kesegaran dalam menikmati lukisan dan temanya. Sebagai terobosan, ini barangkali baru sebuah langkah awal dan kita belum tahu ke mana kaki Fang nanti melangkah.
Kurniawan, Dian Yuliastuti
Fang Lijun:
Seniman Bisa Berkreasi, tapi Jangan Keterlaluan
Tak banyak seniman yang berpengaruh besar seperti Fang Lijun. Di usia 49 tahun, dia bisa disebut sebagai seniman garda depan terkaya di Cina. Dia punya enam restoran, sebuah hotel kecil, sebuah Audi hitam, dan sebuah studio di Beijing. Bersama Wang Guangyi dan Zhang Xiaogang, ia terpilih membuat lukisan besar untuk jalur kereta api bawah tanah Shenzhen.
Namun, Jumat dua pekan lalu, dia tampil sederhana di CP Foundation. Dia berkaus oblong putih, berjaket tipis lengan panjang biru, dan bercelana biru tua dengan jahitan yang terkesan kasar. Dia menjawab pertanyaan wartawan Tempo, Kurniawan dan Dian Yuliastuti, dengan antusias dan penuh senyum.
Apa yang hendak Anda sampaikan dengan tema lukisan yang politis, seperti tema Perang Vietnam itu?
Ini soal perbedaan pandangan. Kepercayaan kita dipengaruhi orang-orang sekitar kita. Orang Palestina bilang orang Israel tidak baik, dan sebaliknya orang Israel bilang orang Palestina tidak baik juga. Dunia kita, lingkungan kita, dipengaruhi oleh orang-orang, apa yang dipercaya oleh mereka. Baik bagimu, tapi belum tentu baik bagi orang lain. Keyakinan kita dipengaruhi ras, agama, kepercayaan, dan bahkan diri kita sendiri. Kita semua ini buta, yang mengikuti saja apa kata kerumunan orang.
Soal seni rupa Cina masa kini, bagaimana perkembangannya?
Sekarang ini banyak koran dan majalah yang mempromosikan seni kontemporer Cina. Saya ingin melihat perkembangannya. Sekarang seni rupa kontemporer menjadi tren yang sedang tumbuh. Banyak museum seni atau galeri modern yang berdiri untuk mewadahi seni lukis kontemporer. Ini bisnis yang baik.
Kabarnya, pemerintah tidak terlalu menyukainya?
Sepuluh tahun yang lalu, kebebasan berbicara dan berekspresi sangat ketat. Tapi sekarang lebih terbuka. Pemerintah juga menerima gambar atau lukisan kontemporer, mereka lebih terbuka. Ada juga karya yang dikoleksi pemerintah, termasuk karya saya, tapi saya tak bisa menyebut yang mana. Seniman kini bisa berkreasi, tapi jangan keterlaluan. Memang ada yang (mengkritik) secara diam-diam. Kalau tidak begitu, ya, langsung dilarang, meski keadaan sudah lebih terbuka. Saya kira bagaimana pandai-pandainya sang seniman saja.
Bagaimana perkembangan pasar seni rupa kontemporer Cina ketika krisis ekonomi melanda Eropa dan Amerika Serikat, tempat banyak pembelinya?
Secara ekonomi seharusnya tidak berpengaruh. Saya malah akan berpameran di Turin, Italia, dalam waktu dekat. Pasar itu tetap ada. Harganya juga baik. Orang yang benar-benar suka seni atau seorang kolektor pasti akan tetap membelinya. Menjadi artis itu tidak boleh hanya berpikir tentang duit atau harga. Dia harus tetap berkarya dengan gairahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo