Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ihwal Desa

Segala macam kini dikaitkan dengan desa yang lagi menjadi sorotan. Di zaman PKI dulu ada ucapan "ganyang tujuh setan desa". Sekarang menyusul "suharto anak desa", "koran masuk desa", "listrik masuk desa".

27 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERMULA desa kesiram wangi politis -- apa boleh buat --gara-gara PKI jua adanya. Ingat slogan "ganyang tujuh setan desa"? Ingat puja-puji "jika dulu desa serba salah kini desa serba benar"? Ingat wangsit Lin Piao yang tertuang dalam kalimat "desa mengepung kota"? Sesudah itu terus menerus desa naik panggung. Lakon apa saja dia muncul diiring tempik sorak dan mata berkaca-kaca. Alangkah polosnya dikau! Alangkah besarnya jasa dikau! Andaikata dikau tidur pulas seminggu suntuk saja, matilah awak di kota, lewat maag atau lewat ayan. Menyusul "Suharto anak desa". Menyusul "Perawan Desa". Menyusul "Koran masuk desa" yang barangkali lebih baik bunyinya terbalik "Desa masuk koran". Menyusul pencalonan "Kepala Desa" yang ramai dan anehnya bukan main bagaikan cerita 1001 malam, sebab syaratnya ada yang berterang-terangan dan ada yang bergelap-gelap. Andaikata Ronald Reagan mau ikut jadi calon dan terang-terangan dia mengaku dari Partai Republik, saya berani bertaruh dia akan gugur hanya pada tingkat pencalonan saja. Lebih gampang baginya jadi Presiden Amerika Serikat ketimbang jadi kepala desa Cileungsi. Menyusul lagi "ABRI masuk desa". Ini bukan saja tidak ada salahnya, tapi juga bukan barang baru. Di sini atau di mancanegara. Mao Tse Tung sendiri paling gemar masalah manunggal-manunggalan, terpadu-terpaduan, merakyat-merakyatan ini. Dia ambil bulu angsa, dia cemplungkan ke botol tinta, dia corat-coret huruf dari atas ke bawah sehingga berbunyi "Tentara dan rakyat itu bagaikan ikan dan air". Atau "Tentara dan rakyat itu bagaikan kuku dengan daging". Barangsiapa yang pernah tercabut kuku dari ujung telunjuk paham betul betapa pentingnya bunyi slogan itu. Dan menyusul lagi "Listrik masuk desa". Jika selama ini kawat-kawat bertegangan tinggi cuma lewat saja di atas wuwungan penduduk, dengan atau tanpa permisi, sekarang diusahakan tidak begitu lagi. Walau sedikit dan ala kadarnya singgah dululah demi sopan santun. Jika sang kawat tak sempat turun, generator pun jadilah, yang penting ada cahaya supaya sedikit beda dengan nenek moyang yang hidup di gua-gua. Kalau Lenin pernah berucap "Tanpa listrik tidak ada sosialisme", apa salahnya kita berucap "Tanpa listrik sukar memahami dan mendalami dan menghayati Pancasila"? Bagaimana bisa baca koran dan menikmati pemandangan ABRI masuk desa tanpa listrik? Baiklah "Listrik masuk desa". Masuk lewat pintu mana? Semakin kiprah pembangunan, semakin ruwet jalur anggaran. Ada APBN, ada APBD, ada Inpres, ada Ingub. Dari bejana yang manakah air penyejuk itu mesti diciduk? Penduduk sebetulnya tidak ambil pusing model anggaran mana yang digunakan, pokoknya begitu menjentil saklar, begitu bola lampu berpijar. Dan ongkos ini itunya tidak membikin mereka menahan lapar seminggu dua. Buat apa masuk kalau biaya besar? Kata sahibulhikayat, Inpreslah yang membiayai "Listrik masuk desa" itu. Alhamdulillahirobbilalamin. Dengan kegesitan yang berbau teladan, Kepala Desa Darmaraja, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang pukul kentongan beritahu penduduk 4 bulan yang lalu bahwa Presiden akan beri generator pembangkit listrik berkekuatan 40 KVA. Hanya itu? Tentu saja tidak. Penduduk diharuskan nyetor Rp 10.000. Berhubung semangat membangun yang berkobar-kobar, dalam rangka ingin membangun manusia Indonesia seutuhnya, sang kepala desa Darmaraja tidak puas hanya jadi kepala desa melulu. Dia juga jadi menejer BUUD, dan dia juga kepala proyek listrik itu. Hasilnya? Sampai hari ini Desa Darmaraja masih gelap gulita sehingga mertua sendiri pun sukar terlihat alis matanya. Ini berbahaya buat kesinambungan. Desa Jatiserang, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Majalengka lebih "ilmiah" aturannya menghadapi masalah Inpres yang sama ini. Biaya yang mesti dikeluarkan penduduk sampai listrik nyala Rp 100.000. Berpegang pada budaya kredit, setoran pertama tanda jadi Rp 17.500. Sisanya dicicil per bulan Rp 7.500. Sebelas bulan nyetor, bereslah itu. Ada pungutan lain? Jangan kuatir. Itu belum termasuk pungutan stroom per bulan. Jika "Listrik masuk desa" itu merupakan "sumbangan Inpres, rasanya model begini tidak ada bau-bau sumbangan. Saya pikir, berhubung penduduk desa yang jauhjauh itu sudah terbiasa bergelap-gelap, mengapa tidak kita lestarikan saja supaya sambung sinambung?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus