Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di kandy, mengarak gigi sang budha

Upacara perahera di kandy, sri lanka. upacara yang telah menjadi tradisi masyarakat sri lanka, mengarak azimat gigi suci sang budha yang diterima raja kirthisiri dari seorang putri raja india. (sel)

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANDY, kota kedua terbesar di Sri Lanka, merupakan kota paling rusak dalam kerusuhan rasial yang kini mulai reda di pulau sebelah selatan India itu. Ketika Sri Lanka masih bernama Kerajaan Sinhala, Kandy jadi benteng pertahanan terakhir dari serangan luar. Akhir abad ke-16 (1592), selama tiga abad, Kandy jadi pusat Kerajaan Sinhala, sekaligus pusat kegiatan agama dan kebudayaan. Pada ketinggian 595 meter di atas permukaan laut, tanah Kandy subur untuk perkebunan teh dan karet sumber devisa penting bagi republik pulau dengan 14 juta penduduk itu. Sumber devisa lain yang tak kurang penting barangkali tersimpan pada peninggalan budaya masa lampau: kuil-kuil kuno, reruntuhan istana, dan kesenian. Inilah yang menarik ribuan wisatawan dari seluruh dunia. Salah satu di antaranya ialah perahera, upacara kuno yang tak begitu jelas latar belakangnya. "Tetapi diperkirakan sudah ada sejak zaman Sebelum Masehi," demikian menurut penulis dan fotograf Alfredo Roces dalam majalah Journey. Perahera berarti "arak-arak Upacara yang sudah merupakan bagian dalam kehidupan masyarakat Sri Lanka ini, diadakan untuk memperingati suatu peristiwa, atau hari jadi tokoh penting dalam tradisi atau sejarah. Lebih dari 2.000 tahun lalu, ibu kota Kerajaan Sinhala berada di Anuradhapura. Suatu ketika, Raja Kirthisiri menerima Azimat Gigi Suci Sang Budha, yang diselundupkan ke Sinhala oleh seorang putri raja India. Raja Kirthisiri kemudian memaklumkan, bahwa sekali setahun azimat itu harus diarak keliling kota dalam upacara kebesaran. Itulah, menurut sahibul hikayat asal muasal perahera. Karena letak Kota Anuradhapura dari segi militer waktu itu tidak menguntungkan, Kerajaan Sinhala terlibat dalam peperangan terus menerus. Keadaan yang sama terjadi ketika ibu kota kerajaan dipindahkan ke Polonnaruwa. Akhirnya dipilihlah Kandy sebagai ibu kota kerajaan. Dan ternyata selama tiga abad ia mampu mempertahankan Kerajaan Sinhala dari serbuan orang-orang Portugis dan Belanda, sampai akhirnya tahun 1815 Inggris menaklukkannya. Pada mulanya, menurut dugaan, perahera ialah upacara untuk meminta hujan. Tetapi, seperti ternyata kemudian, upacara itu dalam perkembangannya mengundang pula makna sosial dan politik. Keterangan tertulis paling tua tentang perahera bertarikhkan 414 Sebelum Masehi. Di zaman itu seorang pelanglang-buana Cina terkenal, Fa Hien, singgah di Sri Lanka dalam perjalanannya keliling Asia Tenggara dan Selatan. Ia juga singgah di Kerajaan Sriwijaya, dan menuliskan catatannya. Menurut Fa Hien, dalam mempersiapkan perahera, seorang lelaki yang bertutur-kata bijak, dan mengenakan jubah kerajaan, didudukkan di atas punggung gajah yang juga berpakaian upacara. Orang ini mengumumkan, "Biarkanlah para pendeta dan orang awam negeri ini, yang berhasrat menunda kebahagiaan mereka, membantu meratakan jalan, menghiasinya, dan menyiapkan bunga-bunga, pedupaan, dan melaksanakan pemujaan." Pada 1656, pendeta Belanda, Philip Baldeus, yang singgah di Sri Lanka meninggalkan catatan menarik dan terperinci tentang perahera: "Sebelum upacara dimulai," para wanita paling cantik mempertunjukkan lawak dan tari-tarian yang indah. Bagian atas tubuh mereka dibiarkan terbuka sama sekali. Tangan, jari dan telinganya memakai hiasan emas permata. Mereka mengenakan kain beraneka-ragam." Tahun 1681 di London terbit buku berjudul An Historical Relation of the Island of Ceylon in the East Indies. Penulisnya, Robert Knox, adalah pelaut pada perusahaan East India Company -- VOC-nya Inggris. Tahun 1660 ia ditawan orang-orang Kandy, dan tetap berada di sana selama 20 tahun, sebelum berhasil melarikan diri. Laporannya mengenai Kerajaan Sinhala dan Kandy hingga kini dianggap paling baik dalam kepustakaan sejarah dan kebudayaan tentang pulau itu. Ketika ia di sana, pada tahun 1664 sedang berlangsung arak-arakan perahera yang disebutnya sebagai "pesta para Dewa." Raja yang memerintah ketika itu melarang upacara tadi. Tetapi pada tahun itu juga pecah pemberontakan di kalangan rakyat. "Dan sejak itu raja tak lagi berani menghalangi upacara itu," tulis Knox. Keterangan ini menunjukkan betapa perahera mempunyai tujuan, atau kekuatan yang tersembunyi. Ini diungkapkan 200 tahun kemudian oleh sarjana Inggris, Dr. John Davy, yang meneliti perahera secara lebih mendalam. Tujuan tersembunyi itu menurut Dr. Davy, tampak pada ketentuan "yang mewajibkan semua pemimpin orang terkemuka dari segala lapisan dan golongan masyarakat tampil di depan raja di ibu kota pada waktu yang bersamaan untuk ikut dalam upacara agama yang agung, yang kecuali cenderung membangkitkan perasaan dan kesatuan nasional, juga berakibat meningkatkan kesetiaan, menekan ambisi dan mengekang pemberontakan sehingga jika tampak gejala pemberontakan, ini merupakan kesempatan menawan mereka yang dicurigai dan menghukum mereka yang tidak setia... " Makna politik perahera di Kandy ini lahir dari anggapan umum bahwa barang siapa yang memiliki Gigi Suci Sang Budha berhak pula akan tahta Kerajaan Sinhala. Ketika Inggris menjajah pulau itu, Kerajaan Sinhala memang dihapuskan, tetapi agama Budha dan kebudayaan Kandy tidak diusik. Dengan demikian perahera terhindar dari kepunahan. Sebelum agama Budha lahir, perahera mengandung banyak unsur Hinduisme. Ini sampai sekarang masih ditemukan dalam upacara di Kataragama. Dalam laporan pelaut Knox, misalnya, tidak disebutkan tentang Gigi Suci Sang Budha. Tulisnya: "Sesudah para Dewa dan Pembantu-pembantunya, tampillah ribuan wanita, pilihan dari yang paling cantik di antara penduduk pulau itu. "Mereka berbaris dengan sikap gagah, tiga orang bergandengan tangan dalam satu saf. Pada saat itu seluruh wanita cantik Zelone (Ceylon, Sri Lanka) tampil dengan gagah di hadapan Dewa-dewa mereka dalam arak-arakan keliling kota." Pada 1775 Raja Kirti Sri, pemeluk agama Budha yang taat, atas anjuran suatu delegasi Budha Theravada dari Siam (yang terpesona akan kemewahannya) memperkenalkan arak-arakan Dalada-Maligawa dengan Gigi Suci Sang Budha memimpin empat iring-iringan (devales) yang membentuk perahera. Dengan demikian terciptalah perahera Kandy sebagaimana yang dikenal hingga sekarang. Dari upacara pembukaan dan penutupannya di ketahui, perahera mengandung pula upacara memohon hujan. Pada saat yang dianggap baik, setelah munculnya bulan baru di bulan Juli, halaman empat kuil utama di Kandy (yang dipersembahkan kepada dewa-dewa Hindu, Natha, Maha Wisnu, Kataragama dan Pattini) dibersihkan. Pohon jak yang tidak berbuah lalu ditebang. Di masa-masa sebelumnya digunakan pohon esala atau rukkathana yang mengeluarkan getah. Getah pohon itu, yang seputih susu, dianggap sebagai pertanda kemakmuran. Dalam suatu upacara, pohon tersebut diminyaki untuk disucikan. Pedupaan dinyalakan, dan sesajen dihidangkan: sebuah lampu dengan sembilan sumbu, sembilan lembar daun betel (sejenis daun sirih tapi tidak pedas dan biasa dimakan dengan ramuan seperti makan sirih), dan bunga sembilan rupa. Penebang kayu dari kuil Maha Wisnu menetak pohon itu, memotong batangnya jadi empat bagian, satu untuk masing-masing kuil. Tonggak-tonggak ini, yang disebut kap, ditanam di masing-masing kuil, menunjukkan maksud untuk mengadakan perahera. Upacara ini ditutup dengan acara 'potong air' yang dilakukan pada subuh terakhir perahera, yaitu ketika bulan purnama bulan Agustus. Upacara ini berlangsung di sebuah perahu berhias di tengah Sungai Mahavelingangadi Getambe. Pada saat matahari terbit, sejumlah pendeta menebas air dengan sebilah pedang emas. Bersamaan dengan itu dikosongkan sebuah piala emas berisikan air dari tahun yang lalu. Air yang diperoleh dari tebasan pedang itu diisikan ke dalam piala. Sampai upacara tahun berikutnya, air dalam piala itu disimpan baik-baik. Menurut kepercayaan, seandainya air dalam piala itu menguap selama disimpan, ini berarti alamat buruk. Orang India menafsirkan upacara ini: menetak naga dengan petir Dewa Indra (dewa hujan) untuk membebaskan air bagi umat manusia. Yang jelas, upacara pembukaan dan penutupan bermaksud memohon hujan dan rahmat dari para dewa. Menurut pengamatan Alfredo Roces, dalam bulan-bulan tersebut biasanya hujan memang turun di sana. Veraheradi Kandy adalah yang paling megah dan meriah. Selama sepuluh malam dan satu hari, kota bersejarah itu diramaikan oleh bunyi tabuhan gendang, seruling yang mendayu-dayu dan teriakan "sadhu" yang khusyuk. Dampak sosial perahera di Kandy tak perlu dijelaskan lagi, dengan hadirnya ribuan orang dari kota-kota lain di sana, termasuk yang jauh, seperti Kolombo. Bagi sebagian besar penduduk perayaan itu merupakan selingan setelah bekerja keras setiap hari. Dalam keramaian seperti itu dengan sendirinya para penjaja menggunakan kesempatan sebaik-baiknya: segala macam dijual, mulai dari makanan-minuman, mainan anak-anak, sampai lembaran-lembaran plastik aneka-warna (untuk alas duduk, atau untuk payung, kalau turun hujan). Orang lain yang memanfaatkannya ialah para peramal dan dukun. Suasana memang mirip pasar malam. Segala jenis orang hadir: orang Sinhala, orang Tamil, orang-orang Islam dan peranakan Portugis dan Belanda yang disebut 'Burgher'. Pada kesempatan ini orang biasanya berziarah ke kuil Dalada-Maligawa, atau kuil Gigi Suci di seberang sebuah danau buatan di tengah Kota Kandy. Mereka membawa sajen berupa bunga teratai yang sudah dirangkai, belahan buah kelapa yang dihiasi bunga merah menyala, dan lampu minyak kecil. Sajen lainnya berupa guntingan kertas perak atau timah dalam wujud mata, orang-orangan, hewan ternak, gajah-gajahan, rumah, bahkan mobil-mobilan. Semua keperluan sesajen ini sudah disediakan para penjaja di sekitar kuil, tinggal membeli. Dalam upacara perahera tahun ini tidak kurang dari Presiden Sri Lanka sendiri, J.R. Jayewardene menghadiri upacara malam terakhir. Dengan cekatan ia mengumumkan rencana pemerintahnya untuk meningkatkan jumlah subsidi untuk upacara perahera dari 1 juta rupee menjadi 5 juta rupee. Malam pertama perahera di Randoli ditandai oleh letusan meriam, isyarat akan dimulainya upacara. Hening beberapa menit. Kemudian terdengar bunyi seperti ledakan pistol membelah udara. Sejumlah pria berpakaian putih, mengibas-ngibaskan cemeti, dengan tangkas membuka jalan di tengah kerumunan orang. Tali cemetinya yang panjang berputar-putar di udara, mengeluarkan desingan terputus-putus. Panji-panji agama Budha dan bendera berbagai provinsi serta kuil-kuil yang beraneka-warna dibawa oleh lelaki yang berbaris satu-satu di kedua sisi jalan. Seorang petugas yang berjanggut duduk di atas punggung gajah, membawa lambang daerah Maligawa. Lewat pula barisan penabuh Renderang, disusul para penari Ves yang berputar-putar dan meliukkan tubuh dengan gemulai. Giwang perak mereka yang indah, dan hiasan lain di tubuh mereka gemerlapan dalam cahaya obor. Muncullah barisan gajah, semuanya berpakaian motif batik yang cerah dengan perhiasan yang juga serba gemerlapan. Seekor gajah yang paling besar, berjalan dengan mengeluarkan bunyi gaduh karena hiasannya yang sangat berlebihan. Di atas pelana, di punggungnya, terletak sebuah kotak kecil terbuat dari emas. Kotak merupakan duplikat dari kotak yang konon berisikan Gigi Suci Sang Budha. Sebuah tudung besar yang diikat pada tiang-tiang panjang memayungi kotak kecil dan pelana, sementara kain putih dibentangkan di jalanan sebelum gajah mengayunkan langkahnya. Wali Kuil Dalada Maligawa, pemelihara azimat Gigi Suci, melangkah cepat dengan iring-iringan penabuh gendang dan para penarinya. Dan semakin banyaklah gajah berbaris dua-dua atau tiga-tiga diiringi kelompok penabuh gendang dan penarinya, dari keempat kuil. Satu kelompok khusus yang berpakaian merah membawa batang bambu kecil dan memainkan alat musik tiup. Kehadiran mereka memberikan corak Hindu pada arak-arakan itu. Akhirnya muncullah berbagai jenis tandu, yang disebut rarldoli, di panggul di pundak beberapa pria gagah. Di zaman dulu, kelompok ini merupakan pengiring para Dewa. Kini mereka ditugasi menampung persembahan dari orang-orang yang menyaksikan arak arakan itu. Tiba-tiba selesailah seluruh arakarakan sekitar tujuh puluh ekor gajah dan dua ribu penari itu. Para penonton bubar, sebagian besar berbondong-bondong menuju bis-bis mereka yang akan mengantarkan mereka kembali ke desa masing-masing. Berita mengejutkan tersiar belum lama ini: telinga Raja, gajah Maligawa paling besar, pembawa kotak kecil berisikan Gigi Suci tadi menderita infeksi gawat. Koran-koran menunjukkan keprihatinan ketika menyiarkan berita itu. Presiden Jayewardene menyempatkan diri menengok Raja, untuk menyatakan rasa simpati dan memberinya buah-buahan dan gula-gula. Dibandingkan dengan manusia, binatang itu sudah cukup tua -- 62 tahun usianya. Dan selama 50 tahun terakhir tugasnya selalu sama dalam arak-arakan perahera. Selain kuping, jari kakinya terkena abses dan pinggulnya sakit. Ia akhirnya menjadi pasien dr. Shelton dari Kebun Binatang Attapatu. Berbeda dengan perahera di Kandy yang unsur Budhanya lebih banyak, di Kataragama corak Hindu lebih menonjol dan lebih semarak. Ini terutama karena ikut-sertanya salah satu kuil yang juga terlibat dalam peraheradi Kandy. Upacara berlangsung lebih tenang. Para peserta membawa bunga-bunga merah, bunga teratai, dan kelapa. Seorang Sadhu (orang suci) bergelantung pada punggungnya pada sebatang pohon di halaman kuil di Kataragama, dikerumuni kelompok orang di sekelilingnya. Orang-orang ini meminta nasihat dan petunjuknya tentang berbagai hal menyangkut pribadi masing-masing. Untuk setiap nasihat, orang memberi sedekah uang logam yang dimasukkan kedalam kaleng kecil yang dipegang seorang pembantunya. Selama berjam-jam Sadhu itu tahan bergelantungan, tanpa bergerak. Sekali-sekali ia menggunakan tangannya untuk mengayun-ayunkan badannya ke depan dan ke belakang, mungkin untuk mengurangi beban berat tubuh dan ketegangan pada daging punggungnya. Ia memegang trisula, lambang Syiwa. Dalam upacara keramaian seperti ini para petugas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (PPPK) selalu siap siaga di tempat, tak jauh dari pusat keramaian. Terjadinya kecelakaan memang tak bisa dihindarkan. Misalnya pada acara berjalan di atas bara -- satu lagi tontonan menarik bagi wisatawan. Pada upacara tahun ini, di Kataragama, hanya seorang anak kecil cedera: kakinya terinjak gajah. Polisilah yang paling repot mengatur penonton agar tetap berada di tepi jalan, dan terhindar dari bencana. Toh kemungkinan diseruduk atau terinjak gajah tetap saja ada, betapapun jinaknya binatang itu. Khalayak yang hingar-bingar, dan jepretan lampu-lampu blitz yang menyilaukan, mudah menggelisahkan gajah-gajah itu. Pernah terjadi, gajah-gajah yang belum begitu jinak atau sedang marah, kesasar jalan. Akibatnya, sejumlah toko hancur, juga beberapa mobil yang sedang diparkir. Di Kandy, rute jalan yang akan ditempuh perahera ditentukan lebih dulu, dan diumumkan secara luas. Tiap hari jalan-jalan tersebut diberi tanda, sehingga memudahkan para penonton. Keadaan ini semacam 'panen' bagi balkon di hotel-hotel, dan rumah penduduk sepanjang jalan yang akan dilalui. Masing-masing memasang tarif tinggi-untuk para penonton yang ingin menyewa tempat. Pada hari ketiga perahera di Randoli, tampaklah hal yang sukar dipahami penonton arak-arakan itu, karena rutenya diubah. Koran setempat mengecam keras tindakan ini, walikota pun mengajukan protes, tapi tak digubris. M.B. Kiribanda, seorang pemandu gajah yang sejak lahir sudah bergaul dengan binatang itu, dan ayah serta kakeknya juga jadi pemandu gajah, berkomentar: "Gajah dikenal sebagai binatang yang kuat daya ingatnya dan umumnya mereka sudah terbiasa dengan rute tetap dari tahun ke tahun. Perubahan itu membingungkan mereka." Sri Lanka, yang oleh para pendatang Barat dinamakan Ceylon, oleh para pedagang Arab dan Islam dikenal pula dengan nama Serendib. Ini mengingatkan orang pada perkataan Inggris serendip yang artinya menemukan sesuatu tanpa sengaja ketika mencari yang lain. Alfredo Roces ketika berada di sana mengalami betapa benarnya makna yang terkandung dalam perkataan Inggris itu. Berkeliling di pulau berbentuk buah mangga itu, bagi Alfredo merupakan tamasya ajaib. Ia bertemu dengan orang-orang atau pemandangan yang sebelumnya tak pernah dibayangkannya. Atau yang oleh orang Barat lebih dikenal sebagai "misteri dari Timur". Ada orang suci memakai bakiak kayu bertatahkan paku tajam, ada penjinak ular, pemandu gajah berkumis menunggang gajah berpakaian upacara, reruntuhan kota kuno, patung Budha raksasa di batu-batu gunung, dan pasar yang bising. Di Sri Lanka rupanya ada juga durian, yang oleh Alfredo disebut sebagai buah yang "baunya tajam menusuk". Kehidupan satwa liarnya juga mengesankan: sekelompok tupai yang turun naik pohon jak memperebutkan buahnya yang besar, suaranya yang bising membangunkan para tamu di Mahaweli Reach Hotel di Kandy monyet liar berkeliaran di kebun hotel dekat sungai. Dalam perjalanan ke Sigiriya orang akan bertemu dengan sekelompok gajah liar, atau rusa dan burung merak di Taman Nasional Ruhunu. Melebihi segala itu adalah sikap penduduk yang ramah dan bersahabat. Sejarah meninggalkan jejaknya cukup jelas di Sri Lanka, pulau yang disinggahi Marco Polo dalam perjalanannya dari Cina ke Persia (lran kini) mengantarkan cucu Kubhlai Khan yang akan dinikahi Khan Persia. Benteng dan gereja yang ditinggalkan orang Portugis dan Belanda pada abad ke-16 dan 18, dan kuil-kuil kuno serta reruntuhan bangunan dari masa Kerajaan Sinhala, bertebaran di pulau itu. Di Anuradhapura masih tumbuh sebatang pohon boddhi tua, yang dirawat secara turun-temurun selama 2.000 tahun. Menurut keterangan, pohon itu berasal dari cangkokan dahan pohon tempat Sang Budha bersamadi di India pada 582 SM. Di pulau yang penuh mitos dan keajaiban ini, sejarah dan dongeng memang bercampur-baur. Gunung tertingginya dinamakan Puncak Adam, dan dipercaya sebagai tempat pertama Nabi Adam menjejakkan kaki di bumi setelah diusir dari surga. Padahal ada saja orang yang mengatakan, di puncak itu terdapat pula jejak kaki Sang Budha. Dalam cerita klasik Hindu, Ramayana, Sri Lanka disebut sebagai tempat asal Rahwana, Raja Alengka. Gugusan pulau kecil antara India dan Sri Lanka, yang dikenal sebagai Jembatan Adam, dikisahkan sebagai batu-batu pijakan kaki Ramadan Hanoman, dalam usaha menyelamatkan Dewi Sinta dari kejaran Rahwana yang jahat. Kisah percintaan dan sejarah memenuhi laporan yang ditulis Robert Knox tentang pulau ini. Petualangan pelaut Inggris -- yang ditawan selama 20 tahun di Sri Lanka pada abad ke-17 itu -- telah mengilhami penulis Inggris lainnya, Daniel Defoe, melahirkan kisah Robinson Crusoe yang sudah klasik dalam sastra dunia itu. Jauh sebelum orang Eropa tertarik akan Sri Lanka, para pedagang Arab sudah mengenal Kisah 1001 Malam yang terkenal itu, yang menceritakan tentang pelaut Sindbad. Puncak Adam disebut-sebut pula dalam petualangan Sindbad. Dengan luas 65.610 km2, Sri Lanka hanya dihuni 200 jiwa per kilometer persegi. Mayoritas penduduk adalah orang Sinhala, penetap pertama yang datang dari India dan beragama Budha. Sisanya adalah orang Tamil yang beragama Hindu. Mereka berasal dari India Selatan, dan merupakan kelompok minoritas yang jadi sasaran pembunuhan dalam kerusuhan rasial baru-baru ini. Besarnya pengaruh India dalam sejarah dan kebudayaan Sri Lanka dapat dimengerti, karena pulau itu hanya dipisahkan laut selebar 32 kilometer dari anak benua di daratan Asia itu. Tetapi kelirulah kalau orang menganggap Sri Lanka sebagai "India Kecil". Ajaran Budha merupakan ciri yang sejak awal membentuk Sri Lanka, dan pulau itu tetap merupakan ciri yang sejak awal membentuk Sri Lanka, dan pulau itu tetap merupakan sumber yang tak pernah kering dari agama besar itu. Bepergian di Sri Lanka memang ajaib. Hubungan telepon tak pernah bisa nyambung ke mana pun, dan acara-acara yang sudah direncanakan hanyalah impian belaka. Namun, orang masih akan menemukan banyak hal menarik sebagai imbangan keadaan yang kurang memuaskan itu. Pariwisata belum mencapai taraf perkembangan yang memungkinkan orang membuat perhitungan dan persiapan tertentu . Serendipity, hal-hal tak terduga atau tak dinyana, tetap merupakan ciri khas Sri Lanka, seperti juga banyak negeri berkembang lainnya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus