PENDUDUK di lereng Gunung Rinjani, Lombok Timur (NTB) kini sudah
mencicipi listrik. Terutama penduduk 3 desa Aikmel dan Lenek di
Kecamatan Aikmel serta Anjani di Kecamatan Sukamulia, sekitar 40
km timur laut Mataram. Inilah proyek percontohan listrik masuk
desa pertama dengan kredit Rp 8,3 milyar lebih.
Selain dana dari pemerintah RI sendiri, kredit tersebut juga
didapat dari AS dan Kanada. Proyek yang selanjutnya diserahkan
pengelolaannya kepada Koperasi Listrik Pedesaan (KLP) Sinar
Rinjani ini sesungguhnya meliputi kawasan lebih luas Kecamatan
Sukamulia, Aikmel, Pringgabaya, Sambelia dan sebagian Kecamatan
Selong --semua di Lombok Timur.
Tapi buat sementara baru 3 desa itu -- Aikmel, Lenek dan Anjani
-- yang sudah diterangi. Itu pun baru untuk 800 rumah dari
rencana 1.500 rumah. Setiap rumah dengan 3 bola lampu dan satu
stop kontak. "Kalau kreditnya sudah dicairkan BRI Mataram,
desa-desa lain akan segera bisa diterangi," ujar H.M. Indra Ali,
Ketua KLP Sinar Rinjani. Dari kredit Rp 8,3 milyar itu, baru Rp
300 juta yang terpakai.
Proyek besar ini tertunda beberapa kali. Mula-mula direncanakan
diresmikan akhir tahun lalu. Tapi setelah mundur beberapa kali,
baru diresmikan oleh Menmud Koperasi Bustanil Arifin awal bulan
lalu di Aikmel.
Setelah peresmian, ternyata ada beberapa hal yang secara teknis
kurang memenuhi persyaratan. Seperti disaksikan para anggota
Komisi D DPRD Lombok Timur. Tiang listrik yang dipasang ternyata
dari kayu rasamala kelas tiga. "Mestinya paling tidak dari kayu
besi," kata H. Muchtar Mansur, ketua komisi tersebut.
Itupun kayu bekas dan diduga sebagian kayu bekas yang diangkut
dari Jawa sehingga dipasang dengan jarak yang terlalu rapat,
rata-rata berjarak 40 meter -- mestinya bisa antara 70 sampai 80
meter. Beberapa orang pengurus KLP Sinar Rinjani sendiri tidak
dapat memberi keterangan apa-apa tentang hal itu, "sebab
semuanya dikerjakan orang pusat."
Kalangan DPRD juga menyesalkan karena kontraktor daerah tidak
diikut-sertakan dalam proyek ini. Yang menjadi kikuk pada
akhirnya Gubernur NTB, Gatot Soeherman. "Sulit bagi saya untuk
mengikut-sertakan kontrakror daerah," katanya, "karena proyek
ini dibiayai dengan pinjaman dari luar negeri, maka orang pusat
pula yang menggarapnya."
Lebih Mahal
Yang tampil dalam proyek ini sesungguhnya Unit Pembangunan dan
Pengembangan Proyek Listrik Pedesaan (UP3LP), sebuah lembaga
yang mengurusi listrik pedesaan di lingkungan kantor Menmud
Bustanil. Kontraktor yang ditunjuk maupun yang mengadakan
peralatan juga perusahaan-perusahaan dari Jakarta.
Anehnya, sampai sekarang harga langganan listrik pedesaan iru
belum diperhitungkan. Artinya juga penduduk belum ditarik
rekening pembayaran. Tapi karena mahalnya peralatan yang dibeli
dari Jakarta, sebuah sumber TEMPO yang mengetahui perihal
perlistrikan memperkirakan harga langganan akan lebih mahal
dibanding harga langganan PLN, yaitu sekitar Rp 80 per kwh.
Sedang tarif PLN hanya Rp 44 per kwh.
Proyek di Lombok Timur ini adalah satu di antara 10 proyek
listrik pedesaan yang sebagian dibiayai dengan kredir luar
negeri. Tujuh proyek di Ja-Teng dan Ja-Tim diserahkan kepada
PLN, sisanya masing-masing di Lombok Timur, Luwu (Sul-Sel) Rp
7,2 milyar dan Lampung Tengah Rp 9,8 milyar diserahkan kepada
KLP setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini