PEMDA DKI rupanya tak dapat berbuat banyak menghadapi penciutan
areal pertanian yang terus saja ditelan pembangunan
gedung-gedung. Berbagai larangan membangun di wilayah-wilayah
tertentu, misalnya di Condet, tak banyak menolong --
paling-paling sekedar memperlambat makin sempitnya areal
pertanian itu.
Malahan sumber TEMPO di Pemda DKI memandang berbagai surat
keputusan (SK) tentang pelarangan itu sebagai "SK semu". Sebab,
katanya, "siapa yang dapat menghalangi bila misalnya petani
Condet ingin membangun rumah di tanahnya sendiri"? Apalagi
karena sebagian petani di Jakarta masih memiliki kebiasaan
menjual tanahnya sedikit- edikit -- untuk naik haji atau sekedar
mengawinkan anaknya. Namun Gubenur DKI, Tjokropranolo, menyebut
petani Mian Cubling di Kelurahan Cipayung, Pasar Rebo, sebagai
contoh petani Jakarta yang sukses (lihat box).
Untuk mencegah agar para petani tidak menjual tanahnya, menurur
Gubernur Tjokropranolo, adalah dengan meningkatkan penghasilan
mereka. "Mereka menjual tanah tentu dengan alasan penghasilan
kurang," kata Tjokro, "karena itu hasil pertanian mereka perlu
ditingkatkan."
Ucapan Gubernur DKI itu sejalan dengan rencana Kepala Dinas
Pertanian DKI, Ir. Rini Soeroyo, yang baru dilantik awal bulan
lalu. "Yaitu dengan intensifikasi," turur Ir. Rini, anak kedua
bekas Gubernur DKI dr. Soemarno. Maksudnya, "dengan tanaman atau
pohon itu juga, petani dapat memetik hasil lebih banyak."
Untuk itu, menurut Rini, instansinya akan melanjutkan program
penyuluhan tentang pemakaian pupuk, cara merawat tanaman dan
penggunaan bibit unggul. Tanpa intensifikasi, sesuai dengan
hasil survei Agro Ekonomi 1975/1976, pada tahun 1984 nanti baik
sayur-mayur mau pun buah-buahan untuk Jakarta, 100% harus
didatangkan dari luar. Dan pada tahun itu juga diperkirakan
Jakarta hanya mampu menghasilkan beras sekitar 0,9% dari
kebutuhan warganya -- sekarang kurang dari 2%.
Dalam beberapa tahun belakangan ini saja, setiap tahun Jakarta
membutuhkan hampir 100.000 ton buah-buahan dan sekitar 300.000
ton sayur-mayur. Sedang kemampuan para petaninya setahun hanya
59.000 ton buah-buahan dan 90.000 ton sayur-mayur.
Penciutan areal pertanian di DKI rata-rata 8,13% setahun. Pada
1970 areal pertanian masih tercatat 35.000 ha lebih -- lebih
setengahnya tanah darat, sisanya sawah. Tapi pada 1977 tinggal
sekitar 28.000 ha dan pada 1979 nengkerut lagi, sehingga hanya
tinggal sekitar 25.000 ha atau 40,1% dari luas seluruh wilayah
DKI.
Karena itu hasil sayur maupun buah-buahan di Jakarta juga
diharapkan dari non-petani. Yaitu dengan menanam kedua jenis
tanaman itu di halaman runah. Untuk itu menurut Kepala Dinas
Pertanian DKI, bibit-bibit disediakan instansinya secara
cuma-cuma melalui kebun-kebun percontohan, seperti di Ragunan
dan Ciganjur, Jakarta Selatan. Dengan memanfaatkan halaman itu,
disamping "untuk menambah gizi keluara, juga membantu Dinas
Pertamanan nntuk menghijaukan Jakarta."
Sebab, tambah Ir. Rini yang sebelumnya adalah Wakil Kepala Dinas
Pertamanan DKI, kedua instansi itu sama-sama bertugas
menghijaukan Jakarta. Bedanya, Dinas Pertanian dengan tanaman
produksi, sedang Dinas Pertamanan dengan tanaman hias maupun
tanaman pelindung.
Hari-hari sekitar pelantikan Ir. Rini sebagai Kepala Dinas
Pertanian DKI, di Jakarta masih hangat berira serangan ulat di
perkebunan jambu klutuk di Tanjung Barat, Pasar Minggu. Ia
tampak masih kecewa setelah meninjau perkebunan iru. "Ulatnya
sendiri dapat dikatakan sudah musnah," tuturnya, "tapi kerusakan
akibat serangan ulat itu tak dapat segera dipulihkan."
Untuk mencegah agar kejadian itu tak terulang, Dinas Pertanian
DKI telah menyemprotkan pestisida Nogos (berkadar 2 cc/liter)
pada radius 500 meter di sekeliling perkebunan tadi.
Penyemprotan itu sendiri tidak akan mencemarkan lingkungan,
sebab dalam waktu empat hingga tujuh hari pestisida itu akan
larut dengan sendirinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini