KANDY, kota kedua terbesar di Sri Lanka, merupakan kota paling
rusak dalam kerusuhan rasial yang kini mulai reda di pulau
sebelah selatan India itu. Ketika Sri Lanka masih bernama
Kerajaan Sinhala, Kandy jadi benteng pertahanan terakhir dari
serangan luar. Akhir abad ke-16 (1592), selama tiga abad, Kandy
jadi pusat Kerajaan Sinhala, sekaligus pusat kegiatan agama dan
kebudayaan. Pada ketinggian 595 meter di atas permukaan laut,
tanah Kandy subur untuk perkebunan teh dan karet sumber devisa
penting bagi republik pulau dengan 14 juta penduduk itu.
Sumber devisa lain yang tak kurang penting barangkali tersimpan
pada peninggalan budaya masa lampau: kuil-kuil kuno, reruntuhan
istana, dan kesenian. Inilah yang menarik ribuan wisatawan dari
seluruh dunia. Salah satu di antaranya ialah perahera, upacara
kuno yang tak begitu jelas latar belakangnya. "Tetapi
diperkirakan sudah ada sejak zaman Sebelum Masehi," demikian
menurut penulis dan fotograf Alfredo Roces dalam majalah
Journey.
Perahera berarti "arak-arak Upacara yang sudah merupakan bagian
dalam kehidupan masyarakat Sri Lanka ini, diadakan untuk
memperingati suatu peristiwa, atau hari jadi tokoh penting dalam
tradisi atau sejarah.
Lebih dari 2.000 tahun lalu, ibu kota Kerajaan Sinhala berada di
Anuradhapura. Suatu ketika, Raja Kirthisiri menerima Azimat Gigi
Suci Sang Budha, yang diselundupkan ke Sinhala oleh seorang
putri raja India. Raja Kirthisiri kemudian memaklumkan, bahwa
sekali setahun azimat itu harus diarak keliling kota dalam
upacara kebesaran. Itulah, menurut sahibul hikayat asal muasal
perahera.
Karena letak Kota Anuradhapura dari segi militer waktu itu tidak
menguntungkan, Kerajaan Sinhala terlibat dalam peperangan terus
menerus. Keadaan yang sama terjadi ketika ibu kota kerajaan
dipindahkan ke Polonnaruwa. Akhirnya dipilihlah Kandy sebagai
ibu kota kerajaan. Dan ternyata selama tiga abad ia mampu
mempertahankan Kerajaan Sinhala dari serbuan orang-orang
Portugis dan Belanda, sampai akhirnya tahun 1815 Inggris
menaklukkannya.
Pada mulanya, menurut dugaan, perahera ialah upacara untuk
meminta hujan. Tetapi, seperti ternyata kemudian, upacara itu
dalam perkembangannya mengundang pula makna sosial dan politik.
Keterangan tertulis paling tua tentang perahera bertarikhkan 414
Sebelum Masehi. Di zaman itu seorang pelanglang-buana Cina
terkenal, Fa Hien, singgah di Sri Lanka dalam perjalanannya
keliling Asia Tenggara dan Selatan. Ia juga singgah di Kerajaan
Sriwijaya, dan menuliskan catatannya.
Menurut Fa Hien, dalam mempersiapkan perahera, seorang lelaki
yang bertutur-kata bijak, dan mengenakan jubah kerajaan,
didudukkan di atas punggung gajah yang juga berpakaian upacara.
Orang ini mengumumkan, "Biarkanlah para pendeta dan orang awam
negeri ini, yang berhasrat menunda kebahagiaan mereka, membantu
meratakan jalan, menghiasinya, dan menyiapkan bunga-bunga,
pedupaan, dan melaksanakan pemujaan."
Pada 1656, pendeta Belanda, Philip Baldeus, yang singgah di Sri
Lanka meninggalkan catatan menarik dan terperinci tentang
perahera: "Sebelum upacara dimulai," para wanita paling cantik
mempertunjukkan lawak dan tari-tarian yang indah. Bagian atas
tubuh mereka dibiarkan terbuka sama sekali. Tangan, jari dan
telinganya memakai hiasan emas permata. Mereka mengenakan kain
beraneka-ragam."
Tahun 1681 di London terbit buku berjudul An Historical Relation
of the Island of Ceylon in the East Indies. Penulisnya, Robert
Knox, adalah pelaut pada perusahaan East India Company --
VOC-nya Inggris. Tahun 1660 ia ditawan orang-orang Kandy, dan
tetap berada di sana selama 20 tahun, sebelum berhasil melarikan
diri. Laporannya mengenai Kerajaan Sinhala dan Kandy hingga kini
dianggap paling baik dalam kepustakaan sejarah dan kebudayaan
tentang pulau itu. Ketika ia di sana, pada tahun 1664 sedang
berlangsung arak-arakan perahera yang disebutnya sebagai "pesta
para Dewa." Raja yang memerintah ketika itu melarang upacara
tadi. Tetapi pada tahun itu juga pecah pemberontakan di kalangan
rakyat. "Dan sejak itu raja tak lagi berani menghalangi upacara
itu," tulis Knox.
Keterangan ini menunjukkan betapa perahera mempunyai tujuan,
atau kekuatan yang tersembunyi. Ini diungkapkan 200 tahun
kemudian oleh sarjana Inggris, Dr. John Davy, yang meneliti
perahera secara lebih mendalam. Tujuan tersembunyi itu menurut
Dr. Davy, tampak pada ketentuan "yang mewajibkan semua pemimpin
orang terkemuka dari segala lapisan dan golongan masyarakat
tampil di depan raja di ibu kota pada waktu yang bersamaan untuk
ikut dalam upacara agama yang agung, yang kecuali cenderung
membangkitkan perasaan dan kesatuan nasional, juga berakibat
meningkatkan kesetiaan, menekan ambisi dan mengekang
pemberontakan sehingga jika tampak gejala pemberontakan, ini
merupakan kesempatan menawan mereka yang dicurigai dan menghukum
mereka yang tidak setia... "
Makna politik perahera di Kandy ini lahir dari anggapan umum
bahwa barang siapa yang memiliki Gigi Suci Sang Budha berhak
pula akan tahta Kerajaan Sinhala. Ketika Inggris menjajah pulau
itu, Kerajaan Sinhala memang dihapuskan, tetapi agama Budha dan
kebudayaan Kandy tidak diusik. Dengan demikian perahera
terhindar dari kepunahan.
Sebelum agama Budha lahir, perahera mengandung banyak unsur
Hinduisme. Ini sampai sekarang masih ditemukan dalam upacara di
Kataragama. Dalam laporan pelaut Knox, misalnya, tidak
disebutkan tentang Gigi Suci Sang Budha. Tulisnya: "Sesudah para
Dewa dan Pembantu-pembantunya, tampillah ribuan wanita, pilihan
dari yang paling cantik di antara penduduk pulau itu.
"Mereka berbaris dengan sikap gagah, tiga orang bergandengan
tangan dalam satu saf. Pada saat itu seluruh wanita cantik
Zelone (Ceylon, Sri Lanka) tampil dengan gagah di hadapan
Dewa-dewa mereka dalam arak-arakan keliling kota."
Pada 1775 Raja Kirti Sri, pemeluk agama Budha yang taat, atas
anjuran suatu delegasi Budha Theravada dari Siam (yang terpesona
akan kemewahannya) memperkenalkan arak-arakan Dalada-Maligawa
dengan Gigi Suci Sang Budha memimpin empat iring-iringan
(devales) yang membentuk perahera. Dengan demikian terciptalah
perahera Kandy sebagaimana yang dikenal hingga sekarang.
Dari upacara pembukaan dan penutupannya di ketahui, perahera
mengandung pula upacara memohon hujan. Pada saat yang dianggap
baik, setelah munculnya bulan baru di bulan Juli, halaman empat
kuil utama di Kandy (yang dipersembahkan kepada dewa-dewa Hindu,
Natha, Maha Wisnu, Kataragama dan Pattini) dibersihkan. Pohon
jak yang tidak berbuah lalu ditebang. Di masa-masa sebelumnya
digunakan pohon esala atau rukkathana yang mengeluarkan getah.
Getah pohon itu, yang seputih susu, dianggap sebagai pertanda
kemakmuran.
Dalam suatu upacara, pohon tersebut diminyaki untuk disucikan.
Pedupaan dinyalakan, dan sesajen dihidangkan: sebuah lampu
dengan sembilan sumbu, sembilan lembar daun betel (sejenis daun
sirih tapi tidak pedas dan biasa dimakan dengan ramuan seperti
makan sirih), dan bunga sembilan rupa. Penebang kayu dari kuil
Maha Wisnu menetak pohon itu, memotong batangnya jadi empat
bagian, satu untuk masing-masing kuil. Tonggak-tonggak ini, yang
disebut kap, ditanam di masing-masing kuil, menunjukkan maksud
untuk mengadakan perahera.
Upacara ini ditutup dengan acara 'potong air' yang dilakukan
pada subuh terakhir perahera, yaitu ketika bulan purnama bulan
Agustus. Upacara ini berlangsung di sebuah perahu berhias di
tengah Sungai Mahavelingangadi Getambe. Pada saat matahari
terbit, sejumlah pendeta menebas air dengan sebilah pedang emas.
Bersamaan dengan itu dikosongkan sebuah piala emas berisikan air
dari tahun yang lalu.
Air yang diperoleh dari tebasan pedang itu diisikan ke dalam
piala. Sampai upacara tahun berikutnya, air dalam piala itu
disimpan baik-baik. Menurut kepercayaan, seandainya air dalam
piala itu menguap selama disimpan, ini berarti alamat buruk.
Orang India menafsirkan upacara ini: menetak naga dengan petir
Dewa Indra (dewa hujan) untuk membebaskan air bagi umat manusia.
Yang jelas, upacara pembukaan dan penutupan bermaksud memohon
hujan dan rahmat dari para dewa. Menurut pengamatan Alfredo
Roces, dalam bulan-bulan tersebut biasanya hujan memang turun di
sana.
Veraheradi Kandy adalah yang paling megah dan meriah. Selama
sepuluh malam dan satu hari, kota bersejarah itu diramaikan oleh
bunyi tabuhan gendang, seruling yang mendayu-dayu dan teriakan
"sadhu" yang khusyuk.
Dampak sosial perahera di Kandy tak perlu dijelaskan lagi,
dengan hadirnya ribuan orang dari kota-kota lain di sana,
termasuk yang jauh, seperti Kolombo. Bagi sebagian besar
penduduk perayaan itu merupakan selingan setelah bekerja keras
setiap hari. Dalam keramaian seperti itu dengan sendirinya para
penjaja menggunakan kesempatan sebaik-baiknya: segala macam
dijual, mulai dari makanan-minuman, mainan anak-anak, sampai
lembaran-lembaran plastik aneka-warna (untuk alas duduk, atau
untuk payung, kalau turun hujan). Orang lain yang
memanfaatkannya ialah para peramal dan dukun. Suasana memang
mirip pasar malam. Segala jenis orang hadir: orang Sinhala,
orang Tamil, orang-orang Islam dan peranakan Portugis dan
Belanda yang disebut 'Burgher'.
Pada kesempatan ini orang biasanya berziarah ke kuil
Dalada-Maligawa, atau kuil Gigi Suci di seberang sebuah danau
buatan di tengah Kota Kandy. Mereka membawa sajen berupa bunga
teratai yang sudah dirangkai, belahan buah kelapa yang dihiasi
bunga merah menyala, dan lampu minyak kecil. Sajen lainnya
berupa guntingan kertas perak atau timah dalam wujud mata,
orang-orangan, hewan ternak, gajah-gajahan, rumah, bahkan
mobil-mobilan. Semua keperluan sesajen ini sudah disediakan para
penjaja di sekitar kuil, tinggal membeli.
Dalam upacara perahera tahun ini tidak kurang dari Presiden Sri
Lanka sendiri, J.R. Jayewardene menghadiri upacara malam
terakhir. Dengan cekatan ia mengumumkan rencana pemerintahnya
untuk meningkatkan jumlah subsidi untuk upacara perahera dari 1
juta rupee menjadi 5 juta rupee.
Malam pertama perahera di Randoli ditandai oleh letusan meriam,
isyarat akan dimulainya upacara. Hening beberapa menit. Kemudian
terdengar bunyi seperti ledakan pistol membelah udara. Sejumlah
pria berpakaian putih, mengibas-ngibaskan cemeti, dengan tangkas
membuka jalan di tengah kerumunan orang. Tali cemetinya yang
panjang berputar-putar di udara, mengeluarkan desingan
terputus-putus. Panji-panji agama Budha dan bendera berbagai
provinsi serta kuil-kuil yang beraneka-warna dibawa oleh lelaki
yang berbaris satu-satu di kedua sisi jalan. Seorang petugas
yang berjanggut duduk di atas punggung gajah, membawa lambang
daerah Maligawa.
Lewat pula barisan penabuh Renderang, disusul para penari Ves
yang berputar-putar dan meliukkan tubuh dengan gemulai. Giwang
perak mereka yang indah, dan hiasan lain di tubuh mereka
gemerlapan dalam cahaya obor. Muncullah barisan gajah, semuanya
berpakaian motif batik yang cerah dengan perhiasan yang juga
serba gemerlapan. Seekor gajah yang paling besar, berjalan
dengan mengeluarkan bunyi gaduh karena hiasannya yang sangat
berlebihan. Di atas pelana, di punggungnya, terletak sebuah
kotak kecil terbuat dari emas. Kotak merupakan duplikat dari
kotak yang konon berisikan Gigi Suci Sang Budha.
Sebuah tudung besar yang diikat pada tiang-tiang panjang
memayungi kotak kecil dan pelana, sementara kain putih
dibentangkan di jalanan sebelum gajah mengayunkan langkahnya.
Wali Kuil Dalada Maligawa, pemelihara azimat Gigi Suci,
melangkah cepat dengan iring-iringan penabuh gendang dan para
penarinya. Dan semakin banyaklah gajah berbaris dua-dua atau
tiga-tiga diiringi kelompok penabuh gendang dan penarinya, dari
keempat kuil.
Satu kelompok khusus yang berpakaian merah membawa batang bambu
kecil dan memainkan alat musik tiup. Kehadiran mereka memberikan
corak Hindu pada arak-arakan itu. Akhirnya muncullah berbagai
jenis tandu, yang disebut rarldoli, di panggul di pundak
beberapa pria gagah. Di zaman dulu, kelompok ini merupakan
pengiring para Dewa. Kini mereka ditugasi menampung persembahan
dari orang-orang yang menyaksikan arak arakan itu.
Tiba-tiba selesailah seluruh arakarakan sekitar tujuh puluh ekor
gajah dan dua ribu penari itu. Para penonton bubar, sebagian
besar berbondong-bondong menuju bis-bis mereka yang akan
mengantarkan mereka kembali ke desa masing-masing.
Berita mengejutkan tersiar belum lama ini: telinga Raja, gajah
Maligawa paling besar, pembawa kotak kecil berisikan Gigi Suci
tadi menderita infeksi gawat. Koran-koran menunjukkan
keprihatinan ketika menyiarkan berita itu. Presiden Jayewardene
menyempatkan diri menengok Raja, untuk menyatakan rasa simpati
dan memberinya buah-buahan dan gula-gula. Dibandingkan dengan
manusia, binatang itu sudah cukup tua -- 62 tahun usianya. Dan
selama 50 tahun terakhir tugasnya selalu sama dalam arak-arakan
perahera. Selain kuping, jari kakinya terkena abses dan
pinggulnya sakit. Ia akhirnya menjadi pasien dr. Shelton dari
Kebun Binatang Attapatu.
Berbeda dengan perahera di Kandy yang unsur Budhanya lebih
banyak, di Kataragama corak Hindu lebih menonjol dan lebih
semarak. Ini terutama karena ikut-sertanya salah satu kuil yang
juga terlibat dalam peraheradi Kandy. Upacara berlangsung lebih
tenang. Para peserta membawa bunga-bunga merah, bunga teratai,
dan kelapa.
Seorang Sadhu (orang suci) bergelantung pada punggungnya pada
sebatang pohon di halaman kuil di Kataragama, dikerumuni
kelompok orang di sekelilingnya. Orang-orang ini meminta nasihat
dan petunjuknya tentang berbagai hal menyangkut pribadi
masing-masing. Untuk setiap nasihat, orang memberi sedekah uang
logam yang dimasukkan kedalam kaleng kecil yang dipegang seorang
pembantunya. Selama berjam-jam Sadhu itu tahan bergelantungan,
tanpa bergerak. Sekali-sekali ia menggunakan tangannya untuk
mengayun-ayunkan badannya ke depan dan ke belakang, mungkin
untuk mengurangi beban berat tubuh dan ketegangan pada daging
punggungnya. Ia memegang trisula, lambang Syiwa.
Dalam upacara keramaian seperti ini para petugas Pertolongan
Pertama Pada Kecelakaan (PPPK) selalu siap siaga di tempat, tak
jauh dari pusat keramaian. Terjadinya kecelakaan memang tak bisa
dihindarkan. Misalnya pada acara berjalan di atas bara -- satu
lagi tontonan menarik bagi wisatawan. Pada upacara tahun ini, di
Kataragama, hanya seorang anak kecil cedera: kakinya terinjak
gajah.
Polisilah yang paling repot mengatur penonton agar tetap berada
di tepi jalan, dan terhindar dari bencana. Toh kemungkinan
diseruduk atau terinjak gajah tetap saja ada, betapapun jinaknya
binatang itu. Khalayak yang hingar-bingar, dan jepretan
lampu-lampu blitz yang menyilaukan, mudah menggelisahkan
gajah-gajah itu. Pernah terjadi, gajah-gajah yang belum begitu
jinak atau sedang marah, kesasar jalan. Akibatnya, sejumlah toko
hancur, juga beberapa mobil yang sedang diparkir.
Di Kandy, rute jalan yang akan ditempuh perahera ditentukan
lebih dulu, dan diumumkan secara luas. Tiap hari jalan-jalan
tersebut diberi tanda, sehingga memudahkan para penonton.
Keadaan ini semacam 'panen' bagi balkon di hotel-hotel, dan
rumah penduduk sepanjang jalan yang akan dilalui. Masing-masing
memasang tarif tinggi-untuk para penonton yang ingin menyewa
tempat.
Pada hari ketiga perahera di Randoli, tampaklah hal yang sukar
dipahami penonton arak-arakan itu, karena rutenya diubah. Koran
setempat mengecam keras tindakan ini, walikota pun mengajukan
protes, tapi tak digubris. M.B. Kiribanda, seorang pemandu gajah
yang sejak lahir sudah bergaul dengan binatang itu, dan ayah
serta kakeknya juga jadi pemandu gajah, berkomentar: "Gajah
dikenal sebagai binatang yang kuat daya ingatnya dan umumnya
mereka sudah terbiasa dengan rute tetap dari tahun ke tahun.
Perubahan itu membingungkan mereka."
Sri Lanka, yang oleh para pendatang Barat dinamakan Ceylon, oleh
para pedagang Arab dan Islam dikenal pula dengan nama Serendib.
Ini mengingatkan orang pada perkataan Inggris serendip yang
artinya menemukan sesuatu tanpa sengaja ketika mencari yang
lain. Alfredo Roces ketika berada di sana mengalami betapa
benarnya makna yang terkandung dalam perkataan Inggris itu.
Berkeliling di pulau berbentuk buah mangga itu, bagi Alfredo
merupakan tamasya ajaib. Ia bertemu dengan orang-orang atau
pemandangan yang sebelumnya tak pernah dibayangkannya. Atau yang
oleh orang Barat lebih dikenal sebagai "misteri dari Timur".
Ada orang suci memakai bakiak kayu bertatahkan paku tajam, ada
penjinak ular, pemandu gajah berkumis menunggang gajah
berpakaian upacara, reruntuhan kota kuno, patung Budha raksasa
di batu-batu gunung, dan pasar yang bising. Di Sri Lanka rupanya
ada juga durian, yang oleh Alfredo disebut sebagai buah yang
"baunya tajam menusuk".
Kehidupan satwa liarnya juga mengesankan: sekelompok tupai yang
turun naik pohon jak memperebutkan buahnya yang besar, suaranya
yang bising membangunkan para tamu di Mahaweli Reach Hotel di
Kandy monyet liar berkeliaran di kebun hotel dekat sungai.
Dalam perjalanan ke Sigiriya orang akan bertemu dengan
sekelompok gajah liar, atau rusa dan burung merak di Taman
Nasional Ruhunu. Melebihi segala itu adalah sikap penduduk yang
ramah dan bersahabat.
Sejarah meninggalkan jejaknya cukup jelas di Sri Lanka, pulau
yang disinggahi Marco Polo dalam perjalanannya dari Cina ke
Persia (lran kini) mengantarkan cucu Kubhlai Khan yang akan
dinikahi Khan Persia. Benteng dan gereja yang ditinggalkan orang
Portugis dan Belanda pada abad ke-16 dan 18, dan kuil-kuil kuno
serta reruntuhan bangunan dari masa Kerajaan Sinhala, bertebaran
di pulau itu.
Di Anuradhapura masih tumbuh sebatang pohon boddhi tua, yang
dirawat secara turun-temurun selama 2.000 tahun. Menurut
keterangan, pohon itu berasal dari cangkokan dahan pohon tempat
Sang Budha bersamadi di India pada 582 SM. Di pulau yang penuh
mitos dan keajaiban ini, sejarah dan dongeng memang
bercampur-baur. Gunung tertingginya dinamakan Puncak Adam, dan
dipercaya sebagai tempat pertama Nabi Adam menjejakkan kaki di
bumi setelah diusir dari surga. Padahal ada saja orang yang
mengatakan, di puncak itu terdapat pula jejak kaki Sang Budha.
Dalam cerita klasik Hindu, Ramayana, Sri Lanka disebut sebagai
tempat asal Rahwana, Raja Alengka. Gugusan pulau kecil antara
India dan Sri Lanka, yang dikenal sebagai Jembatan Adam,
dikisahkan sebagai batu-batu pijakan kaki Ramadan Hanoman, dalam
usaha menyelamatkan Dewi Sinta dari kejaran Rahwana yang jahat.
Kisah percintaan dan sejarah memenuhi laporan yang ditulis
Robert Knox tentang pulau ini. Petualangan pelaut Inggris --
yang ditawan selama 20 tahun di Sri Lanka pada abad ke-17 itu --
telah mengilhami penulis Inggris lainnya, Daniel Defoe,
melahirkan kisah Robinson Crusoe yang sudah klasik dalam sastra
dunia itu. Jauh sebelum orang Eropa tertarik akan Sri Lanka,
para pedagang Arab sudah mengenal Kisah 1001 Malam yang terkenal
itu, yang menceritakan tentang pelaut Sindbad. Puncak Adam
disebut-sebut pula dalam petualangan Sindbad.
Dengan luas 65.610 km2, Sri Lanka hanya dihuni 200 jiwa per
kilometer persegi. Mayoritas penduduk adalah orang Sinhala,
penetap pertama yang datang dari India dan beragama Budha.
Sisanya adalah orang Tamil yang beragama Hindu. Mereka berasal
dari India Selatan, dan merupakan kelompok minoritas yang jadi
sasaran pembunuhan dalam kerusuhan rasial baru-baru ini.
Besarnya pengaruh India dalam sejarah dan kebudayaan Sri Lanka
dapat dimengerti, karena pulau itu hanya dipisahkan laut selebar
32 kilometer dari anak benua di daratan Asia itu. Tetapi
kelirulah kalau orang menganggap Sri Lanka sebagai "India
Kecil". Ajaran Budha merupakan ciri yang sejak awal membentuk
Sri Lanka, dan pulau itu tetap merupakan ciri yang sejak awal
membentuk Sri Lanka, dan pulau itu tetap merupakan sumber yang
tak pernah kering dari agama besar itu.
Bepergian di Sri Lanka memang ajaib. Hubungan telepon tak pernah
bisa nyambung ke mana pun, dan acara-acara yang sudah
direncanakan hanyalah impian belaka. Namun, orang masih akan
menemukan banyak hal menarik sebagai imbangan keadaan yang
kurang memuaskan itu. Pariwisata belum mencapai taraf
perkembangan yang memungkinkan orang membuat perhitungan dan
persiapan tertentu . Serendipity, hal-hal tak terduga atau tak
dinyana, tetap merupakan ciri khas Sri Lanka, seperti juga
banyak negeri berkembang lainnya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini