Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH, biarkan saja dia menghina kami. Gusti Allah mboten sare (Tuhan tidak tidur)," ujar seorang pemain ludruk dalam sebuah dialog pementasan ludruk di Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada 1965. "Gusti Allah gak turu, wong gak duwe kloso (Tuhan tak tidur karena tak punya alas tikar)," celetuk pemain lain mengomentari lawan bicaranya.
Dialog dalam adegan ludruk berjudul Matine Gusti Allah (Matinya Tuhan) itu memancing amarah seorang simpatisan Barisan Ansor Serbaguna, yang ikut meriung di antara ratusan penonton. Ia meloncat dan mengamuk di atas panggung. Pemain dan penonton kocar-kacir.
Anggota Banser itu menganggap dialog dalam lakon tersebut sebagai bentuk penistaan agama. Pementasan lakon yang sama dalam sebuah hajatan di Desa Kerjen, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, juga berakhir ricuh. Banser mengorak-arik makanan yang disuguhkan kepada tamu, lalu membuangnya ke sawah. Pentas ludruk bubar.
Kisah itu dituturkan Wakil Ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Agus Sunyoto, yang mengaku mendapat penuturan dari saksi mata Tamyiz Djisman yang sudah meninggal. Lakon itu dimainkan grup ludruk yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat, tapi ia tak ingat lagi nama grup dan asalnya.
Cerita dalam lakon tersebut sebenarnya sederhana: menggambarkan kondisi masyarakat saat itu yang serba susah karena perekonomian yang tidak keruan. Kidung dan parikan yang dibawakan dalam ludruk mengandung kegetiran dan kekecewaan hidup pada masa itu. "Mungkin ini bentuk sindiran. Tapi orang desa, yang tidak terdidik, mana paham?" kata Agus kepada Tempo tiga pekan lalu.
Di Jombang, yang merupakan basis massa NU, Lekra juga berani manggung dengan lakon ludruk Gusti Allah Ngunduh Mantu (Tuhan Mengambil Menantu). Lakon ini dimainkan grup ludruk paling terkenal di Jombang waktu itu, Arum Dalu. Allah yang bagi orang Islam hanya satu atau tunggal dipersepsikan punya anak dan menantu. Ada lagi cerita Kawine Malaikat Jibril. "Itu menyinggung dan membuat panas orang-orang Islam," ujar Nasrul Ilahi, budayawan Jombang yang juga adik tokoh Emha Ainun Nadjib, kepada Tempo, tiga pekan lalu.
Suwardi, 80 tahun, anggota grup ketoprak dan wayang orang Ngesti Wargo (binaan Lekra), Bojonegoro, membenarkan pernah memainkan lakon Gusti Allah Dadi Manten. Ia memerankan tokoh Gareng, abdi dalem yang dikenal loyal terhadap tuannya. "Sebagai pemain, saya ikut pelatih (sutradara) saja," katanya di kediamannya di Kampung Pinggiran, Ledok Kulon, Bojonegoro.
Sepanjang 1965 itu, grup ludruk dan ketoprak di Jawa Timur semakin berani dan kritis. Lakon-lakon yang provokatif, seperti Gusti Allah Dadi Manten dan Malaikat Kimpoi (Malakat Bersetubuh), sering dipentaskan. Pentas hampir merata di semua daerah yang memiliki basis kesenian binaan Lekra. Seniman ketoprak dari Yogyakarta, Bondan Nusantara, menuturkan pernah sebuah kelompok ketoprak lokal di Kecamatan Berbah, Sleman, Yogyakarta, membuat pentas dengan lakon Patine Gusti Allah.
Berbeda dengan ludruk di Jawa Timur, menurut Bondan, mengutip penuturan Ketua Barisan Tani Indonesia, almarhum Pujono kepadanya saat masih hidup, sebenarnya pentas itu untuk perayaan Paskah, yaitu penyaliban Yesus. Tapi, biar populer, judulnya diganti menjadi Patine Gusti Allah. Pentas pun heboh. Tapi buntutnya jadi isu besar bahwa Lekra anti-Tuhan. "Lakon itu hanya sekali muncul. Setelah itu, habis karena peristiwa September 1965," ucapnya.
Faktanya, kata Bondan, kesenian yang mudah diterima rakyat memang digarap betul oleh Lekra. Ada ketoprak, ludruk, dan wayang orang yang sangat digemari masyarakat bawah. Bekas anggota Lekra Surabaya, Gregorius Soeharsojo Goenito, 77 tahun, menuturkan ludruk berkembang pesat setelah dihimpun Lekra. "Saat itu, tidak ada ludruk yang tidak masuk Lekra," ujarnya. Ada juga ludruk non-Lekra, tapi jumlahnya sangat sedikit.
Ketika Lekra masuk, kata dia, tema pentas pun berubah ke tema kritik sosial, seperti buruh yang tak dibayar. Penonton membeludak karena penasaran. Sebelumnya, menurut Greg, ludruk di Jombang banyak mementaskan lakon bertema mistik.
Di tangan Lekra, kata Bondan, seni menjadi progresif revolusioner. Visi partai ditularkan lewat seni agar segera sampai ke masyarakat. Cerita asli Suminten Edan, misalnya, mengisahkan tentang Suminten, anak warok, yang batal dipersunting Subroto, anak Adipati Trenggalek. Subroto justru memilih Wartiyah, anak warok lain. Suminten pun gila. Tapi dia bisa disembuhkan ayah Wartiyah. Akhirnya Subroto menikahi keduanya.
Di tangan seniman Kridomardi yang bernaung di bawah Lekra, cerita berubah menjadi pengepungan kadipaten oleh para warok. Kegilaan Suminten membuat warok bersatu. Cerita diubah karena PKI antipoligami.
Ada pula lakon Bandung Bondowoso yang dikenal membuat seribu candi dalam waktu semalam dengan bantuan jin. Namun Kridomardi mementaskannya berupa pembangunan candi dengan cara kerja paksa. Tak mengherankan jika petani, buruh, dan nelayan amat menyukai kisah ketoprak yang menyuarakan aspirasi mereka.
Begitu pula ludruk. Rakyat Jawa Timur, yang lebih ekspresif dan terbuka kulturnya, memainkan ludruk dengan lakon Malaikat Kipo. Kata "kipo" mempunyai arti pipa, yang berfungsi sebagai penyalur. Lakon itu mengisahkan perlawanan rakyat terhadap para pemilik tanah dalam program land reform.
Para kiai adalah simbol masyarakat kelas menengah atas (priayi) yang menguasai banyak tanah. Malaikat pun menjadi pembela rakyat untuk mendapatkan hak atas tanahnya. "Kiai kan takut kepada malaikat. Jadi cerita itu memojokkan para kiai," tutur Bondan.
Pelawak senior Cak Kartolo, 68 tahun, mengenang, saat meletus peristiwa 1965, semua pementasan ludruk dilarang dan vakum selama dua-tiga tahun. Tentara menangkapi seniman yang terlibat partai terlarang. Tak sedikit yang hilang atau tewas. Namun akhirnya kesenian ini dihidupkan kembali di bawah pengawasan militer.
Kartolo muda, yang mulai mengudara bersama Grup Ludruk RRI Surabaya pada 1968, mengenang seniman ludruk saat itu mengikuti ritual "penyucian diri" lebih dulu agar bisa bergabung dengan RRI. Bentuknya, salah satunya, menandatangani surat pernyataan tidak ikut partai politik.
Nama grup ludruk pun tiba-tiba bertabur dengan bahasa Sanskerta, yang biasa digunakan institusi militer. Misalnya grup ludruk Putra Bhirawa binaan Komando Distrik Militer Jombang, ludruk Gema Tribatra binaan Brigade Mobil Balongsari, dan Bhayangkara binaan Kepolisian Resor Jombang. "Bahkan setiap pementasan selalu dimulai dengan tembakan salvo," ujar Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto Eko Edy Susanto.
Itu jadi penanda bahwa ludruk setia kepada tentara atau pemerintah. Sebelumnya, saat menjadi binaan Lekra, pentas ludruk dibuka dan ditutup dengan "lagu wajib" Genjer-genjer. Menurut Eko Edy, sejak Orde Baru, ludruk yang tajam kritiknya tenggelam. "Semua berubah menjadi corong Orde Baru," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo